Konten dari Pengguna

Status Hak Waris anak di Luar Pernikahan Menurut Hukum Islam

Dina Aulia Safitri
Mahasiswa Hukum Keluarga - UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5 Mei 2024 11:02 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dina Aulia Safitri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
source image: pexels.com/pixabay
zoom-in-whitePerbesar
source image: pexels.com/pixabay
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Pasal 100KHI, anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dalam istilah fikih, nasab diartikan sebagai keturunan ahli waris atau mereka yang berhak menerima harta warisan karena hubungan darah. Kemudian, hubungan nasab menjadi salah satu alasan kewarisan.
ADVERTISEMENT
Hal serupa pun ditegaskan Kembali dalam Pasal 186 KHI yaitu: “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya”
Fatwa MUI menyatakan bahwa anak yang lahir dari hasil zina tidak berhak menjadi ahli waris ayah kandungnya, namun ayah kandung tetap harus ‘bertanggung jawab’ kepada anaknya dengan menghukum ayah kandungnya untuk menafkahi anak tertsebut. Sang ayah juga dapat dihukum dengan memberikan sejumlah harta (melalui wasiat wajibah) ketika ia meninggal dunia.
Dalam KUH Perdata, status hukum anak luar nikah dibagi menjadi 3 (tiga) tingkatan, yaitu:
ADVERTISEMENT
Berdasarkan ketentuan KUH Perdata pelaksanaan pembagian harta warisan untuk anak luar kawin dapat dilakukan apabila telah mendapat pengakuan dari ayah atau ibu biologisnya yang meninggalkan warisan. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan tidak mempunyai hak waris tanpa pengakuan ayah atau ibunya. Hal ini berbeda dengan hukum waris Islam yang berlaku di Indonesia yang menyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar nikah hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat (1) UU NO 1 Tahun 1974 jo. Pasal 100 KHI).
Hukum Islam juga mengatur anak yang lahir di luar perkawinan adalah :
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, anak yang dilahirkan di luar nikah hanya mempunyai hubungan waris-mewarisi dengan ibu dan garis keturunan ibunya. Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan: “Anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya”. Hukum Islam tidak menentukan hubungan waris antara anak hasil zina dengan ayahnya (laki-laki yang membuahinya), karena anak hasil zina tidak memiliki hubungan kekerabatan dengannya, sedangkan hubungan kekerabatan itu, timbul atas dasar akad nikah yang sah, sebagaimana yang telah ditentukan oleh Syari’at Islam. Akan tetapi, anak memiliki hubungan dengan ibu dan saudara ibunya dan ia berhak menerima warisan dari ibu dan saudara ibunya. Tidak ada pengakuan dan pengesahan terhadap anak zina, karena hukum Islam hanya mengenal anak sah, yaitu anak yang lahir dari perkawinan suami istri yang sah menurut syara’.
ADVERTISEMENT
Pasal 174 KHI menjelaskan :
Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
a. Menurut hubungan darah
b. Menurut hubungan perkawinan
Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya anak, ibu, janda atau duda.
Berdasarkan pasal di atas, bisa disimpulkan juga bahwa, berdasarkan hubungan darah dan hubungan kekerabatan, anak merupakan ahli waris yang paling utama dan mereka lebih berhak menerima warisan dibandingkan ahli waris lainnya. Kerena mempunyai hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan ahli waris.
Bagi anak yang lahir di luar nikah, bahwa mereka hanya berhak mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya. Sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 100 KHI. Maka dari itu, apabila yang meninggal adalah ayah zinahnya, maka anak zina laki-laki dan Perempuan tidak memiliki hak untuk mewarisi. Namun jika sang ibu meninggal, maka ia berhak mendapatkan warisan. Hal ini sejalan dengan hadits Riwayat Abu Daud yang artinya: “Rasulullah S.A.W menjadikan hak waris anak li’an (mula’anah) kepoada ibunya dan ahli waris ibu sesudahnnya”. Dan juga pada hadits lain yang berbunyi: “Dari Ibnu Umar bahwasannya seorang laki-laki menuduh istrinya berzina dan ia tidak menagkui anaknya, maka Rasulullah S.A.W memutuskan perkawinan keduanya, dan anaknya dinasabkan pada ibunya”.
ADVERTISEMENT