Konten dari Pengguna

Esensi Diri Pada Tokoh Utama dalam Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-bunga

Dina Amalia
Mahasiswi Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
22 Juli 2024 19:15 WIB
·
waktu baca 18 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dina Amalia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Untuk menguraikan esensi tokoh ini merujuk pada jejak maskulinitas dan stereotip terhadap laki-laki dalam cerpen 'Dilarang Mencintai Bunga-Bunga' ini melalui pendekatan intrinsik monodisipliner menurut Robert Stanton.
ADVERTISEMENT
cr. dinamalia
A. TEMA
a. Tema Utama: Kritik terhadap maskulinitas atau stereotip terhadap bagaimana seharusnya diri seorang laki-laki
b. Tema Minor: filosofis kehidupan (sebagai anjuran untuk memenuhi ragam aspek kehidupan untuk kebahagiaan)
B. KARAKTER (TOKOH)
1. Tokoh utama:
a. Buyung
Karakter anak yang polos dan belum bisa mengetahui jati diri kuat tergambarkan dalam tokoh Buyung ini. Buyung mencerminkan seorang anak yang belum bisa mengenal jati dirinya sendiri dan juga mencerminkan kondisi anak di mana terkadang anak mudah terpengaruhi omongan atau ucapan orang lain. Tokoh Buyung dalam hal ini dilingkupi rasa bimbang dan terkesan labil dalam mencari jati dirinya. Karakter bingung yang dimunculkan dalam tokoh Buyung ini juga menjadikan tema utama kian melekat. Kritik terhadap maskulinitas Buyung siratkan dalam karakter ini. Untuk selengkapnya bisa di lihat dalam kutipan di bawah ini.
ADVERTISEMENT
“kau pergi mencari bunga-bunga itu. Untuk apa, heh?” tenggorokanku tersumbat. Aku diam-diam. Tidak berani menatap wajah ayah. “cari di mana?” tetapi, aku harus menyembunyikan dari mana asal bunga-bungaku. “di sungai, yah,” kataku membohong. Ayah merampas bungaku. Dan, membuangnya ke tempat sampah. Perasaan yang kemarin datang lagi. Aku ingin mengambilnya kembali. “engkau mulai cengeng, Buyung. Boleh ke sungai untuk berenang, bukan mencari bunga.” hlm 12.
Dalam kutipan ini jelas kita rasakan bahwa adanya ketakutan dalam hati Buyung terhadap sosok Ayah yang sifat maskulinnya sangat terasa.
“Dengan Ibu aku baik-baik saja. Ibuku kurasa sangat senang, aku menjadi kerasan di rumah.” Hlm 13. Namun berbeda halnya apa yang Buyung rasakan kepada tokoh Ibu. Buyung menganggap sosok Ibu ialah sosok yang senantiasa mendukung apapun yang Buyung lakukan.
ADVERTISEMENT
“Bagiku sungguh enak tinggal dalam kamar. Kawan-kawan datang mengajakku bermain. Tetapi, aku menolak. Bermain hanya bagi anak-anak. Apakah yang lebih menyenangkan daripada bunga dalam vas?” hlm 14.
“bagiku tidak ada kewajiban lain yang mengikat kecuali ke sekolah dan mengaji.” hlm 15.
“Tidak seorang pun, kecuali aku. Sore itu aku duduk di serambi masjid. Siapakah orangnya yang bisa tersenyum melihat anak-anak memperebutkan kelereng dalam permainan? Aku melihat keasyikan itu, anak-anak yang didorong oleh nafsu. Aku tersenyum dalam ketenangan. Jiwaku dikuasai oleh ketenangan batin yang mengasyikkan. Tidak ada niatku untuk bermain. Lebih baik duduk tenang, tersenyum memandang segala hiruk-pikuk dunia.” hlm 19.
“Aku sadar menangis ialah kesia-siaan. Aku tersenyum. Kakek menghapus air mata dari mukaku. Saputangannya semerbak wangi bunga. Aku menghirup sekuatnya wewangi itu. Dan, habislah penderitaanku.” hlm 21.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa kutipan tersebut kritik terhadap maskulinitas kian kita rasakan. Di mana kesan untuk memenuhi ragam aspek kebutuhan seorang manusia dalam mencapai kebahagian mempengaruhi Buyung dalam bertindak. Ini merupakan bentuk kritik terhadap stereotip yang beranggapan kalau laki-laki hanya bisa bekerja dan bekerja.
"Apa kerja Kakek sebenarnya?" Kakek berhenti. Mengawasi aku, katanya: "Sekarang menyiram bunga, Cucu". "Ya. Tetapi, apa sebenarnya kerja Kakek?". "Pekerjaanku. Cucu," Ia berhenti, "O, ya. Mencari hidup sempurna". "Di mana dicari, Kek?". "Dalam ketenangan jiwa". "Ya, di mana?". "Di sini. Dalam bunga-bunga." hlm 27.
“Ayah menyuruhku kerja di bengkel. Dia tidak membiarkan aku berhenti sekejap pun. Dia akan menegur setiap kali melihatku berhenti. "Bekerjalah. Jangan biarkan tanganmu menganggur, Buyung." Aku teringat kepada Kakek. "Ayah," aku bertanya, "kenapa tidak mencari hidup sempurna?" Ayah berhenti. Menatap aku. Dia melihat mataku. "Ya", katanya. "Aku mencari itu, Buyung". "Mencari di mana, Yah?". "Dalam kerja". "Ya, tetapi di mana?". "Di bengkel, tentu." hlm 27.
ADVERTISEMENT
“"Engkau mesti bekerja. Sungai perlu jembatan. Tanur untuk melunakkan besi perlu didirikan. Terowongan mesti digali. Dan dibangun. Gedung didirikan. Sungai dialirkan. Tanah tandus disu- burkan. Mesti, mesti, Buyung. Lihat tanganmu!" Ayah meraih tanganku. "Untuk apa tangan ini, heh?". Aku berpikir sebentar. "Untuk apa tangan ini, Buyung?" tanya Ayah mengulang. Kemudian, aku menemukan jawaban. "Kerja!" kataku.” hlm 28.
Setelah berkelut dengan pikiran sendiri dan mencari tahu bagaimana arti dari hidup yang sempurna, akhirnya Buyung mengerti dan paham bagaimana ia harus bertindak dan memutuskan hidup sempurna apa yang ingin ia raih.
2. Tokoh tambahan
a. Ibu
Karakter sosok ibu yang penuh dengan rasa kasih sayang, dibuktikan dalam kutipan “malam itu aku tidak mau makan. Ibu masuk kamar dan membujuk “tentu saja kau boleh memelihara bunga. Bagus sekali bungamu itu. Itu bewarna violet. Bunga ini anggrek namanya. Aku suka bunga. Kuambil vas, engkau boleh mengisinya dengan air. Dan, bunga ini ditaruh di dalamnya. Kamar ini akan berubah jadi kamar yang indah! Setuju?””. hlm 7.
ADVERTISEMENT
“Ayah menyuruh Ibu membuat supaya aku disuruhnya bermain di luar."Engkau mesti memilih permainan yang baik," kata ibuku. "Ayahmu menyuruhmu main bola. Atau, berenang. Kalau tidak mau, kau akan dibawanya ke bengkel." Dan, beberapa hari kemudian, sebuah bola kaki dari kulit yang bagus tersedia di rumahku. Ayahku menyediakan pula sebuah alat olahraga. Ayah memberi contoh bagaimana memakainya. Tetapi, mengangkatnya saja aku tak berdaya.” hlm 14.
Kulihat kembali tanganku, kotor. Ayah pergi dengan mobil di depan itu. Ibu menatapku, sementara aku belum menyadari apa yang terjadi, katanya: "Turutilah ayahmu, Nak,"’ hlm 23.
"Jangan membantah ayahmu, Nak. Cepatlah mandi. Ah, hampir lupa. Engkau harus mengaji." hlm 26.
Meskipun demikian sosok ibu tidak terlepas dari Ayah.
ADVERTISEMENT
“"Ibu. Katakanlah. Apa yang lebih baik dari ketenangan jiwa dan keteguhan batin?" lbu berdiri kaku. Memandangku seperti bukan anaknya. Mataku ditatapnya dengan dalam-dalam. Aku tahu. Ibuku terkejut. Kelakuanku bagi Ibu adalah sesuatu yang baru. Tentu saja, karena lbu datang dari dunia hiruk-pikuk. Dia memandang seperti tidak mengenal. Mengamati aku penuh perhatian. Aku adalah manusia baru. Ibu memanggil namaku. Aku menjawabnya dengan sopan. Dia memanggil lagi. Dan, aku menjawab sebaik-baiknya. Kemudian, ibu pun pergi. Masih sempat kulihat: Mata Ibu merah seperti menangis. Kukira Ibu sedang sedih. Kenapa harus sedih?” hlm 18.
Dalam kutipan ini terasa bahwa ketakutan dan kekecewaan seorang Ibu yang harus melihat anaknya tidak bisa mengenali dirinya sendiri bahwa bagaimana seorang laki-laki bertindak dan bersikap. Hal ini membuat konflik batin Buyung mulai bergejolak untuk menemukan siapa dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
b. Ayah
Karakter Ayah yang pekerja keras dan ulet dalam bekerja, dibuktikan dalam kutipan di bawah ini.
”ayah sibuk dengan pekerjaan karena malas adalah musuh terbesar laki-laki, kata ayah. Benar, di desa kita banyak tetangga, tetapi mereka membuat banci pikiran. Dan, itu ayah tidak suka” hlm 1.
Karakter Ayah yang tempramen, pemarah, dan memandang bahwa laki-laki itu harus bekerja dengan kasar bukan bermain dengan bunga-bunga, dibuktikan dalam kutipan di bawah ini.
“Ayahku melemparkan Koran dari tangannya dan meninggalkan aku, “untuk apa, heh,” jawabnya. Itu adalah ucapan ayah yang sering kudengar “bertanyalah tentang lokomotif. Jangan tentang kakek-kakek sebelah rumah.”” hlm 5.
““lelaki tidak perlu bunga, Buyung. Kalau perempuan, bolehlah. Tetapi, engkau laki-laki” ayah melemparkan bunga itu.” hlm 7.
ADVERTISEMENT
“kau pergi mencari bunga-bunga itu. Untuk apa, heh?” tenggorokanku tersumbat. Aku diam-diam. Tidak berani menatap wajah ayah. “cari di mana?” tetapi, aku harus menyembunyikan dari mana asal bunga-bungaku. “di sungai, yah,” kataku membohong. Ayah merampas bungaku. Dan, membuangnya ke tempat sampah. Perasaan yang kemarin dating lagi. Aku ingin mengambilnya kembali. “engkau mulai cengeng, Buyung. Boleh ke sungai untuk berenang, bukan mencari bunga.” hlm 12.
“Di kamarku selalu terlihat vas dengan bunga-bunga. Ayah belum pernah menjenguk kamarku. Itu menyenangkan, Ayah terlalu sibuk untuk mencampuri urusanku. Aku mulai segan bertemu dengan Ayah. Seperti ada orang lain dalam rumah bila Ayah di rumah. Kehadiran Ayah menjadikan aku gelisah. Pasti, Ayah akan datang dengan baju bergemuk. Kotor, seluruh badannya berlumur minyak hitam. Bungkah- bungkah badannya menonjol. Terasa rumah jadi bergetar oleh kedatangan Ayah. Kadang kulihat Ayah menggosokkan tangan kotor itu pada dagu Ibu. Ibu tersenyum, sementara aku sangat kasihan.” hlm 13.
ADVERTISEMENT
“satu kali ayah memanggilku. Aku keluar dari kamar. "Dari mana?" Dia bertanya. "Di rumah, di kamar.", "Untuk apa di kamar, heh, laki-laki mesti di luar kamar!" hlm 14.
““untuk apa bunga-bunga ini, buyung?”. Di depan ayahku, aku tidak bisa apa-apa. Tangannya yang kasar, penuh nafsu untuk menghancurkan, memegang ounndakku. Aku bungkam. “ayo, buang jauh-jauh bunga-bunga itu, heh!” hlm 20.
“Tanganku kotor sampai lengan. Ayah menampar kedua pipiku, katanya:"Untuk apa tangan ini, heh?" Dia mengangkat kedua tanganku dengan kedua tangannya. Aku tidak tahu, jadi diam saja. "Untuk kerja! Engkau laki-laki. Engkau seorang laki-laki. Engkau mesti kerja. Engkau bukan iblis atau malaikat, Buyung. Ayo, timba air banyak- banyak. Cuci tanganmu untuk kotor kembali oleh kerja. Tahu!"” hlm 23.
ADVERTISEMENT
“Sekali-sekali Ayah memerintah padaku. "Buyung. Berdiri kau di situ. Lihatlah mereka yang membangun dunia." Aku akan berdiri, mengawasi kesibukan. Keri- ngat. Gemuk. Tangan berotot. Baju kotor. Gemuruh besi. Telingaku bising. Kubayangkan: orang yang gelisah dalam hidupnya.” hlm 24.
“"Akulah yang memecahkan, Buyung. Untuk apa, heh? Manusia tidak bisa hidup dengan hanya bunga. Ke sini!" Aku menurut dengan ketenangan yang mengagumkan aku sendiri. Ayah memerintah: "Engkau harus berdiri di sini. Aku akan membuat sebuah sekrup. Lihatlah. Dan, besok kau harus mengerjakan sendiri. Awaslah, kalau tidak bisa." Aku mengawasi. Masuk ke dalam kepalaku apa yang kulihat. Ayah tahu, dia menatapku.” hlm 25.
“"Ayah. Sesungguhnya tidak ada yang lebih balik dan ketenangan jiwa dan....". "Diam! Untuk apa, heh? Ayo, pegang palu ini!" Dia menyodorkan palu. "Pukullah besi ini sampai menjadi kepingan tipis. Kerjakan." Aku mengalah. Palu kupegang. Dan, sesorean keringatku bercucuran. Tanganku bengkak. Aku terus bekerja, takut pada Ayah”. hlm 26.
ADVERTISEMENT
Namun sosok Ayah yang tegas dan nampak sangar ini berubah menjadi sosok yang hangat ketika sang anak, Buyung, akhirnya menemukan jati dirinya sendiri, dibuktikan dalam kutipan di bawah ini.
“Ayah tertawa gelak. Mencium tanganku. Dia menampar pipiku keras. Mengguncang tubuhku. Kulihat wajah hitam bergemuk itu memancarkan kesegaran. Aku menyaksikan seorang laki-laki perkasa di mukaku. Menciumi aku. Dia adalah ayahku” hlm 28.
c. Kakek
Karakter yang diperlihatkan Kakek dalam cerpen ini ialah menjunjung tinggi anjuran untuk memenuhi ragam aspek kebutuhan seorang manusia dalam mencapai kebahagiaan, dibuktikan dalam kutipan di bawah ini.
"Jangan khawatir, Cucu. Anggaplah di sini rumahmu. Datanglah ke sini bila kau senggang. Terimalah kakekmu, ya. Kita bisa duduk di sini. Melihat tanaman. Aku punya banyak bunga di sini. Hidup harus penuh dengan bunga-bunga. Bunga tumbuh, tidak peduli hiruk-pikuk dunia. Ia mekar. Memberikan kesegaran, keremajaan, keindahan. Hidup adalah bunga-bunga. Aku dan kau salah satu bunga. Kita adalah dua tangkai anggrek. Bunga indah bagi diri sendiri dan yang memandangnya. Ia setia dengan memberikan keindahan. Ia lahir untuk membuat dunia indah. Tataplah sekuntum bunga, dan dunia akan terkembang dalam keindahan di depan hidungmu. Tersenyumlah seperti bunga. Tersenyumlah, Cucu!" hlm 11.
ADVERTISEMENT
“kataknlah, Cucu. Apakah yang lebih baik dari ketenangan jiwa?” hlm 15.
"Segalanya mengendap. Cobalah lihat, Cucu. Bunga-bunga di atas air ini melambangkan keten- teraman, ketenangan, dan keteguhan jiwa. Di luar matahari membakar. Kendaraan hilir-mudik. Orang berjalan ke sana kemari memburu waktu. Pabrik- pabrik berdentang. Mesin berputar. Di pasar orang bertengkar tentang harga. Tukang copet memainkan tangannya. Pemimpin meneriakkan semboyan kosong. Anak-anak bertengkar merebut layang- layang. Apakah artinya semua itu, Cucu? Mereka semua menipu diri sendiri. Hidup ditemukan dalam ketenangan. Bukan dalam hiruk-pikuk dunia. Ta- taplah bunga-bunga di atas air itu. Hawa dingin menyejukkan hatimu. Engkau akan menemukan dirimu. Engkau akan tahu, siapakah dirimu. Katakanlah, tak ada yang lebih baik dari ketenangan jiwa dan keteguhan batin, Cucu." hlm 16.
ADVERTISEMENT
"Menangis adalah cara yang sesat untuk meredakan kesengsaraan. Kenapa tidak tersenyum, Cucu. Tersenyumlah. Bahkan, sesaat sebelum orang membunuhmu. Ketenangan jiwa dan keteguhan batin mengalahkan penderitaan. Mengalahkan, bahkan kematian." hlm 21.
C. ALUR (PLOT)
a. Eksposisi: Pada bagian ini memperkenalkan tokoh Ayah yang dicitrakan sebagai sosok yang pekerja keras, di mana ia akhirnya dipindahkan pekerjaannya setelah bertahun-tahun mengajukan permohonan katanya supaya Buyung mengenal hidup yang lebih luas dan tidak terkurung dalam lingkungan dusun yang sempit. Hari-hari setelah Buyung sekeluarga pindah, Ayah sudah melaksanakan pekerjaannya kembali. Menurut Ayah musuh terbesar laki-laki adalah malas. Kesibukan Ayah membuat Ayah tidak mengenal banyak tetangga, hanya Ibu yang sudah mulai banyak kawan. Namun, Buyung sekeluarga belum mengenal tetangga terdekat mereka, kabarnya orang yang tinggal di rumah tua berpagar tembok tinggi ialah seorang Kakek yang hidup sendiri. Hal itulah yang menjadi akar dari permasalahan atau konflik dalam cerpen ini.
ADVERTISEMENT
b. Komplikasi: Berlaku sebagai seorang anak yang polos membuat Buyung begitu penasaran dengan kakek di sebelah rumahnya. Buyung kerap kali mengintip rumah Kakek tersebut, dilihatnya banyak sekali bunga-bunga yang tertanam cukup rapi di halaman Kakek tersebut. Keinginan Buyung untuk mengenal Kakek itu tidak pernah padam, dilihat dari lubang-lubang pada pagar anyaman bambu yang Buyung perbuat. Namun, berbagai ketakutan menyerang Buyung sebenarnya, kawan-kawan Buyung pun tidak seorang yang berani untuk membantu Buyung untuk mengenal Kakek tersebut dengan dekat. Buyung memberanikan diri untuk bertanya kepada Ayahnya itu pun tidak pernah memunculkan jawaban apapun atas pertanyaan Buyung, hal itu pun membuat Ayah kesal dan marah, ayah berkata, “bertanyalah tentang lokomotif jangan tentang kakek-kakek sebelah rumah”. Namun, Buyung akhirnya mengenal Kakek itu lebih dekat. Saat itu Buyung sedang memainkan layang-layang bersama teman-temannya, namun layang-layang Buyung putus, dan tiba-tiba pundak puyuh terasa dipegang dan setelah Buyung menengok ada Kakek yang membuat rasa penasaran Buyung hilang Kakek tersebut menenangkan dan memberi nasehat sedikit kepada Buyung. Hal itu menarik perhatian Buyung, saat Kakek tersebut memberikan Buyung sebuah bunga berwarna violet dan itulah awal Buyung mengenai paket tersebut.
ADVERTISEMENT
c. Klimaks: Setelah pertemuan pertama dengan Kakek tersebut membuat Buyung terus penasaran dan ingin mengenal lebih jauh Kakek tersebut. Namun, di sisi lain sikap yang Buyung tunjukkan membuat Ayah dan Ibu jenuh, ragu, takut, dan kecewa karena seharusnya Buyung tidak melakukan hal-hal yang seperti itu. Mereka takut Buyung akan terlalu jauh masuk ke dalam. Ayah seringkali memarahi Buyung agar melakukan sesuatu yang seharusnya seorang laki-laki lakukan seperti bekerja, bermain bola sehingga tidak terpaku pada bunga-bunga yang sering Buyung ujarkan. Namun itu tidak pernah membuat Buyung patah hati, hal-hal tersebutlah yang membuat Buyung terus menyelami hal-hal yang seharusnya ia tidak dalami. Bersama kakek Buyung mengetahui bahwa kebahagiaan dan ketenangan jiwa merupakan kunci dari kebahagiaan hidup dari kunci dari kehidupan yang sempurna.
ADVERTISEMENT
d. Penurunan konflik: Buyung merasa bingung, dan bimbang karena apa yang ditunjukkan Kakek dan Ayah mengenai kehidupan yang sempurna itu berbeda. Ayah terus-menerus memarahi Buyung agar melakukan sesuatu yang seharusnya laki-laki kerjakan, melakukan sesuatu yang memang harus dikuasai oleh seorang laki-laki, berbicara dan bersikap seolah laki-laki jantan. Namun di sisi lain kakek selalu mengucapkan ketenangan jiwa bersama bunga-bunga mampu memberi kebahagiaan hidup. Buyung terus bergelut dengan pikirannya sendiri mengenai apa yang harus ia lakukan, mengenai jati dirinya sendiri dan kenapa Buyung harus melakukan hal-hal yang bertentangan itu. Akhirnya dengan berani Buyung menanyakan kepada kakek dan ayah pertanyaan yang sama yakni apa kunci dari kebahagiaan dan bagaimana pekerjaan itu. Menurut kakek kebahagiaan dan pekerjaan itu tidak bisa terlepas dari yang namanya keterangan jiwa dan bagi ayah kehidupan yang sempurna itu dengan bekerja, dengan melakukan hal-hal yang memang sudah seharusnya dilakukan untuk mencari kebahagiaan. Awalnya hal itu membuat ragu dalam pikiran Buyung, namun akhirnya ia telah menemukan jawaban apa yang seharusnya ia lakukan.
ADVERTISEMENT
e. Penyelesaian: Pada akhirnya Buyung merasakan hal-hal yang mungkin jarang iya rasakan, seorang laki-laki perkasa dengan kulit wajah hitam itu memancarkan kebahagiaan menciumi Buyung karena akhirnya keputusan yang Buyung ambil menurutnya ialah keputusan yang sudah tepat. Pada akhirnya Buyung kembali dengan apa yang memang seharusnya ia lakukan sebagai seorang laki-laki. Menurut Buyung bagaimanapun aku adalah anak ayah dan ibuku.
D. LATAR (SETTING)
1. Latar tempat: Dalam cerita ini ada beberapa latar tempat yang menjadikan saksi bagaimana kritik maskulinitas dan stereotip terhadap laki-laki diceritakan dalam cerpen ini. Pertama adalah lapangan. Tentunya kita tidak bisa memisahkan latar tempat berupa lapangan dalam cerpen ini, karena lapangan merupakan tempat pertama pertemuan Buyung dengan Kakek yang menjadi kisah awal bagaimana konflik atau permasalahan dimunculkan. Latar kedua yakni rumah. Begitu banyak hal yang Buyung rasakan, yang Buyung terima mengenai maskulinitas maupun stereotip terhadap laki-laki. Ayah merupakan salah satu orang yang dengan tegas memberikan kritik mengenai apa yang harus Buyung lakukan, apa yang harus Buyung kerjakan, ayah sangat menentang keras Buyung melakukan hal-hal yang tidak seharusnya laki-laki lakukan, seperti bermain bunga. Ayah sangat menyukai Buyung apabila Buyung menanyakan masalah terkait lokomotif atau hal-hal yang berbau dengan laki-laki namun hal itu tidak didapatkan ayah karena apa yang Buyung lakukan bertentangan dengan apa yang ayah ingin lihat diri Buyung sendiri. Kemudian rumah Kakek juga menjadi saksi bisu Bagaimana Buyung mempelajari hal-hal seperti ketenangan jiwa, kebahagiaan dan mempelajari apa arti bunga-bunga. Pertentangan-pertentangan tersebut Buyung alami baik di rumahnya sendiri maupun di rumah Kakek kedua rumah tersebut merupakan saksi bisu dari apa yang Buyung rasakan.
ADVERTISEMENT
2. Latar waktu: Sedikit latar waktu yang dijelaskan dalam cerpen ini namun di beberapa bagian itu terjadi setelah Buyung pulang sekolah. Dijelaskan bahwa kegiatan sehari-hari Buyung adalah pergi ke sekolah dan mengaji, setelah hal itu maka Buyung akan mendatangi rumah Kakek dan mempelajari hal-hal mengenai ketenangan jiwa dan kemudian pulang ke rumahnya sendiri bertemu dengan sang Ayah yang terus memarahi Buyung karena bunga-bunga yang terus Buyung bawa ke dalam kamarnya.
3. Latar sosial: Tentunya latar sosial yang didapatkan dalam cerpen ini tidak bisa dipisahkan dari kritik sosial dan stereotip masyarakat terhadap Bagaimana seorang laki-laki. Tinggal di sekitar masyarakat yang masih menjalani stereotip tersebut memang sangat besar interpretasinya terhadap jalannya cerpen ini.
ADVERTISEMENT
E. SUDUT PANDANG
Sudut pandang yang berlaku dalam cerpen ini ialah sudut pandang orang pertama yakni aku yang dicerminkan sebagai tokoh Buyung. Sudut pandang pertama ini menegaskan bahwa cerita seakan-akan membawa penonton masuk ke dalam ceritanya. Dalam hal ini tokoh aku alias Buyung membawa pembaca merasakan apa yang ia rasakan dan memperjelas bagaimana status tema dalam cerpen ini sangat kuat. Tentunya keberpihakan tokoh aku di sini sangat related dalam kehidupan sehari-hari bagaimana stereotip atau cara pandang terhadap laki-laki masih kita rasakan sampai saat ini.
F. SIMBOLISME
Dalam hal ini bunga-bunga menjadi simbolisme. Dibuktikan dalam kutipan di bawah ini.
“"Jangan khawatir, Cucu. Anggaplah di sini rumahmu. Datanglah ke sini bila kau senggang. Terimalah kakekmu, ya. Kita bisa duduk di sini. Melihat tanaman. Aku punya banyak bunga di sini. Hidup harus penuh dengan bunga-bunga. Bunga tumbuh, tidak peduli hiruk-pikuk dunia. Ia mekar. Memberikan kesegaran, keremajaan, keindahan. Hidup adalah bunga-bunga. Aku dan kau salah satu bunga. Kita adalah dua tangkai anggrek. Bunga indah bagi diri sendiri dan yang memandangnya. Ia setia dengan memberikan keindahan. Ia lahir untuk membuat dunia indah. Tataplah sekuntum bunga, dan dunia akan terkembang dalam keindahan di depan hidungmu. Tersenyumlah seperti bunga. Tersenyumlah, Cucu!" Dan, aku tersenyum. Pikir- anku melambung jauh ke sebuah dunia yang asing, penuh rahasia, dan mengasyikkan.” hlm 11.
ADVERTISEMENT
Bunga-bunga dalam hal ini memberikan filosofis bahwa kita dapat bahagia dengan caranya masing-masing. Kita akan terlihat sempurna di mata orang yang tepat. Kita lahir dengan keindahan dan orang lain tidak berhak dan tidak bisa mempengaruhi hal-hal itu. Baik bunga dan kehidupan memiliki banyak kesamaan kita dilahirkan sebagai bunga artinya keindahan kesucian remajaan kesegaran sudah hidup dan melekat di kehidupan kita. Maka kita itu indah bagi kita sendiri dan yang memandangnya. Tersenyumlah seperti bunga yang berkembang dengan keindahan.
G. PENCITRAAN
Tokoh buyung (anak) :
1. Dicitrakan sebagai sosok anak yang rasa ingin tahu yang tinggi, dibuktikan dalam kutipan “keinginanku untuk mengenal kakek itu tidak pernah padam. Kau lihatlah lubang-lubang pada pagar anyaman bambo itu akibat perbuatanku”. hlm 3.
ADVERTISEMENT
“menyelidiki dengan mata sendiri berbahaya. Tinggalah aku bertanya kepada orang-orang lain”. hlm 4
Tokoh ayah:
1. Dicitrakan badan tinggi besar dan kukuh, dibuktikan dalam kutipan “Ayahku tampak lebih segar sekarang. Badannya tinggi besar dan kukuh, tidak terlelahkan oleh pekerjaan apa pun.” hlm 1.
2. Dicitrakan sebagai sosok ayah yang idealis, dibuktikan dalam kutipan “Katanya, supaya aku mengenal hidup lebih luas, tidak terkurung dalam lingkungan dusun yang sempit”. hlm 1.
3. Dicitrakan sebagai sosok ayah yang pekerja keras, dibuktikan dalam kutipan “Ayah sibuk dengan pekerjaan karena malas adalah musuh terbesar laki-laki, kata ayah” hlm 1.
4. Dicitrakan sebagai sosok ayah yang memiliki sifat sensitif yakni seseorang yang mudah tersinggung dan mudah membawa perasaannya jika orang lain melakukan atau mengatakan sesuatu, dibuktikan dalam kutipan “Pernah pula aku bertanya kepada ayahku. Ayahku melemparkan Koran dari tangannya dan meninggalkan aku”. hlm 4
ADVERTISEMENT
5. Dicitrakan sebagai sosok ayah yang memiliki sifat pemarah, dibuktikan dalam kutipan “ayah meraih. Merenggutnya dari tanganku. Kulihat bungkah otot tangan ayah menggenggam bunga kecil itu”, “laki-laki tidak perlu bunga, buyung. Kalau perempuan, bolehlah. Tetapi, engkau laki-laki”. hlm 7.
Tokoh ibu:
1. Dicitrakan sebagai sosok ibu yang penuh dengan rasa kasih sayang, dibuktikan dalam kutipan “malam itu aku tidak mau makan. Ibu masuk kamar dan membujuk “tentu saja kau boleh memelihara bunga. Bagus sekali bungamu itu. Itu bewarna violet. Bunga ini anggrek namanya. Aku suka bunga. Kuambil vas, engkau boleh mengisinya dengan air. Dan, bunga ini ditaruh di dalamnya. Kamar ini akan berubah jadi kamar yang indah! Setuju?””. hlm 7.
ADVERTISEMENT
Tokoh kakek:
1. Dicitrakan tangan kurus dengan otot menonjol, rambuut putih, suara serak, dibuktikan dalam kutipan “ketika aku bangun pagi, aku merasa telah bersahabat baik dengan kakek itu. Aku ingat betul; tangan kurus dengan otot menonjol, rambut putih, suara serak” hlm 8.
2. Dicitrakan sebagai seseorang yang ramah, baik hati, penyayang anak dibuktikan dalam kutipan “dia berdiri di bawah, dekat tempatku di atas tembok, tersenyum. Dia seorang yang ramah, baik hati, penyayang anak”. hlm 8.