Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
ARTSUBS: Repolitisasi Seni Melalui yang Terbesar
24 November 2024 15:59 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Dimas Tri Pamungkas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di akhir tahun 2024, ekosistem seni rupa kontemporer di Kota Surabaya dibuat takjub oleh adanya perhelatan ARTSUBS, sebuah pameran seni rupa kontemporer yang dianggap oleh sebagian orang dan instansi pemerintah setempat, bahkan penyelenggaranya sendiri, sebagai peristiwa seni rupa kontemporer terbesar di kota Pahlawan ini.
ADVERTISEMENT
Seperti anggapan Asmudjo J. Irianto, sebagai direktur artistik ARTSUBS, yang mengatakan bahwa, ARTSUBS merupakan pameran seni rupa berskala besar pertama di Surabaya. Pameran ini menghadirkan 154 seniman, berasal dari skala nasional, Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Jawa Timur atau Surabaya sendiri, Bali, dan Makasar.” (Detik Jatim, 26/10/2024).
Anggapan Asmudjo senada dengan anggapan Kepala Dinas Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga serta Pariwisata (Disbudparpora) Kota Surabaya, Hidayat Syah yang mengatakan, nantinya ARTSUBS akan menjadi acara tahunan di Surabaya. Sebab, kota Surabaya tidak ingin kalah dengan kota-kota lain yang biasanya menggelar pameran seni berskala besar.
Hidayat Syah juga menambahkan bahwa, “ARTSUBS adalah pameran terbesar, Jakarta dan Yogyakarta kalah, Surabaya paling besar. Bahkan dengan pameran di Singapura, masih besar di Surabaya” (Suara Surabaya, 28/10/2024).
ADVERTISEMENT
ARTSUBS digagas oleh Rambat, pemilik Jagat Gallery sebagai direktur utama, bersanding dengan dua tokoh penting dalam ekosistem seni rupa Indonesia, yaitu Asmudjo J. Irianto sebagai direktur artistik, dan Nirwan Dewanto sebagai kurator. Selain itu ada juga tiga nama yang tidak kalah penting sebagai Dewan Kehormatan ARTSUBS, yaitu Karlina Supelli, Aris Utama dan Cahaya Manthovani.
ARTSUBS diselenggarakan di Pos Bloc Surabaya, dari tanggal 26 Oktober hingga 24 November 2024. Memamerkan berbagai karya seni rupa kontemporer dari 154 seniman Indonesia, dalam ruang pamer sekitar 3900 meter persegi. Pameran dibuka secara resmi pada pukul 16:30 WIB oleh Sunarjo Sampoerna dan Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi.
Dipilihnya Kota Surabaya untuk kelahiran ARTSUBS, dianggap sebagai ruang yang tidak bisa dilepaskan dari label metropolitan, dengan masyarakat urban yang gemar mengkonsumsi seni populer dan seni rupa kontemporer, yang biasanya hanya bisa dinikmati di galeri seni atau event kontemporer.
ADVERTISEMENT
Besar Dugaan yang Terbesar
Namun di antara adanya peristiwa ARTSUBS di Kota Surabaya dan berbagai reaksi ketakjubannya, timbullah sebuah pertanyaan yang mendasar, apa sebenarnya yang dimaksud dengan, “besar dan terbesar?”. Tentu kalimat ini bukan hanya sekedar terjemahan dari ukuran dan format acaranya, seperti melalui perbandingan dengan peristiwa seni rupa kontemporer di kota-kota lain yang diucapkan oleh Kepala Disbudparpora, atau bahkan ragam dan jumlah karyanya, serta berbagai nama besar dalam ekosistem seni rupa Indonesia yang terlibat: penyelenggara, seniman, kolektor, dst.
Memang ketika ARTSUBS diselenggarakan, banyak event seni rupa kontemporer di Surabaya menjemputnya dari segala penjuru, dengan motifnya masing-masing. Seperti Drawing Biennale di Galeri AKSERA, Art Lounge, dan Galeri Rakuti. (UN) HEGEMONY di Galeri Dewan Kesenian Surabaya. Partsy di Pasar Tunjungan, dst. Tetapi, respon semacam ini adalah hal biasa yang terjadi dalam ekosistem seni rupa dan tidak hanya terjadi di Surabaya, namun juga di kota-kota lain. Sesederhana seni yang melampaui dirinya sendiri, dalam paradoks yang keras kepala.
ADVERTISEMENT
Lantas, apa yang dimaksud kalimat “besar dan terbesar?”. Besar dugaan, kalimat “besar dan terbesar” yang disematkan ke ARTSUBS, mungkin bisa diterjemahkan sebagai besarnya gerakan repolitisasi seni di Surabaya dalam usaha mempraktikkan esensi seni rupa kontemporer yang secara artistik akan merevolusi kondisi sosial dari seni.
Kondisi sosial dari seni di Surabaya, seperti yang tersirat dari pemilihan tema dalam ARTSUBS, yaitu “Ways of Dreaming”, yang artinya sebuah pernyataan bahwa seni rupa kontemporer Indonesia adalah bentuk-bentuk refleksi dan imajinasi sosial yang juga mengandung aspirasi dan fantasi tentang berbagai segi kehidupan di Indonesia di masa sekarang maupun di masa depan. Memang bukan sekadar mimpi, tapi mimpi yang menggerakkan dan mengubah. Dengan arti lain, “Ways of Dreaming” adalah upaya repolitisasi seni Surabaya untuk menggugah dan mencerahkan dirinya sendiri, dan mungkin juga kota-kota lain.
ADVERTISEMENT
Kondisi sosial dari seni di Surabaya yang membutuhkan “Ways of Dreaming”, juga dipertegas dalam program diskusi ARTSUBS, dengan topik “Seni Rupa Kontemporer Jawa Timur Dari Tahun 1970-an Hingga Sekarang”, pada 1 November 2024, di Pos Bloc, Surabaya, dengan moderator Nirwan Dewanto, sedangkan pembicaranya adalah Wahyudin dan Ayos Purwoaji.
Nirwan Dewanto dalam mengawali diskusi tersebut, mengatakan bahwa perjalanan seni rupa kontemporer di Jawa Timur dimulai sejak adanya Akademi Seni Rupa (AKSERA) yang berdiri di tahun 1967 hingga 1970. Setelah AKSERA, seni rupa kontemporer di Jawa Timur berkembang hingga 1980. Tetapi geliatnya meredup ketika 1990.
Sedangkan Wahyudin, seorang penulis dan kurator seni rupa asal Yogyakarta, dalam diskusi tersebut mengatakan bahwa, sebenarnya banyak seniman berbakat yang ada di Jawa Timur. Tetapi, mereka sangat jarang terekspos dan tersebar di daerah-daerah pinggiran.
ADVERTISEMENT
Mengenai eksposur yang diucapkan Wahyudin, senada dengan apa yang diucapkan oleh Ayos Purwoaji, sebagai Kurator yang lahir dan bergerak di Surabaya dan Jawa Timur, ia mengatakan bahwa perupa Jawa Timur ketika diminta membuka pameran seni, kebanyakan mereka tidak mau atau merasa inferior. Tetapi di 10 tahun belakangan, sebenarnya di Jawa Timur seni kontemporer punya sistemnya sendiri. Yaitu bergerak secara kolektif dengan membawa isu-isu yang ada di sekitar mereka.
Di sisi lain kalimat “besar dan terbesar”, sebagai repolitisasi seni di Kota Surabaya. Sebelumnya kita cukup memahami, bahwa gerakan globalisasi yang sungguh-sungguh telah meluluhlantakkan semua batas budaya dan identitas. Budaya dan identitas, dihancurkan dan didekonstruksi secara bersamaan. Budaya dan identitas adalah sesuatu yang diciptakan dalam konflik dan percakapan, tetapi budaya dan identitas akan berubah dengan adanya penerimaan terhadap kemungkinan pilihan, oleh fakta yang apriori bersifat kontingen. Kondisi semacam ini, juga akan dihasilkan oleh ARTSUBS, bahwa kehadirannya terhadap keaslian di Surabaya adalah untuk perlakuan ironis terhadap yang asli.
ADVERTISEMENT
Dengan meninggalkan kalimat yang “besar dan terbesar” dalam ketidak sadaran alam berpikir, seni rupa kontemporer di Surabaya akan menjadi praktik yang komunikatif. Keindahan ditundukkan oleh mode, dan mode selalu saling bertentangan dan berkontradiksi. Dengan transformasi objek yang diestetiskan menjadi budaya dan identitas, maka sebuah perubahan akan terjadi, di mana budaya dan identitas akan menundukkan dunia seni untuk tujuannya sendiri, semacam hiperproduksi, dan seni dibiarkan dengan kemungkinannya untuk berkelindan dalam menegasikan sistem kapitalisme, atau sebaliknya, melalui repolitisasi subjeknya.
Merepolitisasi seni berarti bekerja sesuai dengan ide-ide dasar, tentang perubahan kondisi sosial dan reproduksi budaya dan identitas kehidupan. Melalui ARTSUBS, seni rupa kontemporer di Surabaya telah mengambil alih peran aktivitas kehidupan, karena paradigma repolitisasi seni yang diturunkan ke repolitisasi budaya dan identitas, membuat seni memiliki status otonom yang vis-à-vis dengan budaya dan identitas, yang pada dasarnya adalah alat ideologis, dan mungkin juga ada dalam sistem kapitalisme global. Di sini seni tidak kehilangan kemampuannya untuk menciptakan dunia baru, dengan terlibat dalam dunia kritik sosial. Di sini kita juga akan menemukan bahwa intervensi artistik yang berlaku dalam masyarakat di bawah kekuasaan ideologi adalah tindakan konseptual dan performatif untuk memantik kesadaran tentang masalah penyimpangan kebebasan manusia.
ADVERTISEMENT