Konten dari Pengguna

Opsen Pajak Kendaraan Bermotor: Solusi Tepat atau Langkah Berat?

Dinda Ardytania
Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN
1 Februari 2025 18:20 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dinda Ardytania tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Opsen Pajak Kendaraan Bermotor. Sumber: https://www.freepik.com/search?format=search&last_filter=query&last_value=pajak+kendaraan+&query=pajak+kendaraan+
zoom-in-whitePerbesar
Opsen Pajak Kendaraan Bermotor. Sumber: https://www.freepik.com/search?format=search&last_filter=query&last_value=pajak+kendaraan+&query=pajak+kendaraan+
ADVERTISEMENT
Timbulnya Opsen Pajak Daerah khususnya Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat dan mengundang beragam reaksi dari berbagai kalangan, mulai dari pengamat ekonomi, pelaku industri otomotif, hingga masyarakat umum yang terdampak langsung atas kebijakan ini. Menurut Pasal 1 Ayat 61 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), Opsen merupakan pungutan tambahan pajak menurut persentase tertentu. Kemudian, pada Pasal 1 Ayat 62 dijelaskan bahwa Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut dengan Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kebijakan ini dilakukan pemerintah untuk memperluas sinergi dan mempercepat penyaluran pajak ke kabupaten/kota.
ADVERTISEMENT
Namun, apakah kebijakan ini merupakan solusi yang tepat atau justru menjadi beban tambahan masyarakat?
Tujuan Pemerintah Memberlakukan Opsen PKB
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) merupakan jenis pajak provinsi yang sebagian penerimaannya didistribusikan kepada kabupaten/kota secara periodik. Selama ini, mekanisme penyaluran bagi hasil dari RKUD Provinsi ke RKUD Kabupaten/Kota diatur melalui Perda masing-masing provinsi. Namun, dalam pelaksanaannya, menurut Pengamat Kebijakan Publik, Yustinus Prastowo, dalam Talkshow Indonesia Business Forum, penyaluran bagi hasil yang masuk ke RKUD Kabupaten/Kota sering melewati tahun anggaran yang bersangkutan karena pemerintah provinsi harus melakukan tutup buku terlebih dahulu baru dihitung besaran bagi hasil yang akan disalurkan ke pemerintah kabupaten/kota. Sehingga, dengan diterapkannya Opsen PKB, penyaluran penerimaan daerah tersebut dilakukan secara langsung, di mana bagian penerimaan provinsi dan kabupaten/kota dilakukan melalui mekanisme split payment ke masing-masing RKUD. Sehingga, penerimaan PKB kabupaten/kota bergeser dari penerimaan bagi hasil menjadi penerimaan PAD dan tidak terdapat kewajiban membagi hasil PKB ke kabupaten/kota sebagai belanja mandatory bagi pemerintah provinsi. Selain itu, pemerintah daerah penerima opsen menjadi memiliki sense of belonging dalam pemungutan pajak daerahnya yang dapat meningkatkan peran pemerintah kabupaten/kota dalam pemungutan pajak tersebut.
ADVERTISEMENT
Mekanisme Perhitungan Opsen PKB
Seperti halnya pemungutan PKB, Opsen PKB merupakan jenis pajak official assessment dimana penetapan pajaknya dilakukan oleh kepala daerah. Berdasarkan Pasal 107 ayat (2) PP KUPDRD, pungutan Opsen PKB didasarkan pada atas nama, Nomor Induk Kependudukan (NIK), dan alamat pemilik kendaraan bermotor di wilayah kabupaten/kota. Kemudian, perhitungan besarnya Opsen PKB yang harus dibayarkan oleh wajib pajak yaitu perkalian antara Dasar Pengenaan Pajak (DPP) pada Opsen PKB (jumlah PKB terutang) dikalikan dengan tarif Opsen PKB (66%).
Selanjutnya, pada Modul PDRD: Opsen Pajak Daerah dan berbagai artikel terkait, dijelaskan bahwa simulasi perhitungan Opsen PKB yaitu sebagai berikut.
Kebijakan Skema Bagi Hasil
Tarif PKB Provinsi X = 2%
NJKP = Rp200.000.000
ADVERTISEMENT
PKB Terutang (2% x Rp200.000.000) = Rp.4.000.000
Kebijakan Skema Opsen
Tarif PKB Provinsi X = 1,2%
NJKP = Rp200.000.000
PKB (1,2% x Rp200.000.000) = Rp2.400.000
Opsen PKB (66% x Rp2.400.000) = Rp1.584.000
PKB Terutang (Rp2.400.000 + Rp1.584.000) = Rp3.984.000
Berdasarkan simulasi perhitungan di atas menunjukkan bahwa PKB terutang sebelum dan sesudah diberlakukannya Opsen PKB relatif sama, bahkan cenderung mengalami penurunan.
Implementasi Kebijakan Opsen PKB
Simulasi perhitungan tersebut merupakan gambaran yang sering disosialisasikan oleh pemerintah maupun pengamat kebijakan publik dalam berbagai forum. Namun, pada praktiknya, diberlakukannya opsen PKB saat ini menjadikan jumlah PKB terutang di sebagian besar daerah justru mengalami kenaikan. Hal tersebut berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022, yang menyebutkan bahwa tarif PKB ditetapkan dengan Perda yang disesuaikan dengan kebijakan masing-masing pemerintah daerah.
Perubahan Tarif PKB di 31 Provinsi. Sumber: Sumber: KPPOD Jakarta https://youtu.be/W82Ib9Bh4Jw?si=Q07d41eOkX8RBOyH
Berdasarkan data KPPOD Jakarta di atas, saat ini sudah terdapat 31 pemerintah daerah yang telah menerbitkan Perda terkait tarif PKB terbaru setelah adanya opsen PKB. Dari jumlah tersebut, tercatat bahwa 4 provinsi mengalami penurunan tarif PKB, 1 provinsi tidak mengalami perubahan, dan sisanya sejumlah 26 provinsi justru mengalami kenaikan.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut mencerminkan adanya dinamika dalam kebijakan fiskal di berbagai daerah dalam melakukan pendekatan terkait penentuan tarif PKB setelah opsen. Pada dasarnya, opsen hanya mengubah proses administrasi serta mekanisme distribusi penerimaan pajak ke pemerintah kabupaten/kota, tanpa memengaruhi besaran kewajiban pajak yang harus dibayarkan wajib pajak. Namun, jika penerapan opsen justru menyebabkan kenaikan tarif PKB yang dibebankan kepada masyarakat, hal ini dapat menjadi bumerang bagi pemerintah. Kenaikan tersebut berpotensi mendorong peningkatan praktik penghindaran pajak oleh masyarakat, yang pada akhirnya dapat berdampak negatif terhadap efektivitas penerimaan pajak daerah. Kondisi tersebut sejalan dengan konsep Model Leviathan, dimana penerapan tarif pajak yang lebih tinggi belum tentu akan mengoptimalkan pendapatan daerah.
Selain masyarakat, industri otomotif juga akan terdampak dengan adanya kenaikan PKB terutang setelah opsen di beberapa daerah. Sebab, daya beli masyarakat pada kendaraan bermotor akan menurun akibat kewajiban PKB yang meningkat. Padahal, menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dalam acara CEO Intimate Sharing Session ajang IIMS Hybrid 2022, menyebutkan bahwa industri otomotif berkontribusi sebesar sekitar Rp700 triliun atau 20% pada PDB sektor non migas. Sedangkan non migas tersebut berkontribusi sebesar 18% pada total PDB. Lalu, pernyataan Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAKINDO), Kukuh Kumara, menyampaikan bahwa adanya kekhawatiran jika turunnya daya beli masyarakat akan membuat perusahaan-perusahaan otomotif menurunkan produksinya yang pada akhirnya akan berdampak pada tenaga kerja. Kondisi tersebut sangat tidak diinginkan, mengingat terdapat sekitar 1,5 juta tenaga kerja yang bergantung pada sektor otomotif. Sehingga, efek domino yang mungkin akan terjadi dari kenaikan kewajiban pembayaran PKB pada sebagian besar daerah haruslah diantisipasi agar tidak benar-benar terjadi.
ADVERTISEMENT
Strategi Meminimalisir Dampak Negatif Opsen PKB
Untuk memastikan kebijakan perpajakan yang dilakukan efektif dan tidak membebani masyarakat. Pemerintah dapat mengambil langkah strategis untuk mengatasi tantangan tersebut. Pertama, pemerintah pusat harus dapat memastikan bahwa setiap daerah seharusnya memiliki kesadaran untuk mengkalkulasikan tarif PKB sesuai dengan kaidah-kaidah yang proporsional dan mempertimbangkan secara cermat setiap tahapan dalam proses perumusan kebijakan. Sebagai contoh, di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), kewajiban wajib pajak sebelum dan sesudah penerapan opsen tidak mengalami perubahan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah NTB telah melakukan perhitungan secara matang terhadap penetapan tarif baru PKB. Sehingga, dalam hal ini, pemerintah pusat harus dapat melihat kompetensi setiap pemerintah daerah di seluruh Indonesia harus standar atau sama, jika Pemda yang kurang kompeten, maka pemerintah pusat memastikan untuk memberikan bantuan dalam merumuskan kebijakan tarif PKB baru yang akan diterapkan. Dengan demikian, penerapan opsen PKB di daerah ini benar-benar diarahkan untuk memperkuat sistem administrasi perpajakan agar lebih efektif, tanpa menimbulkan beban tambahan bagi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kedua, dengan adanya Pasal 96 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2022 yang menyebutkan bahwa kepala daerah dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi pajak dan retribusi yang dilakukan dengan memperhatikan kondisi wajib pajak/retribusi dan/atau objek pajak/retribusi. Artinya, pemerintah daerah dapat memberikan insentif terhadap wajib pajak yang terdampak akibat kenaikan kewajiban PKB ini. Dalam hal ini, pemerintah juga harus melakukan pemantauan terkait komitmen pemerintah daerah untuk memberikan insentif yang sesuai dengan pedoman yang berlaku.
Ketiga, pemerintah dapat terus melakukan sosialisasi yang masif untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai tujuan diberlakukannya Opsen PKB. Sehingga, kebijakan tersebut tidak akan menimbulkan berbagai sentimen buruk dari masyarakat yang pada akhirnya membuat praktik penghindaran pajak semakin meningkat.
ADVERTISEMENT
Terakhir, pemerintah harus melakukan evaluasi secara berkala terhadap efektivitas dari penerapan kebijakan ini, khususnya dalam aspek penerimaan daerah dan keadilan bagi masyarakat. Jika ditemukan kendala, maka haruslah dilakukan penyesuaian secara bertahap dengan tidak mengganggu proses bisnis yang sedang berjalan.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kebijakan Opsen PKB ini dapat menjadi solusi yang tepat dalam meningkatkan efektivitas sistem administrasi perpajakan daerah. Namun, jika kebijakan tersebut tidak diterapkan dengan perhitungan yang matang dan pengawasan yang ketat, hal ini akan menjadi langkah berat bagi masyarakat karena dapat meningkatkan beban pajak yang mereka tanggung dan menurunkan daya beli kendaraan bermotor yang pada akhirnya berdampak negatif terhadap industri otomotif dan perekonomian daerah. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang tepat dalam menerapkan kebijakan ini agar tidak menimbulkan beban tambahan bagi masyarakat.***
ADVERTISEMENT
Dinda Ardytania. Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN.