Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Eks Mahasiswa Ikatan Dinas yang Tersisa di Havana
20 November 2018 23:05 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
Tulisan dari Dina Martina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Generasi muda sekarang mungkin tidak tau jika sejarah Indonesia di masa lalu telah membuat sejumlah pemuda/pelajar Indonesia di masa itu terpisah dari keluarganya selama bertahun-tahun.
ADVERTISEMENT
Sama halnya ketika saya akan ditempatkan di Kuba, salah satu senior yang pernah ditempatkan di Havana mengatakan bahwa di Kuba terdapat sejumlah Eks Mahid.
“Eks Mahid? Batin saya bertanya! Istilah apa lagi itu?" ketika senior saya menjelaskannya, barulah saya mengerti. Eks Mahid adalah Mahasiswa Ikatan Dinas Indonesia di era Presiden Soekarno, sekitar tahun 1960-an, yang dikirim ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikan S1 di negara-negara seperti Uni Soviet, Chekoslavia, dan negara-negara sosialis komunis lainnya di Eropa Timur.
Ketika itu, Hubungan Pemerintah Indonesia dengan Uni Soviet dan negara sekutunya sangat dekat. Pengiriman ribuan mahasiswa Indonesia keluar negeri oleh Pemerintah Indonesia ditujukan agar sekembalinya dari sekolah di luar negeri mereka dapat membangun Indonesia.
ADVERTISEMENT
Namun, apa mau dikata, jika nasib menentukan lain. Ketika mereka sedang berada di luar negeri, terjadi peristiwa G30S yang kemudian diikuti dengan pergantian pemerintahan.
Banyak di antara mereka yang dicabut paspornya karena tidak mau membuat surat pernyataan mendukung pemerintahan yang baru sehingga menjadi stateless.
Sebagian kecil mahasiswa ini akhirnya terdampar dan menetap di Kuba. Mereka menjadi sahabat-sahabat saya ketika bertugas di Kuba selama 3,5 tahun (2005-2008) dan menjadi salah satu yang menyebabkan saya betah tinggal di Havana Kuba.
Persahabatan saya dengan teman-teman eks Mahid memberikan kesan tersendiri. Mereka sudah seperti orangtua saya. Dengan karakter dan bidang ilmu yang berbeda-beda, banyak pelajaran yang bisa saya ambil dari mereka yang tidak akan pernah terlupakan sepanjang hidup saya.
ADVERTISEMENT
Meskipun usia mereka terpaut jauh dengan saya (sekitar 30-35 tahun) namun kami bisa bersahabat. Sahabat-sahabat saya tersebut adalah Almarhum Gunadito (meninggal pada 2011), Widodo Suwardjo, Ahmad Soepradja, dan Salim. Almarhum Gunadito, Soepradja, dan Widodo merupakan lulusan S2 di Rusia.
Dua yang pertama terdampar di Kuba karena menikah dengan wanita Kuba yang bersekolah di Universitas yang sama di luar negeri. Sementara Widodo tinggal di Kuba karena mendapatkan tawaran proyek dari Pemerintah Kuba. Pak Salim sebetulnya bukan eks Mahid namun ketika peristiwa G30S sedang berobat ke Cina (negara sosialis komunis).
Almarhum Gunadito, biasa dipangil Pak Gun, misalnya, adalah tipikal orang yang suka membantu orang lain, termasuk teman-teman di KBRI, tegas, terus terang, dan berani.
ADVERTISEMENT
Doktor bidang Ekonomi ini (ketika itu berusia sekitar 70-an tahun) sudah pensiun dari Kementerian Ekonomi dan Investasi Kuba sehingga memilik cukup banyak waktu untuk berinteraksi dengan kami.
Salah satu hal yang tak pernah saya lupa adalah ketika beliau dengan mobil Fiat Uno mungil yang sudah sangat tua membawa saya ke Rumah Sakit untuk berobat, padahal saya tidak memintanya.
Hal ini diawali ketika beliau menghubungi saya via telpon dan mendapati saya sakit. Tanpa saya minta beliau langsung meluncur menuju rumah saya yang jaraknya sekitar 3 km, meskipun beliau sendiri saat itu dalam kondisi sakit.
Saya katakan bahwa saya tidak perlu diantar dan bisa ke dokter sendiri. Namun jawaban tak terduga dilontarkan beliau "Saya itu sudah tua, kalau mau mati ya ndak apa, tapi kamu itu masih muda, masih banyak harapan,” jawaban tersebut membuat saya tertegun.
ADVERTISEMENT
Beliau memberikan contoh yang baik, tidak dengan kata-kata tetapi melalui perilaku. Dalam hal ini, ada teladan dari beliau. Biasanya sebagai manusia biasa, kita akan memperlakukan seseorang berdasarkan resiprokal.
Jika seseorang memperlakukan kita dengan baik, kita akan berbuat sama. Demikian juga sebaliknya, jika kita diperlakukan tidak baik oleh orang lain paling tidak kita akan menghindari orang tersebut atau bahkan yang ekstrem lagi kita akan membalasnya.
Namun, apa yang dilakukan Pak Gun? Ketika seseorang memperlakukan Pak Gun dengan tidak baik, namun tetap dibantunya ketika membutuhkan pertolongan, saya sempat menegur “Pak, bukankan dia telah menyakiti hati Bapak? Mengapa Bapak tetap membantunya?” ungkap saya. “ Ah, sudahlah, tidak apa-apa,” jawab beliau.
ADVERTISEMENT
Bigitulah Pak Gun, jika menolong sesama itu tanpa pamrih, sangat tulus, tidak pernah balas dendam. Beliau juga mempunyai prinsip bahwa jika kita menolong orang lain, orang tersebut akan senang, begitu juga kita akan merasa senang.
“Perasaan senang membahagiakan orang lain itu akan membuat kita panjang umur”, kata Pak Gun. Sekembalinya dari Kuba, kami masih sering berkirim kabar melalui email hingga pada Januari 2011, Tuhan memanggil Pak Gunadito. Sedih sekali rasanya.
Foto 1. Almarhum Bapak Gunadito dan istrinya, Ibu America (Sumber: Koleksi keluarga Gunadito)
Lain Gunardito, lain pula Widodo. Master dibidang Metalurgi lulusan salah satu Universitas di Rusia dan Doktor dari Universitas di Havana ini mempunyai karakter yang tenang, sabar, dan komit terhadap janji.
ADVERTISEMENT
Hal ini pula yang menyebabkan kisah hidupnya mendapat banyak liputan media cetak maupun online di tahun 2006. Ini berawal dari kunjungan Presiden SBY dan rombongan ke Havana Kuba untuk menghadiri KTT GNB September tahun 2006.
Kebetulan pada saat ramah tamah, Presiden SBY dengan para WNI di Havana, Pak Widodo duduk satu meja dengan Bapak Andi Mallarangeng yang ketika itu adalah juru bicara Presiden SBY.
Dari hasil perbincangan terungkap, kisah hidup Pak Widodo yang masih membujang di usia 66 tahun karena telah berkomitmen dengan kekasihnya untuk menikah sekembalinya dari Rusia.
Perubahan politik di Indonesia telah menyebabkannya kehilangan kontak dengan kekasihnya. Melalui seorang jurnalis yang juga staf Andi Mallarangeng, kisah hidup Pak Widodo yang sedang mencari kekasihnya dipublikasikan di berbagai media online sehingga banyak menarik simpati.
ADVERTISEMENT
Publikasi yang luas akhirnya berhasil menemukan kekasih hati Pak Widodo. Namun sayang, kekasih Widodo tersebut telah menikah dan beranak cucu. Sangat tragis bukan? Politik telah menelan banyak korban.
Berkat bantuan “Hamba Allah”, pada Juni 2008, Widodo dapat berkunjung ke Indonesia. Kunjungan tersebut telah dimanfaatkannya untuk menemui mantan kekasih hatinya guna menyampaikan permohonan maaf karena tidak dapat melakukan kontak selama sekitar 40-an tahun sejak paspor WNI-nya dicabut.
Setelah menemui mantan kekasihnya, Pak Widodo pun akhirnya merasa lega. Begitulah kisah menyentuh Bapak Widodo. Pada kunjungan ke Indonesia itu, beliau telah pula bertemu Ayahnya di kota Blora yang juga telah puluhan tahun terpisah. Pertemuan yang sangat mengharukan.
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun setelah itu, Ayah Pak Widodo berpulang kepangkuan yang Maha Kuasa. Di Jakarta, Pak Widodo sempat pula bertemu dengan Bapak Andi Mallarangeng untuk mengucapkan terima kasih.
Saat ini di usianya yang menginjak 76 tahun, Pak Widodo masih aktif sebagai peneliti di salah satu institusi Pemerintah Kuba dan belum menikah. Sebagai catatan, di Kuba setiap pegawai dipersilakan untuk terus bekerja hingga pegawai tersebut dengan sendirinya mengajukan diri untuk pensiun.
Foto 2. Pertemuan Andi Mallarangeng dengan Widodo Suwardjo di saah satu kedai Soto di Jakarta Pusat pada 11 Juni 2008 (Foto: koleksi pribadi)
Sahabat yang ketiga, Pak Salim, adalah tipikal orang yang ceria, aktif dan selalu berpikiran positif. Beliau memiliki prinsip hidup sehat dengan olahraga dan makan sehat.
ADVERTISEMENT
Beliau mempunyai target hidup hingga 120 tahun. Orang mungkin tertawa mendengarnya. Begitu pula dengan saya. Namun, apapun kata orang, Pak Salim tetap optimis. “Setiap bangun pagi minum satu gelas air putih, dilanjutkan dengan jogging selama 30 menit dan sarapan pagi dengan dua buah pisang. Untuk makan siang, cukup sup kacang dan sayur-sayuran. Malam hari, roti dan susu" kata Pak Salim mengenai gaya hidup sehatnya.
Sekali-sekali ketika ada kegiatan atau acara di KBRI atau di Wisma Duta yang menyajikan masakan Indonesia, Pak Salim pun tidak melewatkan untuk mencicipi makanan Indonesia yang jarang-jarang dijumpainya.
Dengan gaya hidup sehatnya, di usianya yang mencapai 86 tahun, Pak Salim masih terlihat kuat dan sehat. Pak Salim yang hidup sendiri merupakan dosen bahasa Inggris di Universtas Havana, yang sangat akrab dengan para mahasiswanya.
Foto 3. Pak Widodo (no. 3 dari kiri), dan Pak Salim (no.2 dari kanan), mengapit Duta Besar RI untuk Kuba saat ini, Duta Besar Alfred Palembangan (no. 3 dari kanan), 19 Maret 2018 sesaat setelah pengambilan sumpah dan penandatangan Pakta Integritas Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) dan Sekretariat PPLN Havana. (Foto: Koleksi KBRI Havana).
ADVERTISEMENT
Sahabat lainnya adalah Soepradja, biasa saya panggil Pak Pradja. Beliau merupakan master bidang Ekonomi dari salah satu Universitas di Chekoslovakia (saat ini menjadi negara Cheko dan Slovakia).
Ketika saya pertama kali ditempatkan di Havana, Pak Pradja sudah lama mengundurkan diri dari pekerjaannya di institusi Pemerintah Kuba. Beliau kemudian bekerja sebagai penjaga Wisma Duta yang gajinya berlipat-lipat lebih besar dibandingkan bekerja di institusi Kuba.
Seperti halnya yang lain, kehidupan Soepradja tak kalah kerasnya. Anak tunggal satu-satunya yang cantik meninggal karena lukeumia ketika berumur 29 tahun. Istri tersayangnya pun meninggal karena kanker beberapa tahun yang lalu.
Saat ini Soepradja tinggal seorang diri di apartemennya. Namun, cara pandangnya yang selalu positif membuatnya tetap sehat di usianya saat ini yang berkisar 80 tahunan.
ADVERTISEMENT
Pada 2007, di saat upacara Bendera 17 Agustus, pemerintah Indonesia melalui KBRI Havana menyerahkan paspor WNI kepada sahabat-sahabat saya di atas.
Saat ini mereka tidak menjadi stateless lagi. Mereka sangat terharu dan menitikan air mata, karena telah diakui kembali menjadi WNI. Suatu penghargaan yang tak terhingga bagi mereka. (Pemerintah saat itu melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 memberikan kesempatan kepada orang Indonesia yang sudah lama bermukim di luar negeri untuk mendapatkan status WNI).
Foto 4. Dari kanan ke kiri: Almarhum Gunadito, Pak Pradja, dan Pak Widodo, pada saat upacara 17 Agustus 2007 dan menjelang penyerahan paspor WNI. (foto: koleksi pribadi).
Keinginan sahabat-sahabat saya untuk menghabiskan masa tuanya di Indonesia sebenarnya tetap ada. Namun, yang menjadi pertimbangan adalah jaminan di hari tua apabila mereka tinggal di Indonesia. Sementara selama ini pemerintah Kuba telah menyediakan rumah tinggal dan jaminan hari tua kepada mereka yang sudah pensiun.
ADVERTISEMENT
Bagi saya pribadi dapat mengenal mereka lebih dekat adalah sesuatu yang luar biasa. Saya banyak belajar dari keuletan, daya juang dan nilai-nilai positif mereka sebagaimana saya ceritakan di atas.
Sangat disayangkan prahara politik telah menyebabkan mereka tidak dapat menyumbangkan keahliannya bagi kemajuan Indonesia.
Satu lagi yang saya kagumi adalah dengan kecerdasan, pengalaman, dan ilmu yang dimiliki, mereka dapat bergaul dan bersahabat dengan siapa saja bahkan dengan anak-anak muda yang usianya terpaut jauh dari usia mereka.
Ini adalah hal yang patut ditiru untuk mengurangi gap antara generasi muda dan generasi tua, sehingga generasi muda tidak kehilangan arah karena tidak mengenal sejarah negaranya sendiri.
ADVERTISEMENT
Demikian, sepenggal cerita dari Kuba semoga dapat bermanfaat bagi semua.