Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Dunia Terpolarisasi, Bagaimana Nasib Kerjasama?
18 April 2025 12:44 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Dina Octavia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dalam lanskap politik internasional kontemporer, narasi tentang tatanan dunia yang stabil dan kooperatif semakin tergerus oleh gelombang polarisasi yang intens. Prinsip multilateralisme, yang selama beberapa dekade menjadi fondasi interaksi antar negara dan penyelesaian isu-isu global, kini menghadapi tantangan signifikan. Fenomena ini tidak hanya memengaruhi dinamika kekuasaan antar negara, tetapi juga berdampak pada kemampuan kolektif umat manusia dalam mengatasi permasalahan lintas batas seperti perubahan iklim, pandemi, dan krisis kemanusiaan. Esai ini akan mengupas arus balik multilateralisme, mengidentifikasi faktor-faktor pendorongnya, menganalisis konsekuensi yang ditimbulkan, serta merenungkan prospek tatanan dunia di tengah pusaran polarisasi yang semakin menguat.
ADVERTISEMENT
Salah satu pendorong utama arus balik multilateralisme adalah kebangkitan sentimen nasionalisme dan populisme di berbagai belahan dunia. Para pemimpin dan gerakan politik yang mengusung agenda "negara di atas segalanya" cenderung meragukan efektivitas dan bahkan kedaulatan yang terkadang dianggap terkompromikan oleh keterlibatan dalam organisasi dan perjanjian multilateral. Retorika yang menekankan kepentingan nasional, proteksionisme ekonomi, dan penolakan terhadap norma-norma internasional menjadi semakin populer, mengikis dukungan publik terhadap kerjasama global. Contoh nyata dari tren ini dapat dilihat dari kebijakan "America First" yang pernah digaungkan oleh Amerika Serikat, keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit), serta munculnya partai-partai politik nasionalis di berbagai negara Eropa dan Asia.
Lebih lanjut, rivalitas kekuatan besar yang kembali menguat turut memperkeruh lanskap multilateralisme. Persaingan strategis antara Amerika Serikat dan Tiongkok, terutama dalam bidang ekonomi, teknologi, dan pengaruh geopolitik, menciptakan polarisasi baru dalam sistem internasional. Negara-negara lain seringkali dipaksa untuk memilih pihak atau berhati-hati dalam menavigasi hubungan dengan kedua kekuatan besar tersebut. Situasi ini menghambat terbentuknya konsensus global dalam berbagai isu, mulai dari perdagangan hingga keamanan. Perang di Ukraina juga menjadi manifestasi tragis dari rivalitas kekuatan dan erosi norma-norma internasional, di mana prinsip kedaulatan dan integritas teritorial dilanggar secara terang-terangan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ketidakmampuan beberapa organisasi multilateral dalam merespons secara efektif tantangan-tantangan global juga turut melemahkan kepercayaan terhadap sistem ini. Kritik terhadap inefisiensi birokrasi, kurangnya akuntabilitas, dan politisasi dalam badan-badan internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) seringkali dilontarkan. Ketika organisasi-organisasi ini gagal memberikan solusi konkret terhadap masalah-masalah mendesak, legitimasi dan relevansinya dipertanyakan, sehingga mendorong negara-negara untuk mencari solusi unilateral atau melalui koalisi ad hoc yang lebih terbatas.
Konsekuensi dari arus balik multilateralisme dan meningkatnya polarisasi sangatlah beragam dan mengkhawatirkan. Pertama, kemampuan kolektif untuk mengatasi tantangan global menjadi terhambat. Perubahan iklim, misalnya, memerlukan kerjasama internasional yang kuat dalam pengurangan emisi gas rumah kaca, transfer teknologi, dan pendanaan adaptasi. Namun, dengan meningkatnya nasionalisme dan ketidakpercayaan antar negara, upaya-upaya multilateral dalam mengatasi krisis iklim menjadi lebih sulit untuk diimplementasikan secara efektif.
ADVERTISEMENT
Kedua, risiko konflik antar negara berpotensi meningkat. Ketika mekanisme penyelesaian sengketa secara damai melalui jalur multilateral melemah, negara-negara mungkin lebih cenderung untuk mengandalkan kekuatan atau aliansi militer dalam menyelesaikan perselisihan. Persaingan geopolitik yang intens dan erosi norma-norma internasional dapat menciptakan lingkungan yang lebih rentan terhadap eskalasi dan instabilitas regional maupun global.
Ketiga, tatanan ekonomi global juga terancam oleh arus balik multilateralisme. Kebijakan proteksionisme dan perang dagang dapat mengganggu rantai pasok global, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan ketidakpastian. Sistem perdagangan multilateral yang berdasarkan aturan dan organisasi seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menghadapi tantangan serius dalam mempertahankan relevansinya di tengah meningkatnya unilateralisme dan blok-blok perdagangan regional yang eksklusif.
Namun demikian, di tengah arus balik multilateralisme yang kuat, masih terdapat harapan dan potensi untuk mempertahankan serta merevitalisasi kerjasama internasional. Kesadaran akan interdependensi global, terutama dalam menghadapi tantangan-tantangan transnasional seperti pandemi dan perubahan iklim, masih cukup tinggi. Banyak negara, terutama negara-negara kecil dan menengah, menyadari bahwa multilateralisme adalah satu-satunya cara efektif untuk melindungi kepentingan mereka dan memastikan suara mereka didengar dalam percaturan politik global.
ADVERTISEMENT
Selain itu, munculnya inisiatif-inisiatif multilateral baru dan revitalisasi organisasi-organisasi yang ada juga memberikan secercah harapan. Upaya-upaya untuk mereformasi PBB agar lebih responsif dan efektif, penguatan kerjasama regional, serta pembentukan koalisi-koalisi tematik untuk mengatasi isu-isu spesifik menunjukkan adanya keinginan untuk mencari solusi kolektif di tengah polarisasi. Peran diplomasi dan dialog antar negara menjadi semakin krusial dalam menjembatani perbedaan dan membangun kembali kepercayaan.
Dalam konteks ini, Indonesia sebagai negara dengan tradisi politik luar negeri bebas aktif dan komitmen terhadap multilateralisme memiliki peran yang signifikan. Melalui diplomasi yang cerdas dan konstruktif, Indonesia dapat berkontribusi dalam mempromosikan dialog, membangun jembatan komunikasi antar negara dengan pandangan yang berbeda, serta mendorong solusi-solusi multilateral terhadap tantangan global. Keketuaan Indonesia di berbagai forum internasional, termasuk G20, dapat dimanfaatkan untuk memperkuat agenda multilateralisme yang inklusif dan berorientasi pada hasil.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, arus balik multilateralisme dan meningkatnya polarisasi merupakan tantangan serius bagi tatanan dunia kontemporer. Faktor-faktor seperti kebangkitan nasionalisme, rivalitas kekuatan besar, dan ketidakmampuan organisasi multilateral dalam merespons tantangan global menjadi pendorong utama tren ini. Konsekuensinya dapat dirasakan dalam berbagai aspek, mulai dari terhambatnya penanganan isu global hingga meningkatnya risiko konflik. Namun, dengan kesadaran akan interdependensi, upaya revitalisasi organisasi multilateral, dan peran aktif diplomasi, prospek untuk mempertahankan dan memperkuat kerjasama internasional di tengah polarisasi masih terbuka. Masa depan tatanan dunia akan sangat bergantung pada kemampuan kolektif umat manusia untuk mengatasi perbedaan dan mengedepankan kepentingan bersama demi stabilitas dan kemajuan global.