Konten dari Pengguna

Damai Kultural vs Damai Imperealis

Dimas Sigit Cahyokusumo
Alumni Program Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik (MPRK) UGM
22 Juli 2024 9:03 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dimas Sigit Cahyokusumo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Setiap manusia di muka bumi pasti sangat menginginkan kehidupan yang tenang, aman, dan damai. Namun, nyatanya keinginan itu hanya berdiam di angan-angan. Hal itu mengingat masih banyaknya penindasan, kerusuhan, dan perang yang terjadi. Telah banyak berbagai inisiatif dari berbagai individu atau lembaga yang mencoba mencari cara untuk menciptakan perdamaian. Tetapi, alih-alih perdamaian itu tercipta malah menimbulkan masalah baru, terkait makna perdamaian yang ingin diupayakan.
ADVERTISEMENT
Kasus beberapa orang yang dianggap intelektual muda berkunjung ke Israel adalah salah satu contoh yang alih-alih ingin menciptakan perdamaian namun berujung masalah. Niat mereka mungkin ingin menciptakan jembatan untuk menuju perdamaian, akan tetapi salah sasaran. Sebab misi dialog untuk membangun perdamaian yang mereka lakukan masih dalam tataran elite yang sejatinya tidak menyentuh akar persoalannya.
Kunjungan tersebut tentu membuat kita bertanya kembali, lantas perdamaian seperti apa yang ingin diciptakan jika kunjungan mereka pun tidak membuahkan hasil, tetapi malah menghasilkan masalah. Pemahaman kita terkait perdamaian sejatinya masih dalam tataran permukaan, yakni tidak adanya konflik dan perang.
Padahal perdamaian sejatinya itu luas. Perdamaian atau dialog menuju perdamaian sejatinya bukan seremonial belaka di antara tataran elite melainkan melibatkan semua pihak terlebih pihak-pihak yang dirugikan.
ADVERTISEMENT
Dialog yang dibangun dalam rangka menciptakan perdamaian, namun hanya di kalangan elite sejatinya merupakan perdamaian imperealis, yakni perdamaian yang melanggengkan kekerasan. Perdamaian hanya terjadi ditingkat para petinggi hanya seremonial seperti berfoto-foto. Perdamaian yang dibangun oleh aktor-aktor tertentu yang senyatanya aktor-aktor itulah dalang dari segala konflik dan perang.
Pasalnya ada banyak kasus beberapa aktor menggunakan cara-cara kekerasan demi tercapainya ketertiban dan keamanan. Oleh karena itu, Johan Galtung salah satu bengawan studi perdamaian, mengatakan bahwa perdamaian itu harus tercipta secara kultural atau menyeluruh.
Perdamaian yang kita harapkan selama ini tidak pernah terjadi, jangan-jangan kita sendiri tidak pernah mampu berbuat adil. Bahkan kelompok-kelompok marjinal atau terpinggirkan tidak pernah dilibatkan dalam setiap upaya perdamaian. Padahal kelompok itu juga memilik hak dalam merasakan keadilan.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, dialog yang dibangun dalam rangka menciptakan misi perdamaian sejatinya harus mengacu pada nilai-nilai kultural, seperti keadilan, solidaritas, dan partisipasi. Karena mungkin saja di satu tempat tidak ada konflik dan perang, namun masyarakatnya menderita? Artinya perdamaian bukan soal seremonial, namun soal hak atas keadilan sosial.