news-card-video
25 Ramadhan 1446 HSelasa, 25 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Balada Perpolitikan Indonesia dan Nasib Demokrasi Kita

dina arifana
Mahasiswa Studi Agama-Agama UIN Semarang dan Kru LPM Idea Semarang
14 Agustus 2020 14:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari dina arifana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar oleh David Peterson dari Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Gambar oleh David Peterson dari Pixabay
ADVERTISEMENT
Paska pemberitaan mengenai Gibran, putra Jokowi yang berkeinginan maju pada Pilkada Solo mendatang. Mulai menguatkan kembali, bahwa dinasti politik di Indonesia memang benar adanya. Pasalnya, tidak hanya Gibran saja, melainkan juga Bobby menantu sang presiden, keponakan Jusuf Kalla, hingga keponakan Prabowo Subianto, yang masing-masing juga berniat ikut unjuk gigi pada Pilkada 2020.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kita bisa melihat dunia partai politik (parpol) di Indonesia. Di mana, para petingginya berasal dari keturunan para pendiri parpol tersebut. Bahkan, dilansir dari tirto.id (21/02/20), dinasti politik meningkat selama Pemilu tahun 2019. Hal tersebut terlihat dari riset yang dilakukan oleh Nagara Institute, yang menyebut sekitar 17,22 persen anggota DPR RI 2019-2024 merupakan bagian dari dinasti, karena memiliki hubungan dengan pejabat publik, baik hubungan darah, pernikahan, maupun kombinasi keduanya.
Mungkin fenomena politik di Indonesia, tidak hanya tentang politik dinasti, tetapi fenomena lain, sebut saja politik praktis. Seperti, selebriti yang beralih peran dari panggung hiburan ke panggung politik. Tidak hanya satu, dua orang saja, melainkan lebih dari itu. Bahkan para pengusaha (pebisnis) kondang, juga turut serta memeriahkan panggung politik.
ADVERTISEMENT
Begitulah realitas dunia perpolitikan di Indonesia, berbagai latar belakang orang bisa mencalonkan diri untuk menjadi petinggi negara.
Perpolitikan Indonesia Kini
Perpolitikan di Indonesia, tidak lepas dari peran berbagai elit, dari elit politik hingga elit ekonomi. Karena dunia perpolitikan bagi mereka adalah tentang simbiosis mutualisme, harus dalam keadaan saling menguntungkan. Antara elit politik dan elit ekonomi saling berkolaborasi, untuk menghantarkan calonnya, menduduki kursi-kursi pemerintahan, melalui jalan apapun dan bagaimanapun. Meski harus menjatuhkan lawan.
Jika kita mengingat rangkaian Pilpres 2019 lalu misalnya, antara Kubu Jokowi dan Prabowo, yang saling berseteru, berebut kursi, dan berdebat siapa yang akan berkuasa di negeri ini. Berbagai macam cara dilakukan, mulai perang informasi di dunia maya, hingga menyebarkan hatespeech, konten negataif dan sejenisnya. Ironisnya, secara tidak langsung mereka juga melibatkan “agama” dalam demokratisasi menuju kursi pemerintahan. Mereka menggunakan momentum kehadiran media baru, sebagai alat paling ganas untuk bertarung politik.
ADVERTISEMENT
Tetapi itulah gambaran peperangan politik 2019 lalu. Lantas bagaimana dengan perpolitikan Indonesia sekarang, khususnya di tengah pandemi? Menjelang Pilkada serentak akhir 2020 mendatang, nampak dunia perpolitikan masih agak senyap. Geliat para elit politik, belum nampak kencang dan seolah masih sedang berpikir matang membuat strategi di tengah pandemi. Meskipun sekarang kita juga menjumpai fenomena, bahwa yang dulu oposisi kini sudah saling berjanji dan saling merangkul diri. Terbukti dengan adanya Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), yang telah dideklarasikan dan berisi tokoh-tokoh politik Indonesia.
Portal-portal online pun rasanya sepi, tidak seberisik pilpres tahun lalu dengan berbagai konten yang isinya saling mengklaim dan menggunggulkan paslon yang diusung, atau portal bernuansa agama, yang menghubungkan paslonnya sebagai orang yang religius dan merakyat. Mungkin saat ini kita belum menjumpai hal-hal unik, seperti pilpres 2019 lalu, seperti saat orang ramai-ramai saling melabeli, sebagai cebong dan kampret. Tetapi tidak menutup kemungkinan, pilkada 2020 mendatang juga diwarnai hal serupa, jika egoisme politik masih mendominasi, sekalipun di tengah pandemi.
ADVERTISEMENT
Nasib Demokrasi
Adanya kontestasi politik di Indonesia, menjadi salah satu cerminan bahwa Indonesia sebagai negara “Demokrasi”. Negara yang memberikan kebebasan pada masyarakatnya untuk memilih dan dipilih, sesuai dengan ketentuan yang berlaku (meski, demokrasi tidak hanya berbicara kebebasan). Tetapi hal tersebut, bukanlah satu-satunya indikator Indonesia sebagai negara demokrasi. Hal lain seperti kebijakan pemerintah dan sikap politik, juga menjadi cerminan bahwa Indonesia bisa dikatakan sebagai negara demokrasi atau bukan.
Tetapi realitas yang terjadi di Indonesia, demokrasi kiranya hanya untuk kepentingan sebagian orang. Bukan untuk seluruh rakyat, meskipun atas nama rakyat. Oligarki berjubah demokrasi masih bertengger manis di Indonesia. Pasalnya, dalam perjalanan politik Indonesia, antara yang militer dan tidak militer masih menjadi bahasan, dinasti dalam parpol, dan juga dinasti dalam pemerintahan masih melingkari di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Jurgen Habermas, salah satu tokoh sosiologi dan filsafat, menawarkan konsep demokrasi deliberatif. Di mana dalam demokrasi deliberatif ini, warga negara menjadi elemen penting, karena demokrasi ini bertumpu pada ruang publik. Melalui ruang publik ini Habermas mengajukan kekuasaan komunikatif. Kekuasaan yang diharapkan bisa memaksa negara agar mempunyai kepekaan terhadap rakyat. Sehingga, kepekaan ini bisa diwujudkan dalam bentuk aturan-aturan atau kebijakan yang relevan dan tidak membuat rakyat sengsara.
Selain itu, “kekuasaan” di Indonesia semakin ke sini, nampak tidak beraturan. Salah satu hasil dari wujud kekuasaan itu ialah kebijakan atau aturan itu sendiri, apakah kebijakan tersebut merakyat atau jutru mencekik rakyat, atau bahkan hanya menguntungkan sekelompok orang saja. Nyatanya, kebijakan-kebijakan yang hadir justru bukan menjadi angin segar untuk kemajuan negara melainkan menjadi hal yang diributkan dan diperdebatkan, atau bahkan membodohkan publik. Perlu, diingat pula kekuasaan di sini juga bukan persoalan siapa menguasai siapa, tetapi berkaitan dengan dimensi relasi.
ADVERTISEMENT
Seperti menurut pemikir postmodernisme, Michael Foucault, mengatakan bahwa kekuasaan mesti dipahami sebagai bentuk relasi kekuatan yang imanen dalam ruang, di mana kekuasaan itu beroperasi. Kekuasaan dipahami sebagai sesuatu yang melanggengkan relasi kekuatan itu, yang membentuk rantai atau sistem dari relasi itu, atau justru yang mengurung mereka dari relasi kekuasaan. Oleh karena itu, kekuasaan merupakan strategi di mana relasi kekuatan adalah efeknya.
Kekuasaan di sini buka persoalan siapa yang sedang menjalankan kekuasaan, atau darimana kekuasaan itu berasal. Tetapi, cara-cara yang digunakan dalam mengatur dan mengelola kekuasaan tersebut. Sehingga bisa menghasilkam kebijakan yang menyeluruh dan tidak berakhir kekacaauan.
Berkaitan dengan hal di atas, sebenarnya proses demokrasi di Indonesia, mulai dari pemilihan petinggi negara hingga pembuatan kebijakan itu saling berhubungan. Petinggi yang dihasilkan berkualitas juga akan mempengaruhi hasil kebijakan. Tetapi meski pemimpin tersebut sejatinya berkualitas, tetapi jika demokratisasi dilakukan dengan tidak tepat, maka bisa berakhir kekacauan juga. Ironis bukan?
ADVERTISEMENT