Simbol dalam Seni Membuka Realitas yang Tertutup

Dimas Tri Pamungkas
Writer, Art Curator and Cultural Critic.
Konten dari Pengguna
22 Maret 2023 17:31 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dimas Tri Pamungkas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pameran seni. Foto: ANTARA FOTO/Moch Asim
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pameran seni. Foto: ANTARA FOTO/Moch Asim
ADVERTISEMENT
Dalam memahami simbol, pertama kita harus membedakan dan berasumsi negatif secara mendasar bahwa simbol bukanlah tanda. Tanda tidak selalu berpartisipasi dalam realitas yang ditunjuknya, sedangkan simbol selalu berpartisipasi dalam realitas yang ditunjuknya.
ADVERTISEMENT
Tanda memiliki hubungan dengan suatu makna, makna dalam hal ini tidak selalu dilihat berdasarkan penampilan fisik atau aktualitasnya antara tanda dan petanda. Ambilah sebuah contoh yang paling sederhana, bendera. Bendera adalah sebuah tanda, walaupun maknanya terlepas dari petanda akan bangsa yang diwakilinya.
Sedangkan simbol memiliki analogis yang maknanya terhubung secara langsung dengan penampilan dari eksternalitasnya. Bendera sebagai simbol, berpartisipasi langsung dalam kaitannya dengan kekuatan dan martabat bangsa yang diwakilinya. Oleh karena itu bendera sebagai simbol tidak dapat diganti, kecuali setelah petaka sejarah yang mengubah realitas bangsa yang dilambangkannya.
Kemampuan simbol yang secara langsung merujuk pada sesuatu di luar dirinya, adalah kemampuan untuk melampaui batasan materialnya sendiri. Artinya simbol melepaskan diri dari realitas dan membuka tingkat realitas yang tertutup bagi kita.
ADVERTISEMENT
Simbol dalam seni juga seperti demikian, bahkan untuk karya seni yang begitu abstrak sekalipun. Karena pada dasarnya semua karya seni, menciptakan simbol untuk tingkatan realitas yang tidak dapat dicapai dengan cara lain.
Sebuah karya seni, seperti lukisan. Lukisan memiliki ungkapan akan unsur-unsur realitas yang tidak dapat didekati secara ilmiah, karena dalam lukisan kita akan selalu menjumpai realitas dalam dimensi yang tertutup. Namun secara bersamaan, sebenarnya simbol dalam lukisan telah membuka dimensi dan elemen jiwa kita yang memiliki ketersesuaian dengan dimensi dan elemen realitas. Sebab simbol memiliki sentralitas pada aspek relasional dengan kehidupan manusia, dan simbol dalam lukisan tampil dalam hubungannya dengan interpretasi manusia, lalu dihadirkan dalam bentuk simbolik.
Berdasarkan aspek relasionalnya dengan kehidupan manusia, simbol memiliki nilai yang beragam tergantung konteks dalam penalaran etis. Simbolik dalam lukisan yang berhubungan dengan interpretasi manusia, menyangkut akan nilai simbol yang bersifat memiliki lebih dari satu interpretasi, artinya nilai dalam simbol dipandang sebagai sesuatu yang dapat diperdebatkan, dan nilai dalam simbol yang kemungkinan tunduk pada sensitivitas etis, dapat dikesampingkan oleh pertimbangan etis yang lain.
Seniman Suriah Aziz Asmar melukis seni jalanan di atas puing-puing bangunan yang rusak akibat gempa di kota Jandaris, Suriah. Foto: Khalil Ashawi/REUTERS
Nelson Goodman, filsuf Amerika yang begitu berpengaruh dalam rana estetika kontemporer dan filsafat analitik – dalam bukunya yang berujudul Languages of Art (1968) menjelaskan, bahwa simbolik dalam karya seni secara sederhana adalah metode penandaan untuk membedakan tanda yang merupakan karya seni (representasi) dari tanda yang bukan karya seni, seperti halnya bahasa verbal yang sistem simboliknya tidak melalui artikulasi.
ADVERTISEMENT
Melalui pendapat Goodman, bisa kita asumsikan bahwa kehidupan manusia, terkait aktivitasnya, memiliki perbedaan dengan seni. Aktivitas manusia terkait sains atau filsafat, tidak mungkin bisa dipahami dari segi simbol, karena perbedaannya dengan seni hanya akan mengarah pada hal yang dituju dan dibayangkan. Antara semiosis dan mimesis.
Goodman memberikan contoh melalui lukisan Mona Lisa karya Leonardo da Vinci, ia menjelaskan ekspresi wajah Mona Lisa adalah sebuah tanda, sama seperti ekspresi manusia pada umumnya. Namun, pembacaan simbol (semiologi) dan ikon (ikonologi) seperti itu tidak ada hubungannya dengan seni itu sendiri.
Simbol tidak bisa diproduksi dengan sengaja, karena simbol tumbuh dari ketidaksadaran individu atau kolektif serta tidak dapat berfungsi tanpa diterima oleh dimensi ketidaksadaran kita. Karena simbol adalah konsekuensi dari fakta, simbol tidak dapat diciptakan. Seperti makhluk hidup, simbol tumbuh dan mati. Simbol lahir ketika situasinya sesuai, dan mati ketika situasinya berubah.
ADVERTISEMENT
Simbol tidak tumbuh karena kita menginginkannya, dan tidak mati karena kritik ilmiah atau praktis. Mereka mati karena tidak dapat lagi menghasilkan tanggapan dalam kondisi tempat mereka semula menemukan ekspresi.