Konten dari Pengguna

Militerisasi Anak Nakal: Solusi atau Kontrol Sosial yang Berlebihan?

Dimas Ramadhan
Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Jakarta yang memiliki ketertarikan dalam menulis.
5 Mei 2025 15:59 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dimas Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, Dedi Mulyadi yang saat ini menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat periode 2025-2030 telah menjadi sorotan publik setelah mengusulkan agar anak-anak nakal dikirim ke pelatihan militer sebagai bentuk pembinaan. Ide ini muncul sebagai respons dari keprihatinan atas maraknya remaja yang terlibat tawuran, geng motor, hingga perilaku menyimpang lainnya. Di tengah keresahan masyarakat, gagasan ini tampak menarik bagi sebagian orang. Namun, dari sudut pandang sosiologi, kebijakan semacam ini perlu dikritisi: Apakah pendekatan militer efektif membentuk perilaku remaja? Atau justru menjadi bentuk kontrol sosial yang berlebihan?
ADVERTISEMENT
Ilustrasi oleh Abolfazl Akhgar di Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi oleh Abolfazl Akhgar di Unsplash

Kenakalan Remaja: Penyebab dan Perspektif Sosiologi

Kenakalan remaja tidak terjadi begitu saja. Faktor-faktor seperti lingkungan keluarga, tekanan teman sebaya, kemiskinan, dan kurangnya ruang ekspresi berperan besar. Teori diferensiasi asosiasi dari Edwin Sutherland menyatakan bahwa perilaku menyimpang dipelajari lewat interaksi sosial, artinya remaja menjadi “nakal” karena lebih banyak bergaul dengan kelompok yang menyimpang daripada yang patuh norma.
Sosiologi menolak anggapan bahwa kenakalan murni akibat “watak buruk” suatu individu. Sebaliknya, kenakalan adalah gejala sosial akibat kegagalan sistem memenuhi kebutuhan dasar remaja mulai dari: kasih sayang, bimbingan, dan ruang berkembang

Militerisasi sebagai Kontrol Sosial

Dalam konteks ini, usulan untuk mengirim anak-anak nakal ke pelatihan militer bisa dilihat sebagai bentuk kontrol sosial formal.
Menurut Emile Durkheim, masyarakat membutuhkan aturan dan hukuman untuk menjaga keteraturan. Namun, jika hukuman terlalu keras dan tidak mempertimbangkan akar masalah, itu bisa menjadi bentuk represi sosial.
ADVERTISEMENT
Foucault dalam Discipline and Punish menyoroti bagaimana institusi modern seperti militer membentuk individu yang “patuh”, bukan hanya secara fisik, tapi juga pola pikir.

Anak sebagai Subjek Pendidikan, Bukan Objek Hukuman

Dalam pandangan sosiologi pendidikan, anak-anak seharusnya dibentuk melalui pendekatan yang mendidik, bukan menghukum. Paulo Freire, tokoh pendidikan kritis, menekankan pentingnya dialog dan empati dalam mendidik anak-anak dari kalangan tertindas. Mengirim anak ke pelatihan militer bisa menciptakan kepatuhan sesaat, tapi belum tentu membentuk kesadaran moral jangka panjang.
Selain itu, pendekatan ini berisiko memperparah trauma atau memunculkan pemberontakan baru. Beberapa studi menunjukkan bahwa anak-anak yang dihukum terlalu keras cenderung mengalami gangguan emosional dan gagal membentuk kepribadian positif. Maka, yang dibutuhkan justru adalah pendekatan yang menyeluruh, seperti konseling, pendidikan karakter, keterlibatan keluarga, dan pembinaan berbasis komunitas.
ADVERTISEMENT

Alternatif Solusi: Restorative Justice dan Rehabilitasi Sosial

Daripada pendekatan militer, restorative justice menjadi alternatif yang lebih manusiawi. Model ini mengajak anak bertanggung jawab atas perbuatannya, namun tetap memberi kesempatan memperbaiki kesalahan melalui dialog dan kegiatan positif. Anak tidak dicap “nakal” selamanya, melainkan diberi peluang untuk berubah. Selain itu, pembinaan sosial berbasis komunitas juga lebih efektif dalam jangka panjang. Program seperti konseling, pelatihan keterampilan, kegiatan ekstrakurikuler, dan dukungan keluarga membantu remaja mengatasi masalah psikologis dan membangun kepercayaan diri. Pendekatan holistik ini menekankan terapi psikologis, bimbingan konseling, dan pengembangan keterampilan hidup. Dalam hal ini, peran pemerintah dan masyarakat sipil sangatlah penting.

Kesimpulan

Usulan Dedi Mulyadi untuk mengirim anak-anak nakal ke pelatihan militer tersebut lahir dari keinginan untuk mencari solusi instan atas kenakalan remaja yang marak. Namun dari perspektif sosiologi, pendekatan ini berisiko memperkuat kontrol sosial yang otoriter, mengabaikan akar masalah sosial, dan membatasi hak anak untuk dibina secara manusiawi.
ADVERTISEMENT
Referensi: