Konten dari Pengguna

Analogi Kisah dalam Puisi Tiga Babak Karya Sapardi

Dina Amalia
Mahasiswi Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
30 Juli 2024 6:06 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dina Amalia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Analogi merupakan salah satu bagian dari unsur intrinsik yang berperan penting dalam pengejawantahan makna puisi. Menurut Robert Stanton analogi atau simbolisme mengacu pada penggunaan simbol-simbol, karakter, latar, atau tindakan yang mewakili atau melambangkan suatu ide, konsep, atau makna yang lebih besar dalam sebuah karya sastra.
ADVERTISEMENT
Berbicara mengenai analogi, dalam puisi “Tiga Lembar Kartu Pos’ ini mempersoalkan pasal spiritualitas yang ingin disampaikan pengarang. Banyak analogi yang sangat apik jika di bahas lebih lanjut.
kutipan “suratmu dulu itu entah dimana, tidak di antara bintang-bintang, tidak di celah awan, tidak di sela-sela sayap malaikat
Penggalan puisi di atas merupakan bentuk perumpamaan pertama yang menyiratkan makna begitu dalam. Kata “suratmu” dalam penggalan puisi di atas bukan diartikan sebagai surat untuk alat berkomunikasi tetapi kata “suratmu” di sini diartikan sebagai petunjuk atau arah dari sang pencipta.
Dalam hal ini pengarang menyiratkan makna petunjuk tidak kunjung datang meskipun dicarinya hingga ke “bintang-bintang”, “celah awan”, sela-sela sayap malaikat”. Penggalan ini dapat pula saya golongkan ke dalam metafora karena “bintang-bintang”, “celah awan”, sela-sela sayap malaikat” merupakan bukti kutipan yang dimana menyiratkan makna petunjuk tidak kunjung datang meskipun kita mengupayakan banyak hal.
ADVERTISEMENT
“kau dimana kini? Sebenarnya saja: pernahkah kau tulis surat itu? Pernahkah sekujur tubuhmu mendadak dingin ketika kau lihat bayang-bayangku yang tertinggal di kamarmu?”
Pada penggalan puisi di atas juga menyebutkan bentuk analogi “bayang-bayang” sebenarnya merujuk pada tokoh utama yang disiratkan pengarang. Dalam penggalan puisi tersebut pengarang ingin mempertanyakan bagaimana wujud petunjuk. Pengarang terus mencari-cari petunjuk yang sebenarnya ia pertanyakan apakah petunjuk itu ada atau tidak. Begitu banyak usaha yang dilakukan demi mendapatkan petunjuk. Penggalan puisi berupa “bayang-bayang” disini merujuk pada perbuatan tokoh itu dalam perjalanan ia menemukan petunjuk. Kata “kamarmu” di sini juga berartikan kepunyaan Tuhan. Tokoh sering kali melakukan apapun yang dianjurkan Tuhan-Nya dalam berkelana mencari petunjuk itu.
Ilustrasi Berketuhanan (Foto:Dina
“Mungkin Aku keliru, mungkin selama ini kau tak pernah merasa memelihara hubungan denganku, tak pernah ingat akan percakapan Kita yang panjang perihal topeng yang tergantung di dinding itu”
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, pada penggalan puisi di atas juga menyebutkan analogi “topeng” yang diartikan sebagai kisah yang sebernarnya ingin ia dan Tuhan-Nya saja yang tahu. Banyak sekali orang-orang yang menyimpan kisah suka maupun duka dengan Tuhan-Nya, itu juga menjadi salah satu gambaran keintiman manusia dengan Tuhan-nya. Dalam puisi ini pengarang memprotes cara berketuhanannya dengan mendelik bahwa ia sudah bercerita dengan bebasnya namun sang pencipta tidak mengubris dan tidak menganggap hubungan mereka.
“siasatnya pasti siasatmu juga; menatap tajam sambil menuduh bahwa kunfayakunku sia-sia belaka”
Berlanjut pada penggalan puisi terakhir, dalam penggalan ini terdapat analogi spiritualitas yang tentunya tidak asing di telinga kita yakni “kunfayakun”. “Kunfayakun” pada penggalan puisi ini memiliki makna usaha yang dilakukan manusia hanya sia-sia belaka tanpa petunjuk dari Nya.
Ilustrasi Berketuhanan. (Foto: Dina Amalia)
Tentunya dengan menggunakan simbolisme dalam pembuatan karya sastra dapat membantu merealisasikan tema yang ingin disampaikan. Selain menambah nilai estetis dengan menggunakan simbolisme ini juga dapat memperkuat arah dan memperkaya pembendaharan kata dalam berpuisi.
ADVERTISEMENT