Konten dari Pengguna

Jair Bolsonaro: Membangkitkan Kembali Nilai Rezim Diktator Militer Brasil 1964

Dimas Surya Saputra
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia dan Pegiat Isu Amerika Latin.
21 Juli 2021 19:44 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dimas Surya Saputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Foto: twitter.com/jairbolsonaro
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto: twitter.com/jairbolsonaro
ADVERTISEMENT
15 April 2021, Jair Bolsonaro, Presiden Brasil ke-38 berpidato dalam upacara pertukaran Komando Militer Angkatan Darat di São Paulo, mengatakan bahwa peran penegak pertahanan negara dapat menjamin “kebebasan” dalam masyarakat dan “ketenangan” untuk memerintah serta memuji masa kediktatoran militer 1964 yang dapat memberikan dan menjaga nasib baik bagi bangsa.
ADVERTISEMENT
Melihat hal tersebut, bahwasanya ia ingin mengimplementasikan kembali rezim militer pada era sekarang karena kekacauan politik dan ekonomi di domestik. Tentunya, ini bukanlah rahasia umum mengingat Bolsonaro adalah pensiunan tentara AD Brasil serta mantan senator (RJ-Rep) yang sangat mempromosikan kekuatan politik kanan dan diktator di parlemen.
Selain agenda di atas, Ia juga mengkampanyekan rezim militer dalam beberapa acara baik nasional maupun internasional selama memegang kepresidenan. Akibatnya, ini membuka luka lama dan trauma masyarakat terhadap ketakutan pemerintahan militer. Sehingga muncul beberapa pertanyaan, Apakah Bolsonaro ingin mengaplikasikan kembali nilai rezim di masa sekarang dan bagaimana implikasinya? Serta apakah ini menjadi ancaman bagi bangsa Brasil?
Eksistensi Diktator Militer 1964
1 April 1964 merupakan puncak bagi militer Brasil untuk melanjutkan kursi kekuasaan negara setelah 19 tahun vakum dalam keterlibatan di pemerintah. Hal tersebut dilakukan sebagai respons terhadap melawan penyebaran komunis untuk menghindari kemungkinan pergerakan revolusi. Membuat elite militer melakukan kudeta kepada presiden Joao Goulart dengan dukungan Amerika Serikat (AS) untuk menghentikan eksistensi politik kiri di Brasil secara masif di segala lini baik lingkup pemerintah, hukum, masyarakat melalui tindak represi dan intervensi sebagai bentuk kebijakannya.
ADVERTISEMENT
Setelah berhasil melakukan kudeta, kelompok militer mengimplementasikan rezim otoritarianisme untuk mengontrol pergerakan masyarakat dan pemerintah secara penuh dan sepihak sebagai bagian men-tracking kehadiran komunis. Namun, pengaplikasian tersebut mengakibatkan pelanggaran HAM yang dilihat bagaimana elite militer menekan masyarakat dan oposisi melalui operasi penangkapan, penyiksaan, pengasingan, penculikan, bahkan pembunuhan karena tindakan demonstrasi, penggunaan hak berpendapat, kontra pemerintah, atau communist suspect tanpa validitas. Membuat secara langsung memberikan efek takut dengan tujuan mempertahankan eksistensi kediktatoran militer Brasil.
Untuk memperkuat perlawanan pergerakan komunis, elite militer juga menerapkan nilai liberal terutama ekonomi untuk mengangkat kembali perekonomian makro (investasi, industrialisasi, pembangunan, pasar bebas, pinjaman, dsb) negara yang turun akibat resesi. Pengaplikasian tersebut mengalami keberhasilan dilihat dari peningkatan tajam GDP hingga 14% (1968-1973) atau dikenal dengan economic miracle. Tetapi, kenaikan tersebut hanya bertahan sesaat karena adanya krisis minyak 1973 menimbulkan penurunan ekonomi yang berakibat kepada goncangan pemerintah. Ditambah dengan demonstrasi besar-besaran, dan kesenjangan membuat kekuasaan militer jatuh pada 1985.
ADVERTISEMENT
Naiknya Jair Bolsonaro Sebagai Presiden
Dengan runtuhnya rezim militer, tentu mengembalikan pemerintahan yang demokrasi dan memberikan jalan kepada oposisi untuk berkuasa. Hal ini menjadi titik bagi Bolsonaro masuk ke dunia politik untuk membawa citra diktator militer hidup di parlemen sebagai senator selama 7 periode. Melihat 2 dekade belakang pemerintahan Brasil dikendalikan oleh pemimpin sayap kiri seperti Lula da Silva, dan Dilma Rousseff, membuat ia terus bersuara terhadap penentangan kekuasaan kelompok sosialis dengan cara yang ofensif, kontroversial dan ekstrimis.
Ketika Dilma Rousseff terpilih sebagai presiden Brasil untuk kedua kalinya pada 2014, menjadi momentum bagi Bolsonaro untuk mencalonkan diri sebagai presiden, Bersama dengan Hamilton Mourau, pensiunan militer, sebagai calon wakil-nya, ingin membangkitkan kembali nilai rezim militer ke abad 21 sebagai solusi dari permasalahan domestik untuk Pemilu 2018. Akan tetapi, ini menimbulkan skeptis dan kurangnya kepercayaan dari senator, bahkan masyarakat melihat gaya bicaranya selama di parlemen.
ADVERTISEMENT
Melihat peningkatan kriminalitas dan skandal korupsi di Brasil, membuat masyarakat menjadi muak terhadap pemerintahan kiri dalam mengatasi persoalan tersebut dan perlahan mulai mendukung serta mempercayai kekuatan sayap kanan. Sehingga ini dimanfaatkan Bolsonaro untuk meraih dukungan penuh dan berkomitmen mengatasi permasalahan itu dalam janji kampanye-nya pada Pemilu 2018 melalui cara anti-demokratis sebagai solusinya.
Hasilnya, Bolsonaro dapat mengamankan kemenangan Pilpres dengan mengalahkan lawan kandidatnya seperti Fernando Haddad, serta menyingkirkan Lula dalam Pemilu karena terbukti terlibat skandal korupsi. Sehingga ia berhasil memegang kursi kepresidenan Brasil selama satu periode.
Dinamika Kekuasaan Bolsonaro: Ketakutan dan Protes Masyarakat
Selama menjabat sebagai Presiden Brasil, Bolsonaro menerapkan dan mempromosikan sistem rezim militer secara terang-terangan. Hal tersebut dapat dilihat dari penyusunan kabinet menteri yang diisi 7 tokoh militer dari 23 kursi kementerian pada 2019, mempromosikan kelompok militer untuk mengisi administrasi pemerintahan, merayakan kudeta militer 1964, menyerang dan menangkap kelompok jurnalis serta masyarakat yang kontra dengan UU keamanan nasional, penyensoran melalui berita palsu, dsb. Sehingga dinamika ini menjadi pendorong Bolsonaro untuk mencapai kesuksesan misi rezim militer yang diinginkan yaitu “menyelamatkan negara” melalui “sentralisasi kekuatan” di era politik domestik sekarang.
ADVERTISEMENT
Melihat keterlibatan militer dalam urusan politik, masyarakat, terutama golongan tua, peneliti, menganggap ini ancaman di mana kehadiran militer telah mengintervensi di lingkungan masyarakat untuk memberikan rasa takut walaupun itu merupakan upaya Bolsonaro dalam melawan kriminalitas. Akan tetapi, secara tidak langsung menimbulkan trauma, ketakutan bagi warga negara yang memiliki luka lama terhadap rezim diktator. Sehingga, Brasil seakan tidak pernah beralih dari masalah dan sejarah masa lalu.
Karena hal tersebut, menyebabkan masyarakat baik akademisi, aktivis, bahkan oposisi bersatu turun ke jalan kota besar dalam menuntut Bolsonaro turun dari jabatannya bahkan meminta kongres untuk membuka pemakzulan karena penggunaan militer di lingkup politik. Terbaru, skandal korupsi vaksin dan mismanagement pandemi menjadi pendorong lebih dari impeachment. Walaupun begitu, Bolsonaro menggunakan kekuatan polisi militer untuk memukul mundur protestan. Namun, itu tidak membuat para demonstran menyerah dalam melawan kebijakan presiden Brasil ke-38 yang otoriter.
ADVERTISEMENT
Ancaman Politik Domestik?
Melihat karisma dan kebijakan yang dibawa Bolsonaro dalam kendali pemerintah, tentunya ini menjadi ancaman bagi politik domestik terutama demokrasi yang perlahan akan mengikis mengikuti ritme jalannya sistem kontrol kekuasaan. Tentunya ini menjadi posibilitas yang nyata jika ia menerapkan 100% kediktatoran pada 1964 sebagai bentuk nostalgia dan keberhasilan negara di masa sekarang. Akan tetapi, implementasi tersebut tidak dapat berjalan dengan sempurna melihat adanya kemunduran serta kelemahan penerapan rezim dalam beberapa bulan terakhir.
Maret 2021, sebagian besar kelompok militer mengundurkan diri dan melepas keberpihakannya dari pemerintahan yang di mana Bolsonaro mencoba mendorong untuk terlibat secara luas di konstitusi. Ini dilakukan karena presiden me-reshuffle menteri pertahanan saat itu, Fernando Azevedo karena tidak ingin terlibat secara dalam di pemerintah dan menginginkan militer menjauh dari kekuasaan politik. Sehingga, secara perlahan Bolsonaro kehilangan kekuatan militer di politik domestik.
ADVERTISEMENT
Ini diperkuat dengan tekanan yang muncul dari parlemen di mana kelompok oposisi mencoba mengusulkan pemakzulan kepada Bolsonaro melihat penerapan kebijakan yang otoriter membuat posisi presiden menjadi goyah. Akan tetapi, usulan tersebut tidak terlalu menjadi perhatian penting mengingat ia memiliki basis dukungan dari Centrao (kelompok kanan di Parlemen) yang dapat menolak usulan tersebut membuat Bolsonaro dapat bernapas lega dan tetap berwaspada.
Selain itu, jika dibandingkan pada tahun 1968 dengan 2021, Bolsonaro tidak dapat menerapkan rezim militer 100%. Melihat kelompok masyarakat memiliki kekuatan besar untuk melawan kebijakan pemerintah dengan demonstrasi. Hal ini dapat dilihat dari aksi unjuk rasa baik maya maupun nyata yang tersebar secara luas. Ditambah dengan tingkat dukungan yang mulai berkurang membuat pelemahan posisi presiden menjadi nyata.
ADVERTISEMENT
Sehingga melihat hambatan di atas, membuat ancaman implementasi rezim militer akan berkurang bahkan kekuatan pensiunan tentara ini mungkin akan lengser dalam waktu ke depan. Namun ini tetap menjadi suatu hal yang harus diwaspadai oleh kelompok pemerintah dan masyarakat untuk menjamin keamanan kondisi negara mengingat posibilitas Bolsonaro yang akan mencalonkan lagi menjadi presiden pada Pemilu 2022 menjadi headline di Brasil.