Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Perempuan Berdaya, Indonesia Berdigdaya
20 Februari 2023 19:44 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Dina Emilia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Tidak jarang ditemukan bahwa masih banyak perempuan yang masih terjerat dalam belenggu patriarki. Perempuan seolah dianggap tidak berhak bahkan tidak mampu untuk menjadi sosok yang berdaya dalam memimpin sesuatu.
ADVERTISEMENT
Perempuan seolah hanya dianggap sebagai sebagai “mainan” yang tidak berhak punya kendali dalam memutuskan sesuatu, bahkan untuk mengungkapkan keinginannya sendiri seolah dibatasi oleh lingkungan sosial. Perempuan seolah dianggap tidak lebih cakap daripada laki-laki.
Contoh paling kecil dapat dilihat dalam sebuah keluarga. Anak perempuan di dalam suatu keluarga seakan wajib melakukan pekerjaan rumah seperti memasak, membersihkan rumah, mencuci pakaian, dan lain sebagainya.
Jika tidak melakukan hal tersebut, anak perempuan dianggap sebagai anak yang durhaka kepada orang tua khususnya ibu karena tega membiarkan orang tuanya melakukan pekerjaan rumah. Sedangkan anak laki-laki dianggap wajar jika tidak membantu pekerjaan rumah. Stigma tersebut masih sangat terasa di lingkungan sosial kita, khususnya di daerah pelosok yang jauh dari perkotaan.
ADVERTISEMENT
Padahal seharusnya mengerjakan pekerjaan rumah adalah tanggungjawab setiap anggota keluarga, minimal mengatur dan menjaga kebersihan dan kerapian barang-barang milik pribadi. Padahal pekerjaan rumah dapat dilakukan oleh siapa saja, tidak terbatas pada anak perempuan atau ibu saja.
Padahal semestinya, keinginan untuk membantu meringankan pekerjaan rumah harus muncul berdasarkan keinginan sendiri, tanpa ada paksaan dari siapapun.
Oleh karena itu, penting bagi setiap keluarga untuk mengajarkan anak-anak mereka baik itu perempuan ataupun laki-laki untuk bekerja sama dalam mengerjakan pekerjaan rumah agar nantinya menjadi terbiasa, sehingga diharapkan tidak ada dalam pikiran mereka bahwa hal tersebut hanya dilakukan oleh perempuan saja, sedang lelaki tidak.
Lalu, sebenarnya apa yang menyebabkan hal tersebut terjadi? Bagaimana seharusnya lingkungan sosial memperlakukan perempuan?
ADVERTISEMENT
Apabila kita melihat kembali histori di masa lalu, sejak dulu perempuan tidak diberikan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak, karena dianggap bahwa pada akhirnya perempuan hanya akan berada di rumah saja, mengurus rumah, dan melayani suami.
Padahal seharusnya perempuan sangat berhak untuk mengenyam pendidikan setinggi mungkin, karena kualitas suatu generasi berada di genggaman perempuan. Perempuan yang nantinya berperan sebagai ibu yang akan menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya.
Seorang ibu yang berdaya, berpendidikan, dan sadar akan nilai dalam dirinya, akan mampu menempatkan diri pada porsinya, ia paham tentang bagaimana bersikap sebagai ibu, suami, maupun warga negara di dalam masyarakat.
Tentu mendedikasi diri menjadi ibu dan suami adalah hal yang mulia, namun hal tersebut harus dimulai dengan keinginan sendiri, tanpa terbebani dengan lingkungan sosialnya. Perempuan harus diberikan ruang seluas-luasnya untuk melakukan apa yang ia inginkan dengan penuh kesadaran.
ADVERTISEMENT
Mendedikasikan diri sebagai ibu rumah tangga, atau menjadi perempuan yang berkarier, sebetulnya tidak ada yang salah dari keduanya. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya tersendiri. Oleh karena itu, dalam menentukan pilihan haruslah dilakukan dengan penuh kesadaran dan atas keinginanya sendiri, agar tidak menyesal di kemudian hari.
Mengapa hal ini penting? Karena apabila terjadi sesuatu diluar kendalinya, ia akan paham bahwa hal tersebut adalah risiko atas pilihannya sendiri, sehingga ia tidak akan merasa terbebani oleh stigma orang lain, dan bertanggung jawab atas jalan yang telah ia tentukan sendiri.
Seiring berjalannya waktu, pergeseran stereotip lingkungan sosial terhadap perempuan semakin terkikis. Hal tersebut dimulai oleh perjuangan Kartini pada masanya yang berupaya memperjuangkan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki.
ADVERTISEMENT
Ketika itu beliau merasakan adanya ketidakadilan bagi perempuan dalam mengenyam pendidikan. R.A Kartini sebagai pelopor emansipasi wanita, memiliki keinginan untuk mendirikan Sekolah Wanita, dan menulis surat-surat terkait keresahannya terhadap ketidakbebasan perempuan dalam menentukan pilihan hidupnya.
Surat-surat tersebut kemudian dikumpulkan oleh temannya yaitu Mr. J. H. Abendanon yang pada saat itu merupakan Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajaan Hindia Belanda. Surat-surat tersebut dikumpulkan kemudian dibukukan dengan judul "Door Duisternis tot Licht" yang artinya “Dari Kegelapan Menuju Cahaya” atau yang dikenal dengan “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Saat ini kesetaran gender terus dikampanyekan agar tercipta ruang seluas-luasnya bagi perempuan. Kesetaraan gender menjadi salah satu fokus pemerintah bahkan dunia seperti yang tertera dalam SDGs (Sustainable Development Goals) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang juga telah disepakati oleh negara-negara PBB.
ADVERTISEMENT
Posisi perempuan tertera dalam tujuan ke-5 dalam SDGs, yaitu mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan. Dari 17 goals, 169 target dalam SDGs, terdapat 16 Goals dan 91 target terkait kesetaraan gender, hak asasi perempuan dan anak perempuan.
Hal ini tentu menjadi angin segar bagi kemajuan perempuan Indonesia. Namun yang perlu diperhatikan adalah tentang bagaimana hal ini dapat tersampaikan dengan bijak ke seluruh pelosok negeri, tidak hanya di perkotaan saja.
Melalui ini, diharapkan dapat memberikan dampak positif, di mana perempuan dapat diberikan kesempatan seluas-luasnya di dalam ruang publik, juga stereotip negatif tentang perempuan semakin membaik sehingga perempuan dapat berdaya dimanapun dan apapun pilihan yang ia tentukan.
ADVERTISEMENT