Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Filsafat Herbert Marcuse: Keinginan dan Rasa Syukur
20 April 2024 23:23 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Dimas Sigit Cahyokusumo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setiap manusia di dunia ini pasti memiliki keinginan, entah apa yang terjadi jika manusia tidak memiliki keinginan. Dunia pastinya akan sunyi dan senyap tidak ada pergerakan dan peradaban. Dengan keinginan manusia bisa berkembang, bergerak dan membangun peradaban.
ADVERTISEMENT
Dengan keinginan manusia bisa mencapai sesuatu yang diinginkan, ada keinginan untuk bahagia, sukses, dan Sejahtera. Keinginan pada dasarnya adalah baik, karena itu naluri manusia. Namun, ada keinginan yang sejatinya juga mampu mendatangkan keburukan.
Keinginan yang baik adalah keinginan yang memiliki niat dan tujuan yang tulus serta mulia. Sedangkan keinginan yang buruk adalah keinginan yang sejatinya dilandaskan oleh hawa nafsu, seperti keinginan serakah, merampas hak orang lain, dan rakus.
Keinginan yang dilandasi oleh hawa nafsu sebagaimana yang dikatakan Buddha adalah “kehausan atau keinginan merupakan sumber segala penderitaan dan kepedihan hidup. Ia adalah sumber nafsu yang tak dapat menimbulkan rasa puas manusia selama hidupnya”.
Hari ini manusia tidak bisa membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Segala sesuatu dianggap baik meski keinginan itu adalah buruk bagi dirinya. Hanya karena gengsi atau terbuai oleh komentar orang disekitarnya, manusia terkadang rela mengejar keinginannya dengan rasa nafsu.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Berkat teknologi modern, dalam masyarakat industri maju, produktivitas barang dan jasa yang diperjualbelikan telah bertambah secara melimpah. Untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya diciptakanlah suatu sistem atau jaringan ekonomi melalui manipulasi kebutuhan, yang disebut dengan iklan.
Disertai iming-iming yang menggiurkan masyarakat dirangsang untuk ingin membelinya. Bahkan dipaksa untuk melampaui kemampuan daya beli seseorang, sehingga orang rela melakukan hutang atau terjebak dengan hutang demi memenuhi keinginan gengsinya.
Masyarakat tidak lagi memiliki rasa cukup, masyarakat tidak memiliki dimensi lain dalam memaknai kehidupan, yakni rasa syukur. Sebab jiwanya terus dipaksa bersikap kompromi dengan keinginan yang dilandasi gengsi dan nafsu.
Padahal dengan hidup sederhana tanpa terbuai oleh glamor iming-iming kehidupan yang semakin hedonistik, kehidupan yang penuh rasa syukur dengan apa yang telah dimiliki sekarang merupakan kunci dari kenikmatan dan bahagia.
ADVERTISEMENT
Dalam ranah psikologi positif, istilah syukur atau bersyukur dikenal dengan gratitude, sebagai keutamaan, meningkatkan dan melindungi kebahagiaan. Beberapa penelitian menyebutkan hasil bahwa orang yang mudah mengalami rasa syukur cenderung lebih bahagia.
Bahkan di dalam agama Allah Swt telah berfirman dalam Surat Ibrahim: (7): “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu”.
Oleh karena itu, nikmatilah hidup ini dengan rasa syukur, tidak ada yang salah dengan keinginan selagi hal itu dilandasi oleh niat, tujuan, serta rezeki yang baik tanpa merugikan orang lain.
Sabar dan bersyukur memang terasa berat untuk dijalani, namun yakinlah seiring kedewasaan diri kita dalam menjalani proses kehidupan, perlahan namun pasti dapat menjalaninya dengan syukur dan bersabar.
ADVERTISEMENT