Konten dari Pengguna

Kesetiaan Pasangan dalam Sebuah Pernikahan

Dina Aulia Safitri
Mahasiswa Hukum Keluarga - UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3 November 2022 14:51 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dina Aulia Safitri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
source iimage: pexels.com/Deesha Chandra
zoom-in-whitePerbesar
source iimage: pexels.com/Deesha Chandra
ADVERTISEMENT
Sebuah pernikahan yang penuh dengan keharmonisan, ketentraman dan kasih sayang sesungguhnya merupakan cita-cita dan esensi dari ikatan sakral tersebut. Sudah menjadi tanggung jawab kedua belah pihak baik suami maupun istri untuk menjaga marwah pernikahannya. Masing-masing dari mereka harus saling memahami tugas dan tanggung jawabnya, salah satu kewajiban suami sebagaimana yang tertuang dalam hadis, dari Saad bin Abi Waqqash RA berkata, bahwa Rasulullah Saw telah bersabda “dan sesungguhnya jika engkau memberi nafkah, maka hal itu adalah sedekah, hingga suapan nasi yang engkau suapkan ke dalam mulut istrimu” (HR. Bukhari dan Muslim). Sedangkan dalam hadis lainnya dari Abdullah bin Umar RA, Rasulullah Saw bersabda “...seorang istri bertanggung jawab terhadap rumah suaminya, ia akan ditanya (di akhirat) tentang semua itu..” (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).
ADVERTISEMENT
Sesungguhnya suami dan istri memiliki tugas dan kewajiban masing-masing yang akan saling mengasihi dan melengkapi dalam suka maupun duka, namun hal tersebut akan sulit mereka lakukan apabila kunci dan hakikat dalam pernikahan mereka tidak ada, yaitu anugerah kesetiaan. Pernikahan yang berpagarkan sakinah mawaddah warahmah jelas tidak akan meredupkan kesetiaanya hingga akhir masing-masing hidupnya. Dalam agama Islam sendiri telah mensyariatkan perkawinan antara seorang pria dan wanita agar mereka dapat membina rumah tangga bahagia yang diliputi oleh rasa kasih sayang dan saling cinta untuk selama-lamanya. Islam melarang suatu bentuk perkawinan yang hanya bertujuan untuk sementara saja, seperti nikah mut’ah atau nikah kontrak, pernikahan jenis ini diharamkan dan hanya dilakukan oleh kaum syiah saja. Kemudian kita juga mengenal istilah nikah muhallil yang sangat bertentangan dengan hukum pernikahan islam.
ADVERTISEMENT
Namun seringkali kita masih kebingungan untuk mendefinisikan kesetiaan tersebut. Kesetiaan yang sesungguhnya merupakan puncak tertinggi dari ketulusan sebuah cinta, sebab cinta tersebut akan mendatangkan berbagai pengorbanan yang membuktikan kesetiaannya. Kesetiaan tidak akan cukup apabila hanya diucapkan dengan kata-kata ataupun sekedar rayuan, namun kesetiaan berada dan diaplikasikan dalam bentuk sikap dan hati. Salah satu contoh rumah tangga yang dilimpahi anugerah kesetiaan datang dari pernikahan Rasulullah Saw terhadap istri-istrinya, bahkan kesetiaan tersebut masih datang dan terus ada hingga istrinya meninggal dunia. Sesuai dengan sabda Rasulullah Saw :
أَكْمَلُ الْمُؤءمِنِيْنَ إِيْمَاناً أَحْسَنُهُمْ خُلُقاً وَخِيَارُهُمْ خِيَارُهُمْ لِنِسَائِهِمْ ” أخرجه أبو داود
“Seorang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara mereka. Sedangkan yang paling baik diantara mereka adalah yang paling baik perangainya terhadap istri-istri mereka.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud)
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya dalam suatu pernikahan memerlukan pilar-pilar kesetiaan yang dapat dicapai melalui berbagai usaha yang memang tidak mudah. Yang pertama, adanya kepercayaan dan keterbukaan antara suami dan istri, dengan demikian apabila terjadi pertengkaran ataupun permasalahan yang sulit dihindarkan, keduanya tetap dapat mencari jalan keluar dengan berpikir tenang dan tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan. Yang kedua adalah saling melindungi dan menjaga aib pernikahan, sesungguhnya Allah SWT berfirman dalam ayat yang berbunyi
لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ
Artinya “Allah tidak menyukai ucapan buruk (caci maki), (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya.” (An-Nisa: 148)
Perselingkuhan juga dapat berawal dari ini, ketika seseorang yang telah terikat hubungan pernikahan dengan mudahnya membeberkan masalah-masalah atau keburukan pasangannya kepada lawan jenisnya maka hal tersebut mendekatkannya dalam kehancuran rumah tangga. Dan yang ketiga, adalah saling menghargai. Sesungguhnya sebagai manusia kita diciptakan dengan segala kekurangan, sedangkan kesempurnaan itu hanya merupakan milik Tuhan Yang Maha Esa. Maka dari itu, saat mengikat pernikahan secara sah, manusia sudah harus saling membangun komitmen, memahami pembagian peran, menerima baik dan buruk pasangannya dengan cara saling memuji dan mengapresiasi terhadap hal-hal kecil. Dan yang keempat dan yang utama adalah menjalani pernikahan dengan berpegang teguh dengan ajaran agama, beristiqomah kepada Allah SWT dan taat kepada nilai-nilai yang terkandung dalam syariat islam. Maka dari itu, sungguh-sungguhlah dalam mempertahankan sebuah pernikahan karena hal tersebut juga merupakan salah satu cara untuk mendapat ridha dari Allah SWT.
ADVERTISEMENT