Konten dari Pengguna

Menyelami Teori Belajar: Integrasi Kognitif, Metakognitif, dan Konstruktivisme

Dina Amalia
Mahasiswi Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
28 Oktober 2024 17:41 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dina Amalia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
KOGNITIF
Kognitif merujuk pada serangkaian proses mental yang melibatkan pengenalan, pemikiran, dan pemahaman. Ketika kita berbicara tentang kognisi, kita membahas bagaimana individu memproses informasi yang diterima melalui pengalaman, pengamatan, dan pembelajaran. Dalam konteks ini, kognitif mencakup berbagai aktivitas mental, seperti berpikir, mengingat, memecahkan masalah, dan membuat keputusan. Proses-proses ini sangat penting karena memengaruhi cara individu merespons situasi dan menentukan tindakan yang diambil dalam berbagai konteks.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Kognitif pada Anak. Sumber: Pexels.com
A. Teori Belajar
Kurt Lewin adalah seorang psikolog yang terkenal dengan kontribusinya dalam teori belajar, khususnya teori medan kognitif. Dalam pandangannya, Lewin menekankan pentingnya kepribadian dan faktor psikologi sosial dalam proses pembelajaran. Dia berargumen bahwa setiap individu tidak berfungsi secara terpisah, tetapi terpengaruh oleh berbagai kekuatan yang ada di sekitarnya.
Konsep "ruang hidup" (life space) yang dikemukakan Lewin merujuk pada totalitas kondisi psikologis dan lingkungan yang memengaruhi perilaku individu. Ruang hidup ini mencakup semua pengalaman, hubungan, dan pengaruh sosial yang dapat membentuk cara individu berpikir dan berperilaku. Dengan demikian, pemahaman tentang ruang hidup penting untuk memahami bagaimana individu belajar dan beradaptasi dalam konteks sosial yang lebih luas.
ADVERTISEMENT
Melalui teori ini, Lewin menunjukkan bahwa belajar tidak hanya bergantung pada kemampuan kognitif individu, tetapi juga pada interaksi sosial dan lingkungan di mana individu tersebut berada. Ini menggambarkan kompleksitas proses belajar, yang melibatkan dinamika internal dan eksternal yang saling berinteraksi.
Menurut Piaget, perkembangan kognitif anak-anak terjadi melalui proses genetik yang berkaitan erat dengan mekanisme biologis, khususnya sistem saraf. Artinya, kemampuan berpikir dan memahami pada setiap tahap perkembangan anak ditentukan oleh faktor-faktor yang diwariskan secara genetik, yang pada gilirannya dipengaruhi oleh perkembangan dan kematangan sistem saraf.
Piaget menekankan bahwa perkembangan kognitif bukan hanya hasil pembelajaran atau pengaruh lingkungan semata, melainkan juga merupakan proses yang sudah ditentukan secara biologis. Sebagai contoh, ketika seorang anak bertambah usia, ia tidak hanya memiliki lebih banyak pengalaman, tetapi otak dan sistem sarafnya juga mengalami pertumbuhan dan pematangan yang memungkinkan peningkatan kemampuan berpikir yang lebih kompleks.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Piaget berpendapat bahwa perkembangan sistem saraf memungkinkan anak-anak untuk beradaptasi dengan lingkungan mereka dan menghadapi tantangan intelektual yang lebih tinggi. Ketika sistem saraf semakin matang, anak-anak akan dapat memproses informasi dengan cara yang lebih terorganisir dan abstrak, memfasilitasi perkembangan ke tahap-tahap kognitif yang lebih tinggi, seperti yang dijelaskan dalam teori tahap perkembangan kognitif Piaget.
Menurut Piaget, dalam proses belajar, anak-anak perlu berperan aktif. Bruner mengembangkan konsep ini lebih jauh melalui teori "belajar dengan menemukan" atau discovery learning. Dalam pendekatan ini, anak-anak diajak untuk menemukan pengetahuan secara mandiri daripada hanya menerima informasi dari guru. Dengan demikian, siswa menjadi peserta aktif yang melakukan eksplorasi, bertanya, dan mencoba memahami konsep dengan cara mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Bruner percaya bahwa dengan metode discovery learning, siswa tidak hanya memperoleh informasi, tetapi juga mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan pemecahan masalah. Proses belajar yang aktif ini mendorong mereka untuk menghubungkan pengetahuan baru dengan apa yang sudah mereka ketahui. Misalnya, dalam pembelajaran sains, siswa mungkin diminta untuk melakukan eksperimen yang membantu mereka memahami prinsip ilmiah secara langsung. Hal ini memungkinkan siswa untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam dan bermakna.
Selain itu, Bruner menekankan pentingnya peran guru dalam menciptakan lingkungan yang mendukung eksplorasi dan penemuan. Guru bertindak sebagai fasilitator yang memberikan pertanyaan-pertanyaan pemandu atau tugas yang merangsang siswa untuk berpikir dan menemukan solusi sendiri. Hal ini berbeda dengan pendekatan tradisional di mana guru menjadi sumber utama informasi, sedangkan siswa cenderung pasif. Dengan metode discovery learning, pembelajaran menjadi pengalaman yang lebih dinamis dan interaktif, yang mempersiapkan siswa untuk belajar sepanjang hayat.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, Bruner berusaha untuk memaksimalkan potensi intelektual siswa melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar, yang pada akhirnya meningkatkan kepercayaan diri mereka dan kemampuan berpikir logis.
METAKOGNITIF
Pendapat Anderson dan Krathwohl pada tahun 2001 menempatkan metakognitif sebagai bagian penting dalam klasifikasi pengetahuan, terutama dalam taksonomi pengetahuan yang mereka kembangkan. Metakognitif, dalam pandangan mereka, dianggap sebagai jenis pengetahuan yang berbeda dari pengetahuan faktual, konseptual, dan prosedural, dan mereka menempatkannya di tingkat tertinggi dalam urutan jenis pengetahuan ini. Metakognitif mencakup kemampuan untuk menyadari, memahami, dan mengelola proses berpikir sendiri, menjadikannya elemen penting dalam pembelajaran yang mendalam.
Pengetahuan metakognitif memungkinkan individu untuk mengetahui bagaimana mereka berpikir dan belajar. Seseorang dengan keterampilan metakognitif yang baik dapat menilai strategi pembelajaran mana yang efektif, kapan waktu yang tepat untuk menerapkannya, dan bagaimana menyesuaikan pendekatan jika menghadapi tantangan dalam memahami suatu konsep atau tugas. Anderson dan Krathwohl menekankan bahwa, berbeda dengan pengetahuan faktual (pengetahuan dasar mengenai fakta-fakta), konseptual (pengetahuan tentang hubungan antara konsep), dan prosedural (pengetahuan tentang cara melakukan sesuatu), metakognitif lebih fokus pada pemahaman diri dan kontrol atas proses belajar itu sendiri.
Ilustrasi Metakognitif pada Anak. Sumber: Pexels.com
Dengan menempatkan metakognitif pada urutan tertinggi, Anderson dan Krathwohl menunjukkan pentingnya kemampuan reflektif dan strategi berpikir kritis dalam belajar. Pengetahuan metakognitif bukan hanya tentang "apa" yang diketahui, tetapi lebih pada "bagaimana" dan "mengapa" pengetahuan itu dipahami. Misalnya, dalam pembelajaran matematika, siswa tidak hanya perlu mengetahui rumus (pengetahuan faktual) dan cara menggunakannya (pengetahuan prosedural), tetapi juga harus bisa mengenali kapan rumus tersebut perlu diterapkan serta bagaimana mereka bisa menilai pemahaman mereka secara mandiri.
ADVERTISEMENT
Secara keseluruhan, klasifikasi ini menggambarkan pandangan bahwa untuk menjadi pembelajar yang efektif, seseorang perlu lebih dari sekadar menguasai konten; mereka juga perlu mampu mengelola pemahaman dan proses belajar mereka. Hal ini relevan bagi guru dan pendidik, yang diharapkan membantu siswa mengembangkan keterampilan metakognitif, sehingga mereka dapat belajar secara mandiri dan mengatasi kesulitan yang mungkin muncul dalam proses belajar.
A. Penerapan Metakognitif dalam Belajar
Dalam bukunya, Jeanne Ellis Ormrod (2019) menyatakan bahwa siswa seringkali mengembangkan strategi pemecahan masalah secara mandiri. Ini menunjukkan bahwa proses berpikir anak-anak bisa sangat kreatif dan intuitif. Misalnya, banyak anak yang mulai memahami konsep penjumlahan dan pengurangan sederhana bahkan sebelum mereka belajar aritmatika di sekolah. Mereka mungkin belajar menambah atau mengurangi melalui pengalaman sehari-hari, seperti berbagi mainan, membagikan makanan, atau bermain dengan teman sebaya.
ADVERTISEMENT
Anak-anak biasanya melakukan proses belajar ini secara alami, tanpa panduan formal dari orang dewasa atau guru. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka dapat mengembangkan pemahaman sederhana tentang operasi matematika karena sering terpapar situasi yang membutuhkan keterampilan tersebut. Misalnya, ketika seorang anak memiliki lima buah apel dan memberikan dua kepada temannya, ia mungkin secara intuitif mengerti bahwa jumlah apel yang tersisa adalah tiga. Pengalaman seperti ini membantu mereka memahami operasi dasar matematika melalui praktik langsung.
Ormrod menekankan bahwa pemikiran dan strategi yang ditemukan sendiri ini merupakan bagian penting dari perkembangan kognitif. Dengan menemukan strategi mereka sendiri, anak-anak tidak hanya memahami cara menyelesaikan masalah, tetapi juga membangun keterampilan berpikir kritis dan mandiri. Hal ini relevan bagi guru dan orang tua, yang bisa memanfaatkan strategi alami ini dengan memberikan kesempatan lebih bagi anak untuk bereksplorasi dan memecahkan masalah sendiri.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kesadaran akan kemampuan alami anak-anak dalam mengembangkan strategi pemecahan masalah ini menunjukkan pentingnya pendekatan pembelajaran yang memungkinkan mereka belajar dengan cara yang lebih kontekstual dan berorientasi pada pengalaman. Daripada hanya mengajarkan rumus atau prosedur secara langsung, pembelajaran yang membiarkan anak-anak mengalami masalah dan menemukan solusinya secara mandiri dapat membantu mereka membangun pemahaman yang lebih mendalam dan bermakna.
KONTRUKTIVISME
Konstruktivisme dalam pendidikan adalah pendekatan yang berfokus pada proses pembelajaran yang membangun pemahaman secara aktif melalui pengalaman langsung dan interaksi sosial. Pernyataan bahwa konstruktivisme merupakan upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern dapat diartikan bahwa pendekatan ini mendorong siswa untuk mengembangkan cara berpikir yang lebih mandiri, reflektif, dan adaptif terhadap tantangan zaman. Di era modern yang dinamis, konstruktivisme menjadi cara untuk membentuk individu yang tidak hanya berpengetahuan, tetapi juga mampu memahami, menganalisis, dan berinteraksi dengan dunia yang kompleks.
ADVERTISEMENT
Dalam praktik pendidikan, konstruktivisme mendorong siswa untuk terlibat dalam pembelajaran bermakna yang relevan dengan kehidupan nyata. Guru dalam pendekatan ini berperan sebagai fasilitator yang membimbing siswa menemukan dan mengembangkan konsep melalui aktivitas kolaboratif dan pengalaman praktis. Dengan cara ini, siswa tidak hanya menyerap pengetahuan secara pasif, tetapi secara aktif membangun pemahaman yang membantu mereka untuk mengintegrasikan pengetahuan ke dalam kehidupan sehari-hari. Ini selaras dengan konsep “berbudaya modern” karena siswa dituntut untuk memiliki kemampuan berpikir kritis, problem-solving, dan keterampilan interpersonal yang penting dalam masyarakat yang terus berubah.
Pendekatan konstruktivis juga menciptakan lingkungan belajar yang memupuk keterampilan sosial dan nilai-nilai budaya yang penting untuk kehidupan modern. Misalnya, saat siswa bekerja dalam kelompok, mereka belajar tentang kerja sama, menghargai pendapat, dan memahami perspektif yang berbeda, yang menjadi ciri masyarakat berbudaya. Selain itu, mereka belajar memaknai informasi dalam konteks sosial yang lebih luas, menyesuaikan cara pandang mereka terhadap keberagaman, dan memupuk sikap terbuka terhadap perubahan—semua ini adalah karakteristik dari tata susunan hidup modern yang mengedepankan toleransi dan kemajuan bersama.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, konstruktivisme dalam pendidikan menjadi alat untuk membangun individu yang tidak hanya berilmu, tetapi juga berbudaya dan berkarakter. Melalui pendekatan ini, siswa bukan hanya dipersiapkan untuk menghadapi ujian atau memahami teori, tetapi juga untuk menjadi warga negara yang mampu berkontribusi positif dalam masyarakat yang semakin kompleks dan global.