Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Makan Bergizi Gratis: Susu Ikan Gantikan Susu Sapi, Solusi atau Kontroversi?
18 November 2024 10:47 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Dinda Fatimatul Hidayah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Makan siang gratis menjadi salah satu program unggulan yang diusung oleh Paslon Presiden nomor urut dua dalam kampanye mereka. Pada debat pilpres 2024 yang kelima, program ini menjadi sorotan utama ketika sesi tanya jawab berlangsung, dimana Paslon nomor urut dua terus menekankan pentingnya “Makan Siang Gratis” untuk menjawab persoalan perbaikan gizi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Prabowo menyebutkan salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan di Indonesia adalah dengan memperbaiki kualitas hidup masyarakat. Mulai dari menekan angka kematian ibu hamil, mengurangi kasus stunting, sampai menurunkan kemiskinan ekstrem.Semuanya bisa diwujudkan lewat program makan siang gratis ini.
Dalam kampanyenya, Prabowo bukan hanya bicara soal makan siang gratis, tetapi juga minum susu gratis. Kedua hal ini memang krusial untuk perbaikan gizi terutama untuk anak-anak dan ibu hamil. Namun, ada wacana menarik untuk keberlanjutan program ini, yaitu mengganti susu sapi dengan susu ikan.
Ketua Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Burhanuddin Abdullah, menyebutkan jika susu sapi dalam program makan siang gatis atau sekarang yang namanya diubah menjadi makan bergizi gratis bisa saja diganti dengan susu ikan. Alasannya, karena sampai sekarang negara kita masih impor dalam pemenuhan kebutuhan susu sapi sehari-harinya.
ADVERTISEMENT
Kekayaan laut Indonesia juga menjadi pertimbangan penting dalam program ini. Dengan stok ikan yang melimpah, kita bisa memproduksi susu ikan dari ikan-ikan murah yang jumlahnya banyak setiap harinya.
Lantas, apakah langkah ini benar-benar solusi atau malah menjadi kontroversi? Masalahnya, semenjak pernyataan ini keluar justru banyak komentar tidak setuju di media sosial. Banyak yang berpikir kalau ini bukanlah program yang bisa dijadikan ajang coba-coba apalagi inovasi susu ikan masih sangat minim di Indonesia.
Kandungan Gizi Susu Sapi yang Sulit Tergantikan
Kandungan gizi dalam susu sapi memang sulit untuk tergantikan. Susu ikan sendiri dalam pengolahannya melalui ultraproses yang cukup panjang. Karena daging ikannya diolah melalui proses yang panjang untuk diambil sarinya baru kemudian diolah lagi menjadi susu. Hasilnya, kandungan gizinya tak sekompleks saat masih menjadi ikan utuh. Kalau begitu, kenapa tidak memanfaatkan ikan secara langsung menjadi lauk daripada harus dijadikan susu?
ADVERTISEMENT
Susu ikan memang kaya akan protein yang bagus untuk pertumbuhan otot dan perbaikan jaringan tubuh serta mengandung asam amino esensial yang dibutuhkan tubuh. Akan tetapi, tetap saja nutrisi lengkap yang ada di susu mamalia seperti sapi, kambing, atau kerbau masih sulit tergantikan. Misalnya, kandungan laktoferrin dan asam lemak Omega-6 (CLA) yang sangat penting untuk pertumbuhan anak dan kesehatan tulang, yang mana kandungan tesebut sulit untuk tergantikan dengan susu ikan.
Biaya Pengembangan yang Lebih Besar
Alasan utama peralihan dari susu sapi ke susu ikan adalah karena Indonesia masih mengimpor sekitar 79% untuk kebutuhan susu sapi sehari-harinya. Bagi mereka, peternak lokal masih jauh dari kata mampu untuk turut mencukupi kebutuhan program susu sapi gratis jika dilihat dari kualitas dan kuantitasnya.
ADVERTISEMENT
Apabila menilik dari kualitas susu sapi dan pemerintah ingin mengembangkan peternakan sapi perah di dalam negeri, anggaran yang dibutuhkan juga tidak sedikit. Mulai dari impor sapi perah berkualitas, membangun fasilitas dan infrastruktur pemeliharaan yang cocok dengan iklim tropis, hingga ketersediaan sumbe daya yang memenuhi. Namun, muncul pertanyaan, apakah biaya ini lebih besar dibandingkan mengembangkan inovasi susu ikan?
Mengembangkan susu ikan juga bukan perkara mudah. Fasilitas dan mesin pengolahan harganya sangat mahal dan proses penelitian serta pengembangan (R&D) untuk inovasi susu ikan ini memakan waktu cukup lama. Semakin lama pengembangan berlangsung, semakin besar juga biaya yang harus dikeluarkan.
Selain itu, kolaborasi dengan sektor perikanan sangat dibutuhkan karena pasokan ikan harus stabil setiap hari. Ketersediaan ikan bisa terpengaruh oleh musim dan ketika stok menurun harga ikan pun bisa melonjak. Harga susu ikan yang beredar di pasaran saat ini juga lebih mahal dibandingkan susu sapi. Jadi, pertanyaannya, apakah lebih baik kita tetap mengimpor susu sapi atau mencoba mengembangkan susu ikan yang masih belum pasti ini?
ADVERTISEMENT
Alternatif Lain yang Bisa Dipertimbangkan
Jika benar program makan bergizi gratis ini masih memerlukan beberapa tahun lagi untuk terealisasi di seluruh Indonesia. Waktu tersebut bisa kita gunakan untuk melakukan pengembangan inovasi susu ikan atau mulai menata ulang sistem peternakan sapi perah lokal.
Karena susu sapi dan susu ikan mempunyai tantangan masing-masing, mungkin kita bisa mempertimbangkan alternatif lain yang lebih sederhana, yaitu menggabungkan dua susu tersebut. Kita tetap memakai susu sapi impor dan melakukan kerja sama untuk produksi susu sapi dengan peternak lokal, tetapi sekaligus diimbangi dengan produksi lokal susu ikan dalam jumlah terbatas. Ini juga bisa menjadi solusi untuk anak-anak yang alergi terhadap susu sapi. Dengan cara ini, pemerintah bisa mengurangi ketergantungan penuh terhadap impor susu sapi sambil tetap menjaga keberlanjutan pasokan susu.
ADVERTISEMENT
Jadi, apakah langkah pemerintah mengganti susu sapi dengan susu ikan ini benar-benar langkah yang tepat? Kenapa memilih susu ikan, sementara pengembangannya di Indonesia masih minim? Apakah sebenarnya dibelakang pemerintah sudah menyiapkan perusahaan kredibel untuk menjalankan inovasi ini? Atau justru ini masih sekadar wacana tanpa perencanaan yang jelas? Pada akhirnya, apakah program ini akan menjadi solusi yang bermanfaat atau malah menimbulkan lebih banyak kontroversi?
Dinda Fatimatul Hidayah, mahasiswi Ilmu Administrasi Negara