Gempa Banten, Apakah Foreshock?

Dimas Sianipar
Bekerja di BMKG. Alumnus STMKG. Mahasiswa Ph.D. di TIGP Earth System Sciences, Academia Sinica - National Central University, Taiwan
Konten dari Pengguna
17 Januari 2022 17:09 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dimas Sianipar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tanggal 14 Januari 2022, sebagian besar wilayah Pulau Jawa bagian barat diguncang gempa magnitudo 6,6. Pusat gempa (episenter) berada di laut di sebelah barat daya/selatan Kabupaten Pandeglang, Banten. Sumber gempa ada pada kedalaman 40 km, di sekitar pertemuan lempeng Indo-Australia dan Eurasia. Sebanyak 278 rumah rusak berat akibat gempa ini; mayoritas di Kabupaten Pandeglang.
ADVERTISEMENT
Wilayah selatan Jawa bagian barat sering dikaitkan dengan zona yang punya potensi gempa besar (magnitudo > 8,5) yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Gempa itu, jika terjadi, bisa membangkitkan tsunami yang besar.
Peta episenter gempa (sumber: BMKG, IRIS, USGS) di sekitar barat daya/selatan Pulau Jawa sejak tahun 1990. Tampak gempa Banten 14 Januari 2022 (magnitudo 6,6, kedalaman 40 km) berada dekat dengan episenter gempa 21 Desember 1999 magnitudo 6,5 (kedalaman 56 km). Gempa terjadi di sekitar zona pertemuan lempeng (subduksi) Indo-Australia dan Eurasia.
Apakah gempa Banten 14 Januari 2022 itu merupakan foreshock untuk gempa besar yang akan terjadi (the next big one)?
Jawabannya tidak sederhana.
Istilah foreshock merujuk pada gempa-gempa dengan magnitudo lebih kecil yang terjadi sebelum gempa utama (mainshock) yang signifikan. Dalam hal ini, foreshock maksudnya adalah gempa-gempa pendahuluan (pembuka) yang kemudian diikuti oleh gempa besar (mainshock).
Foreshock sering diasosiasikan dengan tanda-tanda (prekursor) dalam usaha meningkatkan kemampuan memprediksi gempa besar yang akan terjadi.
Dalam era observasi kebumian modern, ada dua gempa besar yang diikuti rangkaian gempa foreshock yang sangat menonjol.
ADVERTISEMENT
Pertama, gempa Tohoku di Jepang 11 Maret 2011 dengan magnitudo 9,0. Gempa ini didahului rangkaian foreshock yang dimulai sekitar pertengahan Februari 2011 (Kato dkk., Science, 2012). Tepat dua hari sebelum gempa 9,0-nya, ada foreshock dengan magnitudo 7,3.
Kedua, gempa Iquique di Chili 1 April 2014 dengan magnitudo 8,4. Gempa ini pun memiliki rangkaian foreshock yang intens dan mencolok (Ruiz dkk., Science, 2014). Foreshock-nya dimulai sekitar Januari 2014.
Perlu diketahui, sepanjang era observasi seismik digital (sejak sekitar 1990), ada beberapa gempa besar lainnya yang secara mencolok punya foreshock. Namun, ada pula gempa besar yang tidak didahului foreshock sama sekali. Dan sering juga gempa-gempa kecil terjadi secara intens, mirip foreshock, tetapi ternyata tidak diikuti oleh adanya gempa besar (tidak ada mainshock-nya).
ADVERTISEMENT
Pun, topik tentang usaha menemukan prekursor gempa dan prediksi gempa masih menuai perdebatan di kalangan peneliti kegempaan itu sendiri. Level ketidakpastian (uncertainties) di bidang kebumian, baik yang berasal dari instrumen dalam pengukuran/observasi, eksperimen, dan/atau dari pemodelan (simulasi), menjadi tantangan bagi peneliti gempa. Kompleksitas geologi dan tektonik juga menjadi tantangan tersendiri.
Sinyal-sinyal yang mendahului (sebelum) gempa besar masih abu-abu. Biasanya foreshock atau prekursor gempa baru diteliti setelah gempa utama (mainshock)-nya terjadi (sifatnya retrospective). Pun begitu, tetap saja, ada sinyal prekursor yang kita temukan di suatu kasus gempa tertentu, tapi tidak ada untuk gempa yang lainnya.
Di Indonesia sendiri, gempa Palu (Sulawesi) 28 September 2018 magnitudo 7,5 punya rangkaian foreshock yang mencolok.
ADVERTISEMENT
Penulis, dalam artikel ilmiah yang dipublikasikan di jurnal Pure and Applied Geophysics (Sianipar, 2020), mengidentifikasi dan menganalisis foreshock gempa Palu tersebut. Dalam artikel berjudul "Immediate foreshocks activity preceding the 2018 Mw 7.5 Palu earthquake in Sulawesi, Indonesia" tersebut disajikan analisis dan diskusi yang menunjukkan ada dua seri foreshock sebelum gempa Palu. Seri pertama terjadi tujuh bulan sebelum gempa utama; seri kedua tiga jam sebelum gempa utama.
Terbaru, penulis dan rekan-rekan meneliti rangkaian foreshock yang sangat intens sebelum terjadinya gempa Ambon 25 September 2019 magnitudo 6,5 (Sianipar dkk., Physics of the Earth and Planetary Interiors, 2022).
Kaitan yang sistematis, antara foreshock atau prekursor gempa yang lain dengan proses pemicuan atau inisiasi gempa utama (mainshock) masih belum jelas dan perlu diteliti lebih dalam. Tetapi, dalam satu-dua dekade terakhir, para peneliti sudah mulai mengerucut pada dua atau tiga teori/model (Kato dkk., 2020, dalam "The generation of large earthquakes", NREE).
ADVERTISEMENT
Gempa Banten 14 Januari 2022 (magnitudo 6,6) menjadi pengingat akan keaktifan, kompleksitas, dan dinamika tektonik di selatan Pulau Jawa. Tetapi, belum bisa dipastikan apakah gempa ini menjadi tanda (foreshock) untuk gempa besar yang akan terjadi.
Saat ini, peneliti gempa pun tetap sepakat bahwa belum ada ilmu dan teknologi yang mampu memprediksi gempa secara akurat: kapan akan terjadi, di mana lokasinya, berapa magnitudonya. Tetapi, usaha-usaha untuk meningkatkan resolusi observasi dan mengidentifikasi sinyal prekursor gempa tetap dilanjutkan, dengan berbagai pendekatan ilmu dan teknologi yang semakin maju. Hal ini juga didukung dengan jaringan instrumen pengukuran yang lebih mumpuni, menghasilkan data-data baru yang menjanjikan. Selain itu, usaha ini didukung kemajuan di bidang komputasi kinerja tinggi.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, prediksi gempa belum bisa dilakukan saat ini. Tetapi, usaha-usaha dalam mengobservasi dan menganalisis foreshock tetap dilaksanakan dan dilanjutkan. ***