Sulitnya Menjadi Seorang Anak Perempuan

Rizky Murdiana
Politik Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
2 Agustus 2021 21:11 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizky Murdiana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Image by nastya gepp (Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Image by nastya gepp (Pixabay)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dengan dalih kebaikan sang anak, seringkali orang tua menetapkan aturan-aturan tertentu, namun justru menyebabkan anak merasa terbelenggu
ADVERTISEMENT
Hidup di keluarga kultur jawa dan di wilayah pedesaan memberi tantangan tersendiri bagi seorang anak perempuan. Budaya jawa yang menuntut perempuan harus selalu lemah lembut, halus gemulai menjadi beban tersendiri yang menekan perasaan. Selain itu, berada di lingkungan pedesaan dengan karakter homogen atau menurut Paul H. Landis, ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan semakin menambah kesempurnaan di medan pertempuran seorang anak perempuan.
Sebenarnya, menjadi seorang anak sendiri memang bukan sesuatu yang mudah. Kita hidup di lingkungan keluarga dengan budaya menyatakan pendapat justru dianggap durhaka atau tidak hormat. Dengan dalih kebaikan sang anak, seringkali orang tua menetapkan aturan-aturan tertentu, namun justru menyebabkan anak merasa terbelenggu. Belum lagi, tuntutan masa depan agar bisa menjadi ‘orang’ juga sering disisipkan dalam ambisi berkedok memotivasi.
ADVERTISEMENT
Setidaknya, hal-hal di ataslah yang sering saya dengar dari curahan hati seorang anak yang mengalami dilema dalam kehidupannya. Terlebih lagi seorang anak perempuan pertama, di satu sisi dia merasa kehidupannya terbebani, tapi di sisi lain dia juga memiliki perasaan bersalah dan takut ketika ingin berpendapat atau melakukan sesuatu yang dia inginkan.
Teman saya bernama Chika, seorang anak perempuan pertama dengan dua adik, satu perempuan dan satu lagi laki-laki. Berada di usia seperempat abad dan masih lajang, Chika selalu dituntut untuk segera menikah oleh orang tuanya. Bagi orang tuanya, seorang perempuan tidak perlu memiliki mimpi tinggi-tinggi. Sedangkan bagi Chika, hidup penuh dengan petualangan dan mengutamakan pendidikan merupakan sesuatu yang sangat ia pegang sejak masih sekolah dasar.
ADVERTISEMENT
Bukan tanpa alasan, sebagai seorang anak perempuan pertama, Ia merasa bertanggung jawab untuk membantu perekonomian keluarga. Karenanya, pendidikan dan pekerjaan dengan gaji tinggi, menjadi prioritas yang ingin ia capai lebih dulu ketimbang urusan percintaan.
“Di aku capek eh disuruh nikah tiap hari, Aku masih pengen S2, lamar beasiswa luar negeri, jalan-jalan sama adekku. Tapi kok rasanya nggak mungkin ya” Tutur Chika.

Aturan Orang Tua dan Keinginan Seorang Anak

Ilustrasi anak perempuan. Foto: Shutterstock
Pemikiran seseorang selalu berkembang seiring bertambahnya ilmu pengetahuan maupun pengalaman dalam hidup. Ketika seorang anak lahir sebagai bayi kecil nan lucu, ia masih belum bisa menyampaikan pendapatnya. Yang bisa dilakukan hanyalah menangis ketika kehausan atau kelaparan. Dalam kondisi ini, orang tua memliki kepekaan yang tinggi terhadap sang buah hati, memahami kondisi sang anak dengan memberikan asi atau makanan ketika sang bayi menangis. Namun seiring berjalannya waktu, pemikiran seorang anak juga terus berkembang. Ia mulai memiliki pendapat dan keinginan yang lebih beragam dan semakin kompleks dari waktu ke waktu.
ADVERTISEMENT
Ketika masih anak-anak, pendapat yang berseberangan dengan orang tua cukup diatasi dengan memarahi atau memberi nasihat “itu tidak baik, tidak boleh”. Seorang anak tentu hanya menuruti, mengingat mereka belum mampu menyampaikan pendapatnya dengan alasan yang dapat diterima orang dewasa. Namun seiring waktu, memasuki masa remaja lalu dewasa, Seorang anak mulai memiliki pengetahuan mengenai hak dan kewajibannya, mereka juga memiliki ilmu pengetahuan yang semakin baik, sehingga seringkali memiliki keinginan untuk menentukan pilihan-pilihannya sendiri.
Hal di atas dirasakan oleh Chika. Sejak kecil ia dituntut untuk menjadi anak perempuan yang lemah lembut tapi juga harus tangguh melindungi adiknya. Ketika SMP, Ia mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, namun orang tuanya melarangnya karena alasan perempuan tidak boleh pulang malam.
ADVERTISEMENT
Pun ketika SMA, Ia merasa semakin tertekan kerena orang tuanya terus mengawasi, bahkan ketika kegiatan kemah pramuka. Masalah menjadi rumit sejak ia memasuki dunia perkuliahan. Dengan semakin bertambahnya ilmu pengetahuan yang dimiliki, Ia mulai sadar bahwa Ia juga memiliki hak untuk berpendapat dan menentukan masa depannya.
Keinginannya untuk aktif berorganisasi seringkali ditentang ayahnya, karena membuatnya pulang malam untuk rapat atau event-event lain. Kehawatiran digunjingkan tetangga selalu dijadikan alasan ketika mereka memperingatkan Chika. Namun, tantangan untuk survive di dunia perkuliahan membuat Chika sadar, bahwa tidak semua yang ditentukan orang tuanya sesuai dengan kondisi pergaulan yang dia miliki.
Kondisi ini yang seringkali tidak disadari oleh orang tua. Hal yang baik menurut mereka belum tentu sesuai dengan kondisi lingkungan dan tantangan yang dihadapi sang anak, sehingga aturan orang tua terkadang justru menghambat perkembangan seorang anak.
ADVERTISEMENT

Sejauh Mana Orang Tua berhak Terlibat Menentukan Kehidupan Anak?

Keluarga memang menjadi lingkungan pertama dalam pembangunan karakter seorang anak. Oleh karenanya, pola asuh orang tua menjadi penentu yang dapat mempengaruhi perkembangan pribadi seseorang. Dalam hal ini, menurut Psikolog Diana Baumrind, terdapat setidaknya tiga pola asuh yang umum ditemukan di masyarakat yaitu otoriter, demokratis, dan permisif.
Secara singkat, dalam pola asuh orang tua otoriter selalu menuntut anak untuk mentaati peraturan-peraturan ketat yang ditetapkan oleh orang tua. Selanjutnya, dalam pola asuh orang tua yang demokratis lebih mengembangkan sifat demokratis meskipun di dalamnya juga terdapat aturan maupun pedoman bagi seorang anak. Sedangkan untuk pola asuk permisif, lebih familiar dalam lingkungan keluarga yang sering memanjakan dan tidak banyak tuntutan bagi seorang anak.
ADVERTISEMENT
Menginginkan kehidupan yang baik bagi masa depan anak adalah sesuatu yang wajar. Namun perlu digaris bawahi bahwa, seorang anak juga memiliki pemikiran dan emosi yang kompleks. Tidak selamanya seorang anak akan terus sepaham dengan pendapat orang tua. Mereka terus berkembang seiring waktu bersama pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki.
Oleh karena itu, orang tua tidak seharusnya menuntut berlebihan pada seorang anak. Dalam hal ini, pedoman terkait kejujuran, kesopanan, dan cara berinteraksi sosial merupakan sesuatu yang mendasar yang perlu diajarkan orang tua kepada anak.
Setelah itu ketika anak mulai dewasa dan merasa mampu bertanggung jawab akan kehidupannya, pilihan jalan hidup yang diinginkan menjadi hak sepenuhnya yang bisa ditentukan oleh dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT