Konten dari Pengguna

Sudah Sewajarnya Seoarang ASN Netral Sejak dalam Pikiran

Dimas Junian Fadillah
Mahasiswa Departemen Administrasi Publik UNDIP
29 Oktober 2024 13:40 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dimas Junian Fadillah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://www.pexels.com/id-id/pencarian/electoral/
zoom-in-whitePerbesar
https://www.pexels.com/id-id/pencarian/electoral/
ADVERTISEMENT
Nampaknya berita mengenai ketidaknetralan ASN akan massif terjadi, mengingat sebentar lagi akan dihelat sebuah proses pemilihan secara serentak di daerah. Ketidaknetralan ASN dalam Pilkada bagaikan jamur yang tumbuh di musim penghujan. Di mana saja letak daerahnya asalkan basah dan lembab pasti memiliki potensi untuk tumbuh jamur, atau dalam konteks tulisan ini akan berpotensi muncul penyimpangan politis oleh ASN saat menjelang Pilkada.
ADVERTISEMENT
Seperti kasus beberapa waktu lalu, publik dibuat terpingkal-pingkal dengan ulah salah satu camat di Lampung. Pasalnya seorang Camat yang merupakan ASN tersebut terpergok warga membawa alat peraga kampanye dari salah satu paslon di Pilkada. Entah karena panik atau tidak ada tempat persembunyian yang aman, Camat tersebut justru masuk di kolong meja yang masih memiliki rongga di bawahnya. Terkadang memang manusia bisa hilang akal jika kadung panik di dalam keadaan genting.
Setelah dilakukan pemeriksaan, oknum camat tersebut terbukti membawa 250 banner lengkap dengan kayu penyangga serta 41 kaus bergambar salah satu paslon yang diletakan di dalam mobil. Terlepas dari etis atau tidak etis, tindakan ASN yang demikian tentunya sangat memprihatinkan. Alih-alih fokus dalam berinovasi pada pemberian layanan kepada masyarakat, oknum ASN malah mementingkan cawe-cawe dalam perpolitikan di tengkat daerah.
ADVERTISEMENT
Penyebab ASN Sulit Netral saat Pilkada
Tentu banyak penyebab yang mendasari seorang ASN sulit netral menjelang pagelaran politik khususnya saat Pilkada. Bagi penulis ketidaknetralan ASN dapat dipengaruhi oleh dua faktor utama, pertama dorongan personal dan yang kedua adalah lingkungan kerja yang tidak mendukung merit sistem secara sempurna.
Dalam bukunya berjudul "Manajemen Sumber Daya Manusia" oleh Wungu dan Brotoharsojo (2003), merit sistem dijelaskan sebagai suatu pendekatan dalam pengelolaan sumber daya manusia yang berfokus pada penilaian dan pengembangan karyawan berdasarkan kemampuan dan prestasi mereka. Dengan adanya merit sistem pegawai (birokrat) memperoleh kesempatan yang sama dalam upaya peningkatan jabatan melalui kompetisi yang sehat.
Namun yang terjadi justru menunjukan keadaan sebaliknya. Masih banyak ditemukannya indikasi mengenai pemberian promosi, mutasi hingga seleksi penerimaan pegawai ASN tidak didasarkan atas kompetensi dan kinerja melainkan dipengaruhi oleh hubungan kedekatan dan praktik culas jual beli jabatan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan hasil SPI (Survey Penilaian Integritas) 2022, KPK menemukan praktik jual beli jabatan terjadi di 13,4% Pemerintah Daerah, 7% Kementerian, dan 6,2% Lembaga. Angka tersebut tak jauh berbeda dengan Survei Penilaian Integritas (SPI) di tahun 2023, sebanyak 82% responden menilai bahwa jual beli jabatan paling sering terjadi di pemerintah daerah.
Dengan realitas tersebut, tak ayal membuat oknum ASN memilih rela mempertaruhkan etika dan moralitas demi mempertahankan dan meningkatkan jabatannya dalam birokrasi. Lebih lebih jika yang bersaing dalam pilkada adalah petahana, jelas saja relasi kuasa menjadi hal yang sulit untuk dihindari oleh para birokrat. Sehingga dibutuhkan keterbukaan antar lembaga pemerintah dan masyarakat
Politik praktis memang asyik, tapi bukan ranah ASN
Politik praktis seakan menjadi lahan basah yang menawarkan berbagai keuntungan bagi setiap orang yang melakoninya, tak terkecuali bagi ASN. Namun hal tersebut tidak serta merta membuat kegiatan politik praktis menjadi barang yang halal dilakukan oleh ASN.
ADVERTISEMENT
Apalagi jika melihat kinerja yang saat ini berjalan, masih banyak ditemukan fenomena yang membuat kekecewaan masyarakat memuncak akibat layanan publik yang tersedia. Mulai dari keluhan lambatnya pelayanan karena proses administrasi berbelit, kurangnya inovasi dan teknologi, serta masifnya penyalahgunaan wewenang yang kerap menghambat terpenuhinya kebutuhan masyarakat.
Oleh sebab itu sudah selayaknya sebagai pejabat birokrasi baik di pusat maupun daerah, seorang ASN harus dapat melaksanakan fungsinya dan memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Mulai dari memperbaiki kualitas layanan, memberikan aksesibilitas yang mudah melalui pemanfaatan teknologi, dan meningkatkan responsivitas terhadap kebutuhan masyarakat.
ASN harus sudah netral sejak dalam pikiran
Keberadaan ASN dalam politik praktis memiliki posisi yang strategis dalam menghimpun kekuatan partai politik dan aktor politik. Keterlibatan ASN akan sangat membantu pada saat pelaksanaan kampanye, yang sering kali melalui penggunaan fasilitas negera seperti kendaraan dinas, gedung pemerintahan beserta kelengkapannya dan kewenangan yang dimiliki.
ADVERTISEMENT
Tak terelakan pertukaran transaksi politik antara elit politik dengan ASN dalam Pilkada acapkali menimbulkan terjadinya konflik kepentingan yang tak berkesudahan. Jangan sampai hal ini terjadi secara berulang pada masa pemilihan kepala daerah yang sebentar lagi dihelat secara serentak.
ASN harus mampu menegakan kode etik bukan sekadar menjadi kurcaci yang mudah dimanfaatkan oleh elit dalam politik praktis. Apalagi sudah dipertegas dengan UU No. 5 Tahun 2014 Pasal 2 huruf f, bahwa setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh apapun dan tidak memihak kepentingan siapapun. Dengan demikian ASN diberikan amanah untuk bersikap netral bahkan sejak dalam pikiran.