Konten dari Pengguna

Ketika AI Mulai Menentukan Arah Politik Generasi Muda

Dimas Galoh Maulana
Sedang menempuh studi Ilmu Komunikasi di Universitas Pancasila. Percaya bahwa proses adalah bagian penting untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Menulis sebagai cara untuk merekam pemikiran dan terus belajar dari sekitar.
29 April 2025 16:07 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dimas Galoh Maulana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber gambar: https://www.freepik.com/free-photo/it-professionals-using-artificial-intelligence-augmented-reality-hologram_237232807.htm#fromView=search&page=1&position=26&uuid=b5e97084-b724-4d94-a297-f0b5b1729e92&query=Politik+ai+digital+
zoom-in-whitePerbesar
Sumber gambar: https://www.freepik.com/free-photo/it-professionals-using-artificial-intelligence-augmented-reality-hologram_237232807.htm#fromView=search&page=1&position=26&uuid=b5e97084-b724-4d94-a297-f0b5b1729e92&query=Politik+ai+digital+
ADVERTISEMENT
Kita hidup di zaman di mana satu klik bisa membentuk pandangan, dan satu scroll bisa menentukan arah berpikir. Bagi generasi muda, terutama remaja yang tumbuh dalam dunia digital, ini bukan sekadar fenomena teknologi ini adalah kenyataan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
AI (Artificial Intelligence) tidak hanya hadir dalam bentuk chatbot atau teknologi canggih lainnya yang terdengar ilmiah. Ia bersembunyi di balik algoritma TikTok, Twitter/X, Instagram, dan YouTube. AI menentukan apa yang kita lihat, siapa yang kita dengar, dan bahkan siapa yang kita anggap "layak didengar". Tanpa disadari, AI juga mulai ikut menentukan bagaimana kita memahami politik.
Bagi sebagian remaja, politik kini bukan lagi soal diskusi panjang atau debat terbuka. Politik hadir lewat potongan video viral, meme sarkastik, atau cuplikan pidato yang sengaja dipotong untuk menggiring opini. Semua dikemas cepat, lucu, dan mudah dibagikan. Tapi di balik itu, ada satu pertanyaan penting: Apakah kita benar-benar berpikir sendiri, atau sedang diarahkan mesin?
Sumber gambar: https://www.freepik.com/free-photo/digital-communication-technology-background-with-hand-touching-virtual-screen-digital-remix_16016488.htm#fromView=image_search_similar&page=1&position=7&uuid=56a7d703-cc37-4518-8b72-0d43623ee856&query=Politik+ai+digital+
Remaja adalah target paling empuk dalam ekosistem digital. Mereka aktif, penuh rasa ingin tahu, dan mudah terpapar tren. Namun, justru karena itulah mereka paling rentan dibentuk oleh algoritma. AI bekerja berdasarkan pola: apa yang kita sukai, itu yang akan terus disajikan. Jika kita pernah menyukai satu sudut pandang politik, maka kita akan terus melihat sudut pandang itu saja. Inilah yang disebut filter bubble lingkaran informasi yang mengisolasi kita dari keberagaman ide.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, generasi muda berisiko tumbuh dengan cara pandang yang sempit, meski hidup di dunia yang seharusnya bebas informasi. Kita merasa punya pilihan, padahal yang kita lihat sudah dikurasi. Kita merasa bebas berpikir, padahal arah berpikir kita sudah digiring.
Apakah ini kesalahan AI? Tidak juga. Teknologi, pada dasarnya, netral. Namun, ketika AI dijalankan oleh platform yang memiliki kepentingan ekonomi dan politik, netralitas itu bisa berubah menjadi bias. Di sinilah kita harus waspada.
Yang dibutuhkan sekarang bukan sekadar kecakapan teknologi, tetapi kesadaran kritis. Remaja harus tahu bahwa tidak semua yang viral itu valid. Informasi yang paling sering muncul belum tentu yang paling benar. Berpikir dengan cerdas membutuhkan usaha, bukan hanya konsumsi cepat dari layar ponsel.
ADVERTISEMENT
AI boleh canggih, tetapi kita masih punya akal. Selama kita sadar, mempertanyakan, dan berusaha keluar dari gelembung yang nyaman, arah berpikir kita tetap milik kita sendiri bukan milik algoritma.