news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Sekolah dan Komunitas Jerman di Sarangan Jawa Timur

Dimas Sigit Cahyokusumo
Alumni Program Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik (MPRK) UGM
Konten dari Pengguna
18 Januari 2023 18:54 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dimas Sigit Cahyokusumo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
Hubungan Jerman dengan Hindia Belanda atau yang kemudian dikenal dengan Indonesia, sejatinya bukan sesuatu yang baru. Pasalnya sejak awal abad ke-17 ribuan petualang muda Jerman telah berangkat ke Hindia Belanda dan bekerja pada pemerintah Belanda sebagai pegawai di VOC. Maka tidak heran jika di kemudian hari banyak warga Jerman yang menetap di Hindia Belanda. Salah satunya di daerah Sarangan, Jawa Timur.
ADVERTISEMENT

Sekolah dan Komunitas Jerman di Sarangan, Jawa Timur

Sejak Adolf Hitler menginvasi Belanda pada Mei 1940, pemerintah kolonial segera melakukan tindakan balasan terhadap orang-orang Jerman yang tinggal di Hindia Belanda. Maka tidak heran jika seluruh orang Jerman baik orang biasa ataupun simpatisan partai Nazi mulai ditangkap untuk dipenjara. Kenyataan ini tak lain sebagai bentuk balas dendam pihak Belanda terhadap Jerman yang sudah menjajah tanah leluhurnya (Oktorino, 2020).
Di tengah-tengah kekacauan tersebut, pemerintah Jerman mulai meningkatkan perhatian terhadap warga Jerman di Hindia Belanda. Salah seorang Jerman di Hindia Belanda bernama Walther Hewel yang merupakan utusan langsung dari Nazi Jerman. Kemudian dengan cepat mengurus warga Jerman untuk ditempatkan di suatu tempat bersama-sama. Saat tinggal di Jawa, Walther Hewel pernah mengunjungi Sarangan sehingga ia tahu harus dikumpulkan di mana semua warga Jerman yang tinggal di Hindia Belanda.
ADVERTISEMENT
Desa Sarangan yang damai terletak di ketinggian 1.400 meter dari permukaan laut, di kaki gunung Lawu. Sarangan berada di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sarangan, di bagian tepi danau telaga pasir berhawa sejuk dan nyaman. Di tempat yang nyaman dan sejuk ini, ibu-ibu dan anak-anak Jerman dari seluruh Hindia Belanda dikumpulkan. Selain sebagai sebuah wilayah yang menjadi komunitas warga Jerman, di Sarangan juga didirikan sekolah untuk anak-anak.
Pada awal 1943, lebih dari 350 warga Jerman, termasuk 175 anak usia sekolah, tiba di Sarangan. Setelah sampai di Sarangan, anak-anak itu dibagi ke dalam kelas-kelas menurut hal yang mereka tahu. Sekolah di Sarangan murni menerapkan sistem pendidikan Jerman dengan sembilan jenjang kelas dari mulai sekolah dasar hingga sekolah menengah. Sekolah Sarangan juga menekankan disiplin, sama seperti sekolah-sekolah di Jerman. Anak-anak berbaris mengelilingi telaga sambil menyanyikan lagu pergerakan kaum muda Jerman.
ADVERTISEMENT
Sebelum menerima mata pelajaran lainnya, anak-anak di Sekolah Sarangan diajarkan bahasa Jerman dengan benar. Sebab, hampir semua anak-anak tersebut, lelaki dan perempuan, yang lahir di Nusantara berbicara bahasa Jerman yang tercampur dengan bahasa Belanda dan Melayu. Sekolah Jerman di Sarangan juga disetarakan dengan sistem di Jawa sehingga bahasa Melayu ditambahkan dalam kurikulum sejak kelas tiga.
Pada hari ulang tahun Adolf Hitler, 20 April 1943, sekolah Jerman di Sarangan secara resmi dibuka dengan upacara yang dihadiri para tamu undangan Jerman dan Jepang. Adapun kepala sekolah pertama sekolah Jerman di Sarangan adalah Frau Lydia Bode, seorang misionaris yang menyebarkan agama Kristen di kalangan orang Batak di daerah danau Toba. Pada mulanya, staf pengajar terdiri dari seorang bapak guru dan 15 ibu guru. Dalam perjalanan waktu, jumlah murid kian hari kian bertambah melebihi 180 siswa.
ADVERTISEMENT
Selain didirikan sekolah bagi para anak-anak, para orang tua juga melakukan kegiatan yang sifatnya bertani. Di atas Sarangan ada padang rumput luas untuk sapi perah yang diternakkan para petani Jerman untuk diambil susunya. Susu sapi itu kemudian didistribusikan kepada para ibu yang masih punya anak kecil. Komunitas Jerman memproduksi sendiri daging segar dan sosis. Tukang roti Jerman juga membuat sendiri roti mereka.
Di Sarangan juga tersedia beberapa toko yang menjual kue kering dan basah. Mereka semua saling bantu dan tak seorang di Sarangan kelaparan. Para tukang kebun di area sekitar didorong untuk membuka lebih banyak lagi kebun sayur-mayur. Hasilnya akan dibeli dengan harga kesepakatan bersama. Selain itu, hubungan antara penduduk Jerman dan pribumi terjalin dengan hangat dan bersahabat (Greerken, 2017). Namun, sejak agresi militer kedua Belanda tahun 1949, semua orang Eropa, termasuk Jerman dipulangkan.
ADVERTISEMENT
Sampai saat ini, sebagai apresiasi nilai-nilai sejarah, terdapat sebuah prasasti yang bertuliskan, “dalam persahabatan Jerman-Indonesia sebagai kenang-kenangan akan sekolah Jerman dan para ibu Jerman beserta anak-anaknya yang pernah tinggal di Sarangan di masa kesukaran tahun 1943-1949” (Fiqri, 2022).