Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Film Scoop, Demokrasi, dan Gerakan Sosial
18 April 2024 10:33 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Dimas Sigit Cahyokusumo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Gerakan sosial pasca rezim Soeharto banyak mengalami pergeseran yang sangat signifikan, setidaknya dilihat dari isu dan cara gerakan sosial itu dibangun. Jika dahulu gerakan sosial selalu identik dengan turun ke jalan atau demo dan isu yang dibawanya soal meruntuhkan rezim yang tidak adil.
ADVERTISEMENT
Namun, pasca rezim Soeharto isu gerakan sosial mulai bervariasi dari baru, seperti perubahan iklim, ekonomi, gender, identitas sosial dan keagamaan hingga skandal para pemimpin negara. Bukan hanya itu, metode yang dipakai pun mulai beralih ke media sosial. Kini orang-orang ketika ingin menuntut sesuatu terhadap pemerintah bukan lagi lewat parlemen jalanan, namun lewat aktivitas media sosial.
Media sosial seperti Facebook, Twitter dan Instagram pada gilirannya telah dimanfaatkan banyak orang untuk menyuarakan keresahannya. Sebagaimana yang terjadi di banyak negara, media sosial telah menjadi metode ampuh dalam menggoyang sistem pemerintahan yang ada. Hal itu sebagaimana yang digambarkan dalam film berjudul “Scoop” tahun 2024. Film ini merupakan kisah nyata drama biografi Inggris tahun 2024 yang disutradarai oleh Philip Martin.
ADVERTISEMENT
Sinopsis Film Scoop 2024 dan Skandal Pangeran Inggris
Film Scoop adalah sebuah drama biografi yang menggambarkan skandal keluarga kerajaan Inggris yang menghebohkan masyarakat. Film Scoop sejatinya merupakan film berdasarkan kisah nyata tentang kasus penyingkapan jaringan perdangangan seks yang dilakukan oleh Jeffrey Epstein.
Jeffrey Epstein semasa hidupnya merupakan mucikari sekaligus jutawan yang diketahui sering bergaul dengan tokoh-tokoh politik terkenal di dunia, salah satunya adalah Pangeran Andrew. Pangeran Andrew dikenal sebagai seorang pilot helikopter dan mantan tentara perang di kepulauan Falkland.
Melansir dari BBC.com, Selasa 13 September 2022, pengamat kerajaan bahkan mengatakan bahwa Pangeran Andrew adalah anak kesayangan ibunya, Ratu Elizabeth II. Namun, perjalanan politiknya tidak sebagus jalan hidup pribadinya. Dalam dokumen pengadilan, Virginia Giuffre mengatakan bahwa dia adalah korban perdagangan seks dan pelecehan oleh Jeffrey Epstein sejak usia 16 tahun. Bagian dari pelecehan itu termasuk “dipinjamkan” kepada pria berpengaruh teman Jeffrey Epstein, yakni Pangeran Andrew.
ADVERTISEMENT
Dalam wawancara tahun 2019 dengan BBC.com, Virginia Giuffre mengaku diperkenalkan ke Pangeran Andrew oleh Jeffrey Epstein dan pacarnya saat itu, sosialita Ghislaine Maxwell, yang membawa mereka ke klub malam. Saat dibawa ke klub malam, Virginia Giuffre dipaksa untuk melakukan hubungan seks dengan ancaman eksplisit atau implisit.
Film Scoop mencoba mengisahkan perjuangan presenter dan jurnalis Emily Maitlis serta tim produksi program berita BBC Newsnight, dalam memperoleh wawancara televisi BBC tahun 2019 dengan Pangeran Andrew.
Dalam wawancara dengan Pangeran Andrew sebagaimana dikisahkan melalui film Scoop, Emily Maitlis mewawancarai Pangeran Andrew tidak seperti jurnalis pada umumnya yang menyudutkan, menjebak dan menjatuhkan narasumber. Sang jurnalis memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada Pangeran Andrew untuk melakukan penjelasan dirinya yang terkait dengan skandal seksnya.
ADVERTISEMENT
Pada saat itu Pangeran Andrew berbicara banyak dan menyangkal tuduhan atas dirinya, namun alih-alih dipercaya oleh masyarakat luas. Pangeran Andrew justru melakukan blunder dengan kata-katanya sendiri. Hal ini membuat masyarakat mulai menyerangnya melalui media sosial Twitter hingga pada akhirnya Pangeran Andrew dipecat oleh Ratu Elizabeth II.
Demokrasi dan Gerakan Media Sosial
Gerakan media sosial di Twitter dalam menjatuhkan Pangeran Andrew dari kedudukannya sebagai orang penting di istana kerajaan Inggris merupakan salah satu dari kekuatan metode gerakan sosial berbasis media online.
Ada banyak kasus yang dilakukan masyarakat dalam menyuarakan dan mengambil peran dalam kehidupan publik untuk mengatur jalannya sistem pemerintahan, seperti kasus Arab Spring yang menjadikan media sosial sebagai metode gerakan dalam mengakomodir masyarakat untuk menjatuhkan rezim ditaktor.
ADVERTISEMENT
Media sosial sebagai metode gerakan sejatinya merupakan fenomena gerakan sosial baru (new social movement). Penggunaan media sosial memungkinkan pertukaran informasi lintas dunia. Dengan adanya media sosial masyarakat sipil kemudian lebih mengenal banyak hal dan tertarik dengan berbagai isu yang tengah viral.
ADVERTISEMENT
Ketertarikan terhadap isu yang tengah viral telah membuat isu “politik lama” yang didominasi isu kelas tidak lagi terjadi. Masyarakat sipil melalui media sosial lebih cenderung fokus pada prinsip kesetaraan.
Di media sosial kita tidak lagi bisa membedakan identitas sosial penggunanya, semua bebas berekspresi, semua bebas mengkritik. Di satu sisi hal ini sangat bermanfaat sebagai agen kontrol dan memang tugas masyarakat untuk mengawal jalannya sistem pemerintahan.
Namun, di sisi lain media sosial juga dapat menjadi pedang yang siap menjatuhkan pribadi seseorang akibat ulahnya sendiri. Adanya media sosial telah membuat masyarakat menjadi sistem yang lebih kompleks karena perubahan yang terjadi begitu cepat, karakter manusia menjadi sangat plural, serta ketersediaan informasi yang sangat banyak.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, nilai-nilai kebenaran terkadang menjadi kabur hingga lahirnya kebohongan (hoax). Oleh karena itu, pendidikan tentang pentingnya bijaksana dalam menggunakan media sosial perlu terus diperjuangan demi terciptanya gerakan yang berbasis pada kebenaran bukan pada kepalsuan dan kebencian.