Kepergian Yunahar Ilyas adalah Kehilangan Besar Bagi Muhammadiyah

Din Syamsuddin
Guru besar UIN Syarif Hidayatullah, mantan ketum PP Muhammadiyah, ketua dewan pertimbangan MUI.
Konten dari Pengguna
5 Januari 2020 12:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Din Syamsuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Wakil Ketua Majelis Ulama Iindonesia, Yunahar Ilyas. Foto: Dok. Majelis Ulama Indonesia
zoom-in-whitePerbesar
Wakil Ketua Majelis Ulama Iindonesia, Yunahar Ilyas. Foto: Dok. Majelis Ulama Indonesia
ADVERTISEMENT
Bismillahirrahmanirrahim
Kepergian Alm. Yunahar Ilyas ke hadirat Allah SWT, 2 Januari 2020, setelah menderita sakit di RS PKU Muhammadiyah dan RS Sarjito Yogyakarta, adalah duka bagi segenap keluarga besar Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kewafatannya bukan saja merupakan kehilangan bagi keluarga besar kedua organisasi itu, tapi juga bagi umat Islam Indonesia dan Dunia Islam. Almarhum adalah salah seorang ulama Indonesia yang ikut berkiprah di dunia, khususnya di forum Liga Muslim Sedunia (Rabithat al-‘Alam al-Islamy) yang berpusat di Mekkah.
Di Muhammadiyah, almarhum adalah kader sejak aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan kemudian di PP Muhammadiyah sejak Tahun 2000. Beliau merupakan figur ulama yang memiliki wawasan pengetahuan keislaman yang luas. Kemampuan Bahasa Arab yang dimilikinya memungkinkan Almarhum mampu mendalami sumber-sumber Islam, Al-Qur’an dan Al-Hadits, serta literatur-literatur keislaman klasik maupun modern.
Fokus perhatiannya pada tafsir menjadikannya seorang pakar tafsir yang mumpuni. Hal ini ikut mewarnai penulisan Tafsir Al-Tanwir yang merupakan salah satu produk monumental Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Selain seorang ulama, Alm. Yunahar Ilyas adalah seorang muballigh handal yang piawai berceramah dalam bahasa sederhana dan mengena.
ADVERTISEMENT
Tak pelak lagi Alm. Yunahar Ilyas merupakan aset Muhammadiyah yang unik dan langka. Muhammadiyah sebagai gerakan keagamaan menuntut adanya figur ulama-muballigh sekaligus ulama-intelektual. Keberlangsungan gerakan dakwah Muhammadiyah meniscayakan adanya figur pimpinan yang memiliki wawasan pengetahuan keagamaan yang luas sehingga mampu mengembangkan pikiran keislaman yang berkemajuan namun tidak tercerabut dari akar dan dasar-dasar ajaran Islam.
Memang cukup banyak kader ulama di lingkungan Muhammadiyah, baik alumni Luar Negeri maupun Dalam Negeri, namun mereka memerlukan waktu untuk tampil dan ditampilkan. Namun, untuk sementara waktu, agaknya Muhammadiyah terutama untuk tingkat pusat, menghadapi kelowongan figur ulama untuk menggantikan posisi Alm. Yunahar Ilyas. Simaya Muhammadiyah sebagai gerakan Islam menuntut adanya shibghah Islamiyah. Tanpa shibghah Islamiyah Muhammadiyah akan kehilangan ruh Islami.
ADVERTISEMENT
Di Majelis Ulama Indonesia, di mana Almarhum menjabat sebagai salah seorang ketua kemudian Wakil Ketua Umum hingga akhir hayatnya, juga tak terlepas dari sentuhan pikiran Almarhum. Almarhum ikut mewarnai keputusan-keputusan MUI. Sebagai seorang ulama, Almarhum mampu memposisi diri pada Wasathiyat Islam sejati, yang tidak sekedar menekankan moderasi dan toleransi, tapi memadukannya dengan watak i’tidal dan tawazun.
Yang pertama menekankan penegakan keadilan dan adanya keadilan dalam masyarakat, maka pengamal Wasathiyat Islam sejati akan gusar dan prihatin jika merajalela berbagai bentuk ketidakadilan. Yang kedua, tawazun, juga mengejawantah dalam sikap kecenderungan menegakkan keseimbangan dan prihatin terhadap berbagai bentuk kesenjangan dan ketimpangan. Dua kriteria Wasathiyat Islam ini, i’tidal dan tawazun, sering dilupakan karena hanya terfokus pada moderasi dan toleransi.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, kita menjadi lembek (bukan lembut) terhadap kemungkaran-kemungkaran terutama yang bersifat struktural yang melekat dalam sistem kehidupan kolektif/kebangsaan. Dari jarak dekat, saya menilai Almarhum Yunahar Ilyas, sebagai ulama sejati, memiliki kuat komitmen kepada Wasathiyat Islam demikian.
Hanya saja, Almarhum banyak memilih diam (tidak berbicara di ruang publik yang luas), dan hanya memilih berbicara pada audiens terbatas, yakni jemaah kajian tafsir yang diasuhnya. Sikap demikian sebenarnya cukup berarti dari pada banyak ulama lain yang bisu karenanya lidahnya kelu, atau cenderung menggebu-gebu membela pihak tertentu. Maka kewafatan ulama dari umat ini perlu menjadi peristiwa yang disikapi secara ijabi (responsif untuk mengajukan solusi).
Adalah manusiawi kalau kita bersedih atas kewafatan Almarhum, namun akan lebih baik kalau kita mengambil hikmah dari setiap kehilangan tokoh, yaitu dengan berupaya menghadirkan generasi penerus. Wa kafa bi al-mauti wa’izhan, cukuplah bagi kalian kematian sebagai pelajaran. Maka jadikanlah kewafatan Almarhum Yunahar Ilyas sebagai pelajaran, yakni dengan menghadirkan Yunahar-Yunahar baru.
ADVERTISEMENT
-----------
M. Din Syamsuddin
Ketua Umum PP Muhammadiyah 2005-2015;
Ketua Dewan Pertimbangan MUI