Tentang Kekerasan di Wamena

Din Syamsuddin
Guru besar UIN Syarif Hidayatullah, mantan ketum PP Muhammadiyah, ketua dewan pertimbangan MUI.
Konten dari Pengguna
28 September 2019 16:59 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Din Syamsuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Warga mengungsi di Mapolres Jayawijaya saat terjadi aksi unjuk rasa yang berakhir rusuh di Wamena, Jayawijaya, Papua, Senin (23/9/2019). Foto: ANTARA FOTO/Marius Wonyewun
zoom-in-whitePerbesar
Warga mengungsi di Mapolres Jayawijaya saat terjadi aksi unjuk rasa yang berakhir rusuh di Wamena, Jayawijaya, Papua, Senin (23/9/2019). Foto: ANTARA FOTO/Marius Wonyewun
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bismillahirrahmanirrahim
Kita semua yang memiliki hati nurani sangat sedih mengetahui terjadinya tindak kekerasan di Wamena yang menimbulkan puluhan korban tewas mengenaskan dan ratusan lain mengalami luka-luka berat dan ringan.
ADVERTISEMENT
Kejadian tersebut tidak terlepas dari peristiwa di Papua sejak beberapa waktu lalu berupa aksi unjuk rasa di Sorong, Manokwari, Jayapura, dan tempat-tempat lain bahkan Ibu Kota Jakarta yang memprotes ketidakadilan hingga menuntut kemerdekaan.
Seyogyanya, gerakan protes itu sudah bisa diatasi dan diantisipasi, terutama faktor pemicunya di Surabaya berupa penghinaan terhadap orang Papua sudah harus cepat ditindak tegas. Tapi, kita menyesalkan respons aparat keamanan dan penegakan hukum sangat lamban dan tidak adil.
Kalau hal demikian berlanjut, maka akan dapat disimpulkan bahwa negara tidak hadir membela rakyatnya. Negara gagal menjalankan amanat konstitusi yakni melindungi rakyat dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Negara berperilaku tidak adil dalam menghadapi aksi unjuk rasa yang sebenarnya absah di alam demokrasi. Pemerintah terjebak ke dalam sikap otoriter dan represif yang hanya akan mengundang perlawanan rakyat yang tidak semestinya.
ADVERTISEMENT
Memesankan kepada semua pihak, khususnya pemangku amanat baik pemerintah maupun wakil rakyat, agar segera menanggulangi keadaan dengan penuh kesadaran akan kewajiban dan tanggung jawab.
Hindari perasaan benar sendiri bahwa negara boleh dan bisa berbuat apa saja, baik 'membunuh rakyatnya' atau 'membiarkan rakyatnya dibunuh oleh sesama dan negara tidak bisa berbuat apa-apa'.
Wallahul musta’an.
Jakarta, 28 September 2019.