Ateisme itu Wujud Kebebasan Berkeyakinan

Dimas Septo Nugroho
Mahasiswa Program Sarjana Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga Surabaya
Konten dari Pengguna
3 Juni 2022 21:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dimas Septo Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Kata Kunci: Hukum, Agama, HAM, Ateis, Pancasila

Ilustrasi: Dimas Septo Nugroho
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Dimas Septo Nugroho
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tidak dipungkiri lagi bahwa kita semua tahu bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menjadikan agama sebagai spirit bernegara. Terlebih lagi sila pertama Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” seolah-olah seperti atau memang mengharuskan setiap warganya untuk bertuhan dan memeluk agama.
ADVERTISEMENT
Namun, hal ini tidak menjadikan kelompok orang-orang yang tidak meyakini eksistensi Tuhan mustahil ada di Indonesia. Kelompok ini disebut juga sebagai penganut paham ateisme.
Istilah ateisme berasal dari bahasa Yunani ἄθεος (átheos), yang secara peyoratif digunakan untuk merujuk pada siapapun yang kepercayaannya bertentangan dengan agama/kepercayaan yang sudah mapan di lingkungannya. Dengan menyebarnya pemikiran bebas, skeptisisme ilmiah, dan kritik terhadap agama, istilah ateis mulai dispesifikasi untuk merujuk kepada mereka yang tidak percaya kepada Tuhan.
Penganut ateisme sering mendapat diskriminasi dan dianggap mencederai Pancasila. Padahal ateisme tidak diatur secara spesifik dalam konstitusi Negara Republik Indonesia dan negara ini memberikan kebebasan bagi setiap warganya untuk meyakini kepercayaan seperti yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat (2) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”
ADVERTISEMENT
Meski kebebasan tersebut juga tetap dibatasi oleh konstitusi negara kita seperti yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 28J ayat (2) yang berbunyi “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Konsep kebebasan beragama dan berkeyakinan ini mempunyai lingkup yang luas bahkan cukup ambigu dan bersifat subjektif. Bahkan UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama dianggap bersifat diskriminatif terhadap keyakinan/kepercayaan minoritas di luar 6 agama yang tercantum di dalam pasalnya, tak terkecuali ateisme.
ADVERTISEMENT
Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik oleh the Office of the High Commissioner for Human Right pun tidak mengatur ateisme secara spesifik. Namun, pada Article 18 Point 2 yang berbunyi “No one shall be subject to coercion which would impair his freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice,” dijelaskan bahwa tidak seorang pun akan tunduk pada paksaan yang akan merusak kebebasannya dalam menganut suatu agama atau mempercayai pilihannya. Artinya siapapun bebas meyakini suatu keyakinan tanpa paksaan dari pihak manapun, baik yang mempercayai eksistensi Tuhan maupun tidak.
Dengan demikian, bukan suatu hal yang baik apabila kita sebagai Warga Negara Indonesia bersikap diskriminatif kepada kelompok minoritas termasuk penganut ateisme. Dengan begitu, kita dapat menghargai HAM orang lain dalam berkeyakinan. Sebab tak ada aturan tentang larangan keberadaan kelompok ateisme di Indonesia. Dan Negara Indonesia sebagai negara hukum pun wajib menghormati, melindungi, dan menjamin HAM setiap warganya tanpa terkecuali.
ADVERTISEMENT