Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Kasus Korupsi Daerah dalam Sudut Pandang Etika
11 Desember 2019 19:32 WIB
Tulisan dari Dinda Aisyah Maulidia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Idealnya, sebuah negara bersih dari tindakan korupsi agar dapat berkembang dengan baik. Akan tetapi, miris bahwa korupsi di Indonesia sudah menjadi suatu budaya yang paling mahal. Adapun Indeks Persepsi Korupsi Indonesia (IPK) di Indonesia, sudah mencapai angka 38 dari skala 0-100. Dalam hal tersebut, skor IPK 100 memiliki arti bahwa suatu negara sudah bersih dari korupsi, ini berarti bahwa Indonesia belum bisa dikatakan sudah bersih dari tindak pidana korupsi.
ADVERTISEMENT
Tindakan korupsi telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal pada UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam hal ini terdapat pengelompokkan mengenai jenis/bentuk tindak pidana korupsi, yaitu (1) kerugian keuangan negara, (2) suap-menyuap, (3) penggelapan dalam jabatan, (4) pemerasan, (5) perbuatan curang, (6) benturan kepentingan dalam pengadaan, dan (7) gratifikasi. Selain itu, peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana korupsi tercantum pula dalam Pasal 2 No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, yaitu bahwa setiap orang yang melawan secara hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Perlu diingat kembali bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, sesuai dengan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian, seluruh masyarakat Indonesia, baik pennguasa yang memiliki wewenang, maupun rakyat, seharusnya dapat tunduk pada hukum yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, hukum yang ada belum berjalan dengan maksimal karena hanya sedikit masyarakat yang tunduk dan patuh pada peraturan yang ada. Hal ini terbukti dengan banyaknya kasus korupsi yang ditangani oleh aparat penegak hukum. Adapun kasus yang telah ditangani oleh aparat penegak hukum sangat fluktuatif, yang berarti bahwa kasus korupsi di Indonesia dari tahun ke tahun belum bisa dikatakan sudah menurun.
Beradasarkan grafik tersebut, terlihat bahwa pada tahun 2015 terdapat 550 kasus korupsi dengan 1.124 tersangka. Kemudian, pada tahun 2016 terjadi penurunan kasus korupsi, yaitu terdapat 482 kasus dengan 1.101 tersangka. Adapun pada tahun 2017 terjadi peningkatan penindakan kasus korupsi mencapai 576 kasus dengan tersangka yang meningkat pula, yaitu 1.298 orang. Akan tetapi, terjadi penurunan kembali pada tahun 2018, yaitu hanya 454 kasus korupsi dengan 1.087 tersangka. Adapun kasus korupsi di Indonesia tidak hanya dilakukan oleh para pemegang kekuasaan tinggi negara, tetapi juga dilakukan oleh para pemegang kekuasaan tingkat daerah. Berikut adalah data mengenai 10 tertinggi aktor yang melakukan tindakan korupsi pada tahun 2018:
ADVERTISEMENT
Terkait dengan hal tersebut, berikut adalah data mengenai fraksi-fraksi DPR periode 2014-2019 yang terjerat kasus tindak pidana korupsi:
Namun, perlu diketahui bahwa kasus korupsi tidak hanya terjadi pada tingkat pusat, tetapi juga dapat terjadi pada tingkat daerah. Secara keseluruhan, data mengenai DPR/D yang menjadi tersangka korupsi pada tahun 2015-2019 berdasarkan partai politik adalah sebagai berikut:
Adapun contoh kasus tindakan korupsi yang dilakukan para wakil rakyat, yaitu KPK menyatakan bahwa mantan ketua DPRD Kota Malang, Arief Wicaksono, dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Pengawasan Bangunan, Pemkot Malang Edy Sulistiyono, ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Para Koruptor melanggar terdakwa secara sah dan sudah dipastikan bahwa melanggar Pasal 12 huruf A dan Pasal 12 huruf B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Hingga pada akhirnya, hakim menjatuhkan vonis kepada Arief dengan 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta, subsider 2 bulan kurungan, dan pencabutan hak politik selama 2 tahun.
ADVERTISEMENT
Selain itu, terdapat pula kasus korupsi yang dilakukan oleh Bupati nonaktif Muara Enim, yaitu Ahmad Yani, dan Pelaksana Tugas Bupati Muara Enim disebut telah menerima suap berupa uang hiburan sebesar Rp 800 juta setiap bulannya. Adapun dana tersebut berasal dari pengusaha berna,a Robi Okta Fahlevi. Hal ini disampaikan pada saat siding di Pengadilan Tipikor Palembang oleh Elfin Muchtar, yang merupakan Kepala Bidang Pembangunan Jalan Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Muara Enim. Adapun selain Yani dan Robi, Elfin Muchtar juga ditetapkan sebagai tersangka karena melakukan permintaan dana kepada Robi sebesar Rp 100 juta perbulannya.
Berbagai tindakan korupsi yang dilakukan oleh wakil rakyat tentunya akan membawa dampak yang signifikan bagi negara. Selain itu, tindakan korupsi, terutama yang dilakukan oleh pihak berwenang, tentunya akan mengurangi kepercayaan publik, merusak sistem transparansi, serta menghilangkan rasa tanggung jawab. Maka, jika para pihak yang berwenang melakukan korupsi, dapat dikatakan bahwa mereka tidak memahami dasar-dasar moralitas dan etika dengan baik sehingga tidak dapat berpegangan pada prinsip yang ada dalam menjalankan wewenangnya.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, etika memiliki fungsi sebagai teori yang mempelajari tentang perbuatan baik dan buruk. Adapun pada bidang filsafat, teori etika memiliki keterkaitan dengan moralitas. Maka, dalam hal ini tindakan baik dan buruk tersebut mengacu pada sesuatu yang benar dan salah. Seseorang dikatakan melakukan tindakan buruk jika tindakannya salah atau tidak sesuai dengan norma serta peraturan yang berlaku. Maka dalam hal ini kasus tindak pidana korupsi bukanlah hal yang dapat dibenarkan.
Dalam UU No. 31 Tahun 1999 telah dijelaskan bahwa korupsi merupakan tindakan melawan hukum dengan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Korupsi merupakan tindakan yang merugikan negara karena para koruptor melakukan tindakan yang tidak bertanggung jawab, yaitu menyalahgunakan wewenangnya dengan mengambil uang negara. Dalam hal ini, sudah jelas bahwa korupsi tidak sesuai dengan moral karena seseorang yang melakukan korupsi turut serta mengambil hak orang lain.
ADVERTISEMENT
Dalam teori etika, korupsi berkaitan dengan etika individu, yang berarti bahwa idealnya seseorang yang mempunyai wewenang seharusnya menjalankan tugas sesuai dengan kewajiban dan penuh tanggung jawab. Etika individu mengacu pada norma moral yang dianut oleh seseorang sehingga menghasilkan tindakan atau sikap sesuai dengan apa yang dipercayai oleh masing-masing individu. Maka, dengan demikian, perlu adanya etika individu yang seharusnya diterapkan secara berkelanjutan. Sehingga, adanya tindakan korupsi ini menunjukkan bahwa etika individu para aktor atau pelaku korupsi masih sangat rendah.
Etika individu yang kuat pada dasarnya akan membentuk individu menjadi paham dan mampu mengikuti perkembangan yang ada di masyarakat sehingga dapat memenuhi etika sosial yang ada. Adanya etika sosial memiliki arti bahwa terdapat nilai dan norma yang tumbuh dalam masyarakat. Nilai dan norma tersebut harus dipatuhi oleh masyarakat setempat karena merupakan sebuah kewajiban. Adapun dalam hal ini, korupsi yang sudah diatur oleh undang-undang seharusnya dapat dihindari karena memiliki sanksi hukum yang bersifat tegas dan memaksa.
ADVERTISEMENT
Berbagai pelanggaran yang dilakukan DPRD terjadi karena penyelewengan terhadap wewenang yang dimilikinya. Hal tersebut seharusnya dapat diatasi jika para DPRD menjalankan tugas dengan baik, yaitu dengan tidak melupakan etika. Etika adalah hal yang sangat penting, terutama bagi para wakil rakyat yang harus memenuhi kebutuhan rakyatnya. Dalam hal tersebut, tentu terdapat berbagai kepentingan dari masing-masing individu dan hal tersebut merupakan sebuah tantangan bagi para wakil rakyat. Akan tetapi, mereka harus mampu berpegang teguh pada norma-norma moral dan etika agar dapat menyelesaikan tugasnya sesuai dengan wewenang yang dimiliki.
Jika melihat Indeks Persepsi Korupsi Indonesia (IPK) yang mencapai angka 38, hal tersebut menciptakan adanya pesimistis terkait dengan perbaikan etika, terutama etika individu pada masing-masing aktor yang memiliki otoritas. Akan tetapi, jika dilihat upaya yang dilakukan sampai saat ini, Indonesia memang memiliki keseriusan dalam memberantas korupsi. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta badan atau lembaga lainnya yang turut serta menegakkan hukum. Akan tetapi, seharusnya tak hanya aparat penegak hukum saja yang melakukannya, atau dalam artian hanya Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) yang menanggung beban ini.
ADVERTISEMENT
Seperti yang disampaikan oleh Emile Durkheim, moralitas dan etika adalah hal yang penting agar individu dapat mengetahui batasan-batasan dalam bertindak. Dalam hal ini, perlu dilakukan peningkatan pendidikan moral pada masing-masing individu agar dapat berpegang teguh secara berkelanjutan pada norma moral dan etika sehingga dapat meminimalisir terjadinya pelanggaran-pelanggaran, seperti tindakan korupsi.
Perihal korupsi seharusnya dapat diperbaiki dari dalam diri para pejabat daerah, terutama yang telah terjerat tindak pidana tersebut, jika memang ada keseriusan dalam membenahi sistem pemerintahan Indonesia. Hal ini tentu akan berhasil jika sistem pemerintahan, terutama pada wakil rakyat, saling bekerja sama dalam melakukan pembenahan. Adapun pembenahan tersebut dapat dilakukan dengan adanya pendidikan moral agar semakin memahami bahwa moralitas merupakan hal yang penting agar seseorang dapat beretika, dalam artian bahwa para wakil rakyat mampu bertindak sesuai dengan wewenangnya serta memahami batasan-batasan sehingga tidak melakukan hal yang bukan kewajibannya.
ADVERTISEMENT
REFERENSI
antikorupsi.org. (n.d.). Evaluasi DPR 2014-2019 “Periode Minim Prestasi, Penuh Kontroversi.” Retrieved December 4, 2019, from https://antikorupsi.org/sites/default/files/siaran_pers_icw_-_evaluasi_dpr_2014-2019_0.pdf
CNN Indonesia. (n.d.). Bupati Muara Enim Disebut Terima Suap Rp800 Juta Per Bulan. Retrieved December 4, 2019, from https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191203201222-12-453864/bupati-muara-enim-disebut-terima-suap-rp800-juta-per-bulan
katadata.com. (n.d.). Naik 1 Poin, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Naik ke Peringkat 4 di ASEAN | Databoks. Retrieved November 25, 2019, from https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/01/29/naik-1-poin-indeks-persepsi-korupsi-indonesia-naik-ke-peringkat-4-di-asean
Katadata.co.id. (2019). Anggota DPR dari Parpol Mana yang Paling Banyak Diciduk KPK? | Databoks. Retrieved December 4, 2019, from https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/09/16/anggota-dpr-dari-parpol-mana-yang-paling-banyak-diciduk-kpk
kpk.go.id. (n.d.). UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI.
kppu.go.id. (n.d.). DEFINISI KORUPSI MENURUT PERSPEKTIF HUKUM DAN E-ANNOUNCEMENT UNTUK TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG LEBIH TERBUKA, TRANSPARAN DAN AKUNTABEL.
ADVERTISEMENT
nasional.kompas. (n.d.). INFOGRAFIK: Dugaan Korupsi Massal Menjerat DPRD Kota Malang. Retrieved December 4, 2019, from https://nasional.kompas.com/read/2018/09/05/13212891/infografik-dugaan-korupsi-massal-menjerat-dprd-kota-malang
Sinulingga, S. P. (2016). TEORI PENDIDIKAN MORAL MENURUT EMILE DURKHEIM RELEVANSINYA BAGI PENDIDIKAN MORAL ANAK DI INDONESIA. Jurnal Filsafat, 26(2), 214. https://doi.org/10.22146/jf.12784
Live Update