Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Istilah Itu Adalah Aku Emmanuel Levinas
30 Desember 2024 16:34 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Dimas Sigit Cahyokusumo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini di media sosial kita sering mendengar istilah “ternyata itu adalah aku”. Ungkapan ini menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan ungkapan sindirian. Namun, kini ungkapan itu digunakan anak-anak muda sebagai bentuk ekspresi akan kenyataan hidup dirinya akibat melihat keadaan orang lain. Kelahiran istilah ini mengacu pada keadaan seseorang ketika dahulu waktu kecil hanya bisa melihat tanpa mengalami. Kemudian setelah dewasa ternyata mengalaminya juga.
ADVERTISEMENT
Di media sosial banyak contoh yang bisa dikaitkan dengan ungkapan ini seperti, “orang yang jomblo itu kini adalah aku”, “orang yang stres karena pekerjaan itu kini adalah aku”. Contoh-contoh itu menggambarkan bahwa dahulu sebelum beranjak dewasa kita tidak mengenal soal cinta. Namun, setelah masa puber apa yang sudah dilakukan orang zaman dahulu seperti kesepian dan galau juga kita rasakan. Begitupun ketika kita belum bekerja, namun ketika sudah bekerja yang dahulu hanya bisa melihat kini bisa merasa stres.
Identifikasi diri kepada orang lain yang sudah lebih dahulu mengalaminya mengingatkan pada pemikiran seorang filsuf asal Prancis bernama Emmanuel Levinas tentang “Yang Lain”. Pemikiran Levinas tentang “Yang Lain” berdasarkan identifikasi pada wajah. Wajah di sini bukan berarti bentuk-bentuk fisik seperti hidung, mulut, dan mata. Konsep wajah bagi Levinas adalah keseluruhan diri seseorang yang mengandung sikap etika.
ADVERTISEMENT
Levinas memandang wajah bukan sebagai personalitas. Tetapi sebagai penampakan wajah orang lain yang menuntut sikap tanggung jawab. Sebab bagi Levinas filsafat adalah kebijaksanaan, oleh karena itu hal pertama yang harus dipelajari bukan metafisika seperti hakikat realitas atau ruang dan waktu. Melainkan etika yang membawa pada kebijaksanaan.
Jika dikaitkan dengan ungkapan “ternyata itu adalah aku” semestinya kita ikut merasakan empati bagaimana seseorang jika pada posisi galau, jomblo, kesepian, dan stres. Pemikiran Levinas secara tidak langsung mencoba meruntuhkan tembok sikap egois dalam diri. Kita yang ternyata selama ini menganggap diri kuat dan independen ternyata jika dihadapakan pada posisi yang sama juga mampu mengalami kelelahan. Sehingga seharusnya ungkapan “ternyata itu aku” bukan saja sebagai istilah yang menyamakan soal keadaannya, melainkan sebagai bagian menghargai proses hidup manusia yang dijalankan penuh empati dan kebaikan.
ADVERTISEMENT