Konten dari Pengguna

Terungkap! Faktor Pemicu Tax Gap dan Strategi Jitu Mangatasinya

Dinda Ardytania
Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN
27 Januari 2025 13:11 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dinda Ardytania tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Faktor Penyebab dan Strategi Mengatasi Tax Gap. Sumber: https://pixabay.com/id/photos/pajak-penghindaran-pajak-polisi-1027103/
zoom-in-whitePerbesar
Faktor Penyebab dan Strategi Mengatasi Tax Gap. Sumber: https://pixabay.com/id/photos/pajak-penghindaran-pajak-polisi-1027103/
ADVERTISEMENT
Ungkapan yang disampaikan Jean Baptiste Colbert, seorang ahli keuangan Prancis, cocok untuk menggambarkan bahwa pemungutan pajak yang bersifat memaksa harus dilakukan secara bijaksana agar tidak memberatkan masyarakat dan tidak menimbulkan penghindaran pembayaran pajak oleh wajib pajak. Penghindaran inilah yang akan memicu tax gap.
ADVERTISEMENT
Jadi, apasih tax gap itu?
Menurut IRS (2020), tax gap merupakan kondisi ketika terjadinya perbedaan antara hutang pajak yang sebenarnya dengan jumlah yang dibayarkan oleh wajib pajak secara tepat waktu.
Pada tahun 2019, Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, mengungkapkan bahwa tax gap Indonesia berada pada angka 8,5% dari PDB. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan benchmark yang ditetapkan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) sebesar 3,6%. Oleh karena itu, Indonesia harus dapat mengurangi tax gap-nya kurang lebih sebesar 5% dari PDB.
Faktor Pemicu Terjadinya Tax Gap
Tingginya persentase tax gap Indonesia dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, terdapat kesalahan yang dilakukan oleh wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Wajib pajak kerap kali belum memiliki pemahaman yang cukup dalam melakukan pemenuhan kewajiban perpajakan sesuai ketentuan yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Kedua, meskipun kesalahan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan kerap dilakukan oleh wajib pajak, tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut terjadi karena adanya sistem administrasi pajak yang kompleks. Meskipun digitalisasi sistem perpajakan telah dilakukan, adanya keterbatasan sumber daya manusia dan teknologi menyebabkan tidak semua aktivitas pemenuhan kewajiban perpajakan terpantau dengan baik. Padahal, administrasi pajak memiliki peran penting dalam penerimaan pajak yang berasal dari voluntary payment sebesar 85%.
Ketiga, adanya kesenjangan kebijakan perpajakan (policy gap) yang timbul karena adanya kebijakan yang belum optimal (efficiency gap) serta kebijakan tertentu yang ‘mempertaruhkan’ penerimaan pajak dalam jangka waktu pendek (tax expenditure). Selain itu, kebijakan perpajakan yang sering kali berubah juga menyebabkan wajib pajak kebingungan ataupun salah tafsir, sehingga menimbulkan kesalahan atau penghindaran pajak secara tidak sengaja.
ADVERTISEMENT
Keempat, struktur ekonomi Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (2024), kontribusi dari Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional yaitu sebesar 60,51% dan menyerap hampir 97% dari total tenaga kerja di Indonesia. Selain itu, berdasarkan data Kementerian Keuangan pada tahun 2023, kontribusi lainnya yaitu dari sektor pertanian yang menyumbangkan perannya sebesar 13,57% terhadap PDB nasional. Artinya, struktur ekonomi di Indonesia masih didominasi oleh sektor informal yang notabene-nya mereka adalah kelompok hard-to-tax dan pemaham tentang kewajiban perpajakan pada sektor tersebut masih rendah dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya.
Kelima, beberapa kasus tax avoidance juga memperlebar tax gap. Kasus tersebut biasanya dilakukan oleh perusahaan besar, baik di dalam maupun luar negeri, yang bertujuan memanfaatkan tarif pajak yang lebih rendah di negara lain. Tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut terjadi karena kurangnya pengawasan dan penegakan hukum yang dilakukan pemerintah, karena terbatasnya sumber daya dan teknologi dalam melacak semua transaksi ekonomi yang tersebar luas.
ADVERTISEMENT
Strategi Jitu Persempit Ruang Tax Gap
Tingginya angka persentase tax gap di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya, haruslah menjadi perhatian bagi pemerintah agar penerimaan negara dari aspek perpajakan tetap terjaga. Beberapa strategi yang dapat dilakukan pemerintah yaitu dengan melakukan reformasi kebijakan perpajakan, penyederhanaan sistem administrasi perpajakan, serta program edukasi dan kesadaran pajak bagi seluruh masyarakat.
Reformasi kebijakan perpajakan dapat dilakukan dengan memperkuat basis pajak, terutama di sektor informal. Hal tersebut dapat dimulai dengan kewajiban kepemilikan NPWP bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), sektor pertanian, serta sektor informal lainnya, agar seluruh transaksi maupun kegiatan ekonomi terlaporkan dan berjalan secara legal, sehingga potensi penerimaan pajak yang hilang akibat pelaporan yang tidak akurat dapat diminimalkan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kebijakan pemberian insentif yang dilakukan pemerintah harus terukur dan tepat sasaran, agar sektor yang benar-benar membutuhkan dukungan insentif perpajakan dari pemerintah mendapatkan manfaatnya dan tidak melakukan skema tax avoidance yang memicu peningkatan angka tax gap.
Lalu, penyederhanaan sistem administrasi perpajakan merupakan suatu langkah penting yang harus dilakukan pemerintah dalam mempersempit ruang tax gap. Saat ini, perbaikan sistem administrasi perpajakan sebenarnya sedang dilakukan oleh DJP dengan berlandaskan pada 5 pilar reformasi pajak yaitu melalui proyek pembaruan sistem administrasi perpajakan (PSIAP) atau yang saat ini dikenal dengan core tax system. Sistem ini dipercaya dapat menyederhanakan kompleksitas dari administrasi perpajakan melalui otomatisasi proses bisnis pada DJP.
Namun, apakah sistem tersebut akan berjalan dengan sempurna?
ADVERTISEMENT
Meskipun core tax system merupakan langkah baik yang dilakukan pemerintah dalam optimalisasi penerimaan negara, tetapi pemerintah juga harus memiliki strategi dalam meminimalisir kemungkinan buruk yang mungkin terjadi dari penerapan sistem ini.
Dilakukannya otomatisasi proses bisnis pada DJP akan memungkinkan terjadinya risiko kejahatan siber yang dapat menyebabkan kerusakan pada sistem dan pada akhirnya optimalisasi penerimaan negara terhambat. Terlebih lagi, otomatisasi berbasis digital ini mungkin belum dapat menjangkau seluruh wajib pajak di Indonesia, khususnya bagi wajib pajak yang berada di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) yang belum memiliki akses internet dan belum memiliki pengetahuan yang mencukupi akan kewajiban pemenuhan perpajakannya. Sehingga, seiring dengan penerapan program core tax system ini, pemerintah juga harus mengupayakan strategi-strategi yang dapat menjamin keadilan bagi seluruh wajib pajak di Indonesia, agar optimalisasi penerimaan negara dapat dilakukan dengan maksimal dan tidak ada celah bagi wajib pajak untuk melakukan penghindaran perpajakan.
ADVERTISEMENT
Kemudian, pemerintah perlu mencanangkan program edukasi dan kesadaran pajak bagi seluruh masyarakat dalam rangka menanggulangi minimnya pengetahuan wajib pajak atas pemenuhan kewajiban perpajakannya. Pemerintah dapat melakukan kampanye di media massa berupa iklan layanan masyarakat, video edukasi, ataupun program talk show yang dikemas dengan menarik. Lalu, melalui kurikulum pendidikan di sekolah, pemerintah dapat mulai mengenalkan materi perpajakan sebagai bagian dari pengetahuan umum dari tingkat sekolah dasar hingga menengah, agar dapat meningkatkan kesadaran pajak sejak dini.
Lalu, pemerintah juga dapat mengadakan pelatihan atau workshop perpajakan di berbagai daerah untuk membantu meningkatkan pengetahuan pemenuhan kewajiban perpajakan bagi masyarakat. Selain itu, pemberian insentif bagi wajib pajak yang telah mengikuti berbagai program edukasi perpajakan dapat diberikan pemerintah berupa penghargaan ataupun potongan pajak, agar masyarakat termotivasi untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuannya terkait kewajiban perpajakan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Meskipun telah disampaikan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia bahwa tax gap tidak bisa dihilangkan dan akan selalu ada. Namun, melalui beberapa strategi di atas, diharapkan dapat meminimalisasi dan menurunkan tax gap pada level normal yang setara dengan benchmark yang ditetapkan oleh OECD yaitu sebesar 3,6%. Seiring dengan turunnya tax gap tersebut, akan menjadi peluang untuk meningkatkan tax ratio yang sejalan dengan meningkatnya PDB Indonesia. Sehingga, hal ini memberikan pemerintah kesempatan memiliki ruang fiskal yang lebih luas dalam mewujudkan kesejahteraan dan pembangunan Indonesia di masa depan.***
Dinda Ardytania, Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN.