Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Fenomena Ikuji Pada Masyarakat Jepang
1 Oktober 2022 20:00 WIB
Tulisan dari Dinda Rodhotul Jannah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ada 2 kata untuk membesarkan anak di Jepang, yaitu ‘ikuji’ (育児) yang artinya membesarkan atau mengasuh dan ‘shitsuke’ (しつけ) yang artinya disiplin. Ikuji terdiri dari 2 karakter kanji, yaitu ‘iku’ yang berarti mengasuh dan membesarkan dan ‘ji’ yang berarti anak (Aksan, 2020). Ikuji dapat diartikan sebagai proses pengasuhan anak dari lahir sampai usia anak dinilai dapat menjalani kehidupan sosial, istilah ikuji terdiri dari shitsuke yang artinya melatih dan mendisiplinkan anak melalui pembelajaran dan bimbingan tingkah laku di kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan norma, etika, dan moral di masyarakat (Kusumawati, 2015).
ADVERTISEMENT
Kedua istilah tersebut (ikuji dan shitsuke) memiliki makna yang berbeda, dimana shitsuke merupakan makna yang dikandung dari ikuji, ikuji bermakna pola pengasuhan orang tua sejak anak dilahirkan hingga anak tumbuh besar dan mampu bersosialisasi, sedangkan shitsuke merupakan cara yang digunakan oleh orang tua untuk mendidik anak agar sesuai dengan moral dan etika sehingga shitsuke sangat berperan dalam proses perkembangan anak.
Orang tua memiliki andil yang besar dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga orang Jepang selalu berusaha untuk mengajarkan shitsuke kepada anak saat memasuki kelompok usia dini, hal utama yang mereka ajarkan yaitu moral. Seperti istilah ‘tumbuh dari rumah’, maka dapat dikatakan orang tua berperan secara dominan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak karena orang tua dituntut untuk bertanggung jawab mengajari dan membimbing anak, meliputi cara mengendalikan diri, rasionalitas, merencanakan, memilihkan, dan memutuskan lingkungan anak mereka akan berkembang.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan dari pola asuh dan pola didik orang tua akan tampak seiring dengan usia anak yang bertambah dan telah memasuki lingkungan sosial, maka diharapkan anak dididik sejak usia dini agar terbentuk kepribadian yang ideal karena anak telah memiliki dasar yang kuat sehingga setiap perubahan atau pengaruh yang dialami akan berdampak sedikit. Sehingga jika anak memiliki sikap dan perilaku yang tidak ideal sesuai norma dan nilai di masyarakat, maka akan muncul pertanyaan bagaimana cara orang tuanya mengajarkan shitsuke kepada anak tersebut. Menurut Kusumawati (2015) masyarakat Jepang menilai baik buruknya seorang anak. tergantung dari pola asuh shitsuke yang diberikan oleh orang tua mereka. Sehingga tidak jarang apabila ada anak yang melanggar norma, maka ada istilah ‘oya no kao ga mitai’ (artinya: ingin melihat wajah orang tuanya), kalimat tersebut adalah kalimat satir yang berisi sindiran terhadap orang tua atau pengasuh anak tersebut.
ADVERTISEMENT
Karena peningkatan jumlah orang tua yang bekerja dan keluarga inti di Jepang saat ini, jumlah anak yang menggunakan pusat penitipan anak dan klub anak-anak setelah sekolah meningkat pesat. Namun, karena kekurangan guru TK dan staf pendukung, masih banyak anak yang masuk daftar tunggu. sistem baru untuk mendukung pengasuhan anak dimulai, dengan prinsip “mendukung pengasuhan anak oleh masyarakat secara keseluruhan baik dari segi kuantitas maupun kualitas”. Untuk mengurangi jumlah anak dalam daftar tunggu, pendirian sekolah TK dan pengamanan guru TK sangat dibutuhkan, dan penyelesaian masalah mengenai perlakuan terhadap guru TK dianggap sebagai prioritas pertama. Namun, Haji dan Okumoto menyatakan bahwa adanya keraguan mengenai penurunan kualitas pengasuhan anak sementara kuantitas pengasuhan anak memperluas.
ADVERTISEMENT
Umumnya di Jepang kegiatan yang dilakukan di sekolah selalu dilandasi oleh semangat solidaritas ('tomodachi’, ‘shinetsu', 'nakayoku'), semangat untuk berusaha ('ganbaru'), semangat ('genki'), dan rasa bertanggung jawab ('jibun no koto o jibun de suru'). Implementasi hal tersebut dapat dilihat, contohnya ketika di akhir pendidikan taman kanak-kanak, para siswa diminta untuk memberikan kesan dan pesan setelah memperoleh ijazah. Rata-rata dari mereka sudah mengerti dan membicarakan mengenai 'gambaru', 'tomodachi', dan 'jibun no koto o jibun de suru' (Firdaus et al., 2022).
Prasekolah memiliki asosiasi orang tua-guru, dan orang tua dari keluarga yang terdaftar di prasekolah dan staf yang bekerja di sana adalah anggota. Biaya keanggotaan bulanan dikumpulkan, dan ada juga rapat umum serta audit akuntansi. Ada acara yang diselenggarakan oleh asosiasi orang tua, dan komite eksekutif bertemu setiap kali untuk mengadakan acara. Secara khusus, ada festival musim panas, festival sekolah, mochi berdebar, dan bazaar (Haji & Okumoto, 2021).
ADVERTISEMENT
Aspek yang paling penting dari infrastruktur penitipan anak Jepang adalah bentuknya yang beragam: pusat penitipan anak (‘hoikuen’) dan taman kanak-kanak (‘yōchien’) adalah yang paling menonjol. Bentuk perawatan institusional yang kurang populer adalah hotel bayi yang dikelola secara pribadi serta kodomoen, yang paling tepat digambarkan sebagai campuran antara pusat penitipan anak dan taman kanak-kanak. Pilihan pengasuhan non-keluarga informal lainnya adalah pengasuh anak (hoiku mama) dan pengasuh bayi (Holthus, 2018).
Perbedaan utama antara penitipan anak (‘hoikuen’) dan taman kanak-kanak (‘yōchien’) yaitu (Holthus, 2018):
1. Pusat penitipan anak (hoikuen) beroperasi di bawah kementerian kesehatan, tenaga kerja dan kesejahteraan, sedangkan taman kanak-kanak (yōchien) berada di bawah naungan kementerian pendidikan.
2. Pusat penitipan anak menawarkan pengasuhan untuk anak-anak dari usia 57 hari, sedangkan taman kanak-kanak menyediakan untuk anak-anak dari usia 3 tahun ke atas.
ADVERTISEMENT
3. Pusat penitipan anak menargetkan orang tua yang bekerja, dengan perawatan yang diberikan selama sehari penuh, biasanya enam hari seminggu, dan dengan beberapa pusat bahkan beroperasi 24/7. Meskipun, dalam beberapa tahun terakhir, taman kanak-kanak telah memperpanjang jam operasional mereka (sebelumnya, jam biasa mereka dari 9 pagi menjadi setengah 3 sore), dalam banyak kasus jam perawatan taman kanak-kanak masih tidak memungkinkan orang tua untuk bekerja penuh waktu.
Taman kanak-kanak memiliki aspek pendidikan untuk mereka, membuat mereka lebih sebanding dengan apa yang dalam konteks Jerman dan AS akan disebut "prasekolah." Kehadiran taman kanak-kanak secara nasional telah menurun selama beberapa dekade terakhir, sedangkan persentase anak-anak yang dirawat di pusat penitipan anak telah mengalami peningkatan yang stabil (Holthus, 2018).
ADVERTISEMENT
Dapat disimpulkan bahwa masyarakat Jepang menjunjung kemandirian dan kelembutan dalam mengasuh anak. Orang tua berpartisipasi dalam penitipan anak-anak mereka, karena merekalah yang bertanggung jawab untuk membesarkan anak-anak mereka dan akan bersama mereka sepanjang hidup mereka. Melalui essay ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi mengenai perbandingan pola asuh dan dapat meningkatkan informasi mengenai cara mengkomunikasikan dan menjelaskan isi pengasuhan anak kepada orang tua yang memiliki latar belakang pendidikan yang beragam dan bekerja di berbagai pekerjaan, dan bagaimana kita berkolaborasi dengan mereka untuk membesarkan anak-anak mereka?
Untuk mencapai tujuan tersebut, masalah yang paling penting adalah meningkatkan kualitas dan kemampuan staf dan pekerja pengasuhan anak yang bekerja di sana, dan sangat mendesak untuk memikirkan dan melaksanakan program untuk mencapai tujuan tersebut. Untuk melakukan ini, perlu untuk mencari tahu apa yang menyebabkan penurunan kualitas. Dengan mengklarifikasi penyebabnya, program khusus untuk peningkatan kualitas dapat dibuat. Jika ada masalah dengan gaji, pendanaan dan status sosial atau perbaikan akan dibutuhkan. Penting juga untuk mewawancarai dan mengetahui sikap staf dan pekerja pengasuhan anak.
ADVERTISEMENT
Seiring dengan peningkatan kualitas staf dan pekerja pengasuhan anak, perlu digali kebutuhan pengasuhan anak orang tua agar dapat mewujudkan partisipasi mereka dalam pengasuhan anak. Penting juga untuk menyediakan tempat di mana orang tua dapat memperoleh pengetahuan tentang pengasuhan anak dan mengajukan pertanyaan dan kekhawatiran.
DAFTAR PUSTAKA
Aksan, S. P. (2020). Faktor yang Berhubungan dengan Risiko Kejadian Stunting pada Anak Usia 12-36 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas BUA Kabupaten Luwu (Skripsi, Universitas Hasanuddin).
Haji, N., & Okumoto, T. (2021). A study on childcare quality: ZAP terakoya (Cambodia) and one of Okayama’s private daycare center (Japan). Chugokugakuen Journal, (20), 45-51.
Kusumawati, N. M. (2015). Shitsuke pada Pengasuhan Anak dalam Keluarga Jepang: Studi Kasus pada 3 Keluarga Jepang (Skripsi, Universitas Airlangga).
ADVERTISEMENT