Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Menjadi Santri Tidak Semudah Itu
24 Juni 2021 15:21 WIB
·
waktu baca 8 menitDiperbarui 13 Agustus 2021 14:12 WIB
Tulisan dari Dinda Roshmalia Nur Afifah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Halo guys. Yuk kali ini cerita yang sedih-sedih. Jangan cuma cerita percintaan saja hahaha. Sebenarnya cerita kali ini cukup sedih dan agak lucu ya. Aku sampai mikir-mikir untuk menulis ini. Tetapi tidak masalah sih, aku hanya berbagi pengalaman aku ke kalian yang mau masuk pesantren nih. Dan aku juga mempunyai pesan untuk kalian semua lo. Yuk simak cerita aku ya.
ADVERTISEMENT
Cerita ini terjadi saat aku akan memasuki masa SMP. Saat itu ayah meminta aku untuk masuk pesantren saja, sedangkan mama bilang kalau aku bebas untuk memilih. Maklum orang tua saat itu ingin anak nya jadi ahli Al-Qur'an. Sebenarnya aku pribadi ingin pesantren dan ingin juga bersekolah di SMP biasa.
Baru kali ini aku merasakan apa itu bimbang. Ayah tetap memaksa ingin aku masuk pesantren, ya aku nya bingung ya, aku meminta untuk berpikir dahulu sebelum kelulusan SD saat itu.
Kelulusan SD pun sudah datang. Kalian bayangkan aku diberi dua pilihan seakan aku harus memilih antara hidup dan mati. Aku sudah berbicara dengan mama pada saat itu. Aku bilang "Ma, Nda ingin sekolah biasa saja, tidak mau pesantren." Mama menjawab dan menjadi mendukung ayah dalam memasukkan ku ke pesantren "Nda maunya sekolah biasa saja? Nda bilang ke ayah kalau kamu ingin sekolah biasa saja."
ADVERTISEMENT
Saat itu aku sama sekali tidak berani untuk membantah apa yang ayah inginkan. Aku hanya menjawab "Ya sudah ke pesantren." Di situlah otak dan hati bertengkar akibat keputusan aku itu. Selama sebelum pendaftaran dibuka aku hanya bisa memantapkan hati aku atas keputusan yang aku buat saat itu.
Kalian bayangkan anak baru lulus sd sudah di beri keputusan seperti itu, apa tidak bimbang setengah mati. Tetap saja rasa ingin bersekolah biasa tetap ada, aku ingin seperti mereka yang bersekolah biasa, tetapi aku juga ingin seperti mereka menjadi santri untuk membanggakan orang tua aku. Sungguh saat itu aku tidak siap sama sekali. Tetapi mereka memberi aku omongan kalau lulus pesantren itu bisa menjadi apa pun, bisa bekerja di mana pun dan bahkan kata mereka aku bisa berkuliah di luar negeri. Ya saat mendengar omongan mereka aku tergiur dong, apa benar aku bisa berkuliah di luar negeri?
ADVERTISEMENT
Aku dengan mantap memberi keputusan final aku "Iya, Nda mau pesantren," ayah dengan rasa semangatnya menjawab "Ayo kita daftar sekarang, let's go."
Pendaftaran pesantren sudah dibuka, aku mendaftar di pesantren Daar El Qolam pesantren paling terkenal dan yang paling terbesar di daerah tempat tinggalku, dan tentu biaya mereka sangat mahal. Di situ aku kembali berpikir apa keputusan aku sudah benar ya? Apa aku sanggup tinggal sendiri jauh dari mereka? Apa aku bisa? Pertanyaan itu selalu memutar di otakku. Aku, anak baru lulus SD yang tidak berani untuk berbicara tentang yang aku rasa, dan aku hanya diam saja ketika ada rasa kebimbangan yang aku rasakan.
Mereka setiap hari bertanya, "Nda yakin kan untuk masuk pesantren ini, tidak murah lo biayanya" dan aku hanya menjawab "Iya yakin."
ADVERTISEMENT
Jawaban lugas yang membuat aku semakin pusing, di dalam hati aku selalu berbicara, "Ma, Nda ingin sekolah biasa tidak mau masuk pesantren." Kalau kalian bertanya mengapa tidak aku sampaikan. Karena aku tidak berani jujur tentang apa yang aku rasa, aku takut ayah marah karena aku menolak untuk menjadi santri. Jadi ya aku hanya diam saja menerima apa pun keputusan ayah.
Masa ujian masuk pesantren datang, aku dengan segala persiapan yang lumayan mantap siap untuk menghadapi ujian itu. Yang pertama ada ujian tertulis seperti ujian pada umum nya dan yang kedua ada ujian tes bacaan salat. Di situ pas ujian bacaan salat mungkin karena grogi tiba-tiba bacaan salat aku lupa, bisa-bisanya lupa di saat seperti ini. Dengan bismillah aku memulai membaca niat salat hingga akhir. Ujian pun semua selesai, aku hanya butuh satu minggu untuk menunggu pengumuman kelulusan apakah aku akan menjadi bagian dari pondok pesantren itu.
ADVERTISEMENT
Tidak terasa sama sekali, pengumuman itu sudah keluar. Dan aku akan menjadi bagian dari pesantren itu.
Harapan aku untuk memasuki SMP sudah hampir tidak ada. Saat pengumuman itu sudah keluar dan ada nama aku di dalamnya, orang tua ku merasa senang bukan main, nenek dan kakek ku pun sama. Tetapi nenek dan kakekku sama seperti aku, yang ingin aku bersekolah di SMP biasa saja. Cuma mau bagaimana lagi, semua sudah dibayarkan, masa harus diminta kembali.
Satu bulan sebelum pindah ke pesantren tempat asing yang aku takutkan. Di saat itu ayah dan mama menjadi orang yang super sibuk, menyiapkan pakaian gamis kerudung dan baju tidur untuk dibawa ke pesantren dan ayah menyiapkan seragam sekolah pesantren. Aku hanya diam, memang apa istimewanya pesantren, yang aku rasakan hanya takut, bagaimana kalau di sana banyak hantu—aku sering melihat hantu soalnya, hehe.
ADVERTISEMENT
Semua orang sibuk, aku hanya membantu mereka saja, memilih baju mana yang akan aku bawa, membeli barang apa saja yang aku bawa, dan tentu membawa niat yang mantap untuk menempati tempat baru tersebut.
Hari kepindahan pun sudah tiba, hari di mana rasanya aku sangat ingin menghilang agar tidak mau masuk pesantren, tetapi di hati aku yang lainnya itu rasanya juga senang dan sedih tidak mau ke sana tetapi ya seperti itu—ah sudahlah tidak bisa di jelaskan bagaimana rasanya hehehe. Berangkat dengan di antar tentunya oleh mama dan ayah, ada nenek, kakek, kakak sepupu, dan kakak dari mama.
Perjalanan diisi dengan pesan-pesan menyemangati untuk belajar dengan giat di sana. Aku hanya menjawab ketika ayah bertanya "Nda di sana jangan malas-malasan, harus rajin, harus mandiri, tidak boleh nangis." Ya aku sedih dong mengapa nangis dilarang, "Masa Nda tidak boleh nangis, yah," sebenarnya jawaban itu hanya sekadar menyamangatiku agar tidak cengeng di pesantren.
ADVERTISEMENT
Jarak antara pesantren dengan rumah ku dekat, sekitar setengah jam sudah sampai. Di halaman pesantren sudah banyak orang tua yang mengantar anaknya untuk pindah ke pesantren. Aku makin sedih dong, makin tidak mau di pesantren dan tentu makin tidak mau jauh dari mama. Maklum kawan anak SD belum bisa jauh dari mamanya hehehe. Di sana yang mengurus keperluan aku di kamar itu ayah, ayah yang sibuk di pesantren, mama sama ayah di sana sampai jam 5 sore, cepat sekali sore nya padahal baru pagi tadi jam 9 berangkat sekarang sudah mau ditinggal mereka.
Kakak kepala kamar pun berbicara, bahwa orang tua disarankan untuk pulang karena waktu sudah memasuki magrib. Nangis banget, tidak mau ditinggal mama saat itu. Aku berkata "Ma tidak mau, Nda tidak mau di sini, Nda mau pulang." Mama tidak menjawab, tetapi ayah yang menjawab, "sudah tidak apa-apa kamu di sini hanya sampai kelas 3 SMP saja, sehabis itu kamu bebas mau bersekolah di mana."
ADVERTISEMENT
Saat itu juga aku sungguh tidak ingin melepas mama. Tetapi apa boleh buat, aku sudah disuruh kembali ke kamar untuk mempersiapkan pakaian salat magrib. Saatnya aku berpamitan sama nenek dan kakek, mereka berdua adalah orang yang paling sedih untuk melepas aku ke pesantren, sedihnya mereka masih terasa sampai sekarang. Mereka bilang kalau aku harus betah, bagaimana pun ini untuk masa depanku. Setelah pamit, aku disuruh untuk langsung memasuki kamar tanpa bisa mengantar dan melihat mereka pulang.
Usai salat magrib kami disuruh untuk membaca Al-Qur'an, dan saat itu juga aku menangis, tiba-tiba saja aku mendengar suara bacaan Al-Qur'an mama, rasanya seperti mama mengaji di sampingku. Aku mengaji sambil mengeluarkan air mata yang idak bisa berhenti.
ADVERTISEMENT
Selesai mengaji kami membersihkan barang-barang, membersihkan tempat tidur dan baju. Waktu tidur pun tiba, ranjangku rasanya bergoyang-goyang padahal satu kamar sudah tidur semua, dan hanya aku yang merasakan getaran itu.
Aku ingin melihat siapa itu tetapi aku takdan memutuskan lanjut tidur. Besoknya aku mendengar rumor kalau ranjang bergoyang itu berarti sedang diganggu. Sudah baru pertama kali di pesantren, dapat gangguan pulak. Ternyata penunggu kamar ini suke mengospek anak baru sepertiku ini.
Hari-hari berlanjut sedih, aku sering meminjam HP kepada orang tua yang sedang menjenguk anak nya di pesantren ini. Aku meminjam karena aku ingin menelepon dan meminta orang tua ku datang, aku tidak betah di pesantren dan aku sering meminta pulang.
ADVERTISEMENT
Tetapi mereka bilang sudah terlambat, dibetah-betahkan saja di sana.
Besoknya mereka datang untuk menjengukku di pesantren dengan membawakan stok makanan. Aku bilang ke mama, "Ma ingin pulang tidak mau di sini tidak enak." Mama menjawab sedikit menenangkan "Nanti mama sama ayah kesini lagi besok ya."
Hari untuk masuk sekolah pun tiba, hari sekolah yang sangat padat dan lumayan merepotkan. Jam sekolah dari jam tujuh pagi sampai jam enam sore, sudah sedih karena tidak suka di pesantren ditambah jam sekolah yang padat, bagaimana tidak pusing?
Setiap istirahat harus kembali ke kamar dan mengambil buku pelajaran untuk jam berikutnya. Dan buku itu sungguh super tebal, sekali membawa buku ada empat paket super besar. Aku bercerita ke teman sekamar dan satu kelasku, bahwa aku ingin keluar dari pesantren dan dia mempunyai keinginan yang sama.
ADVERTISEMENT
Dia masuk ke pesantren atas paksaan orang tuanya, sedangkan aku karena kebimbangan diriku sendiri.
Setiap hari aku meminta mama untuk datang ke pesantren, hingga akhirnya aku diperbolehkan untuk izin pulang, dan itu hanya sehari saja. Sehari di rumah sangat tidak cukup bagi aku yang tidak mau kembali ke pesantren. Hari-hari di rumah hanya dipenuhi omelan ayah. Aku lelah di sana, aku ingin bersekolah biasa, tetapi untuk apa aku berbicara kalau apa yang aku inginkan tidak didukung oleh ayah.
Mau bagaimana lagi dan aku harus kembali ke pesantren.
Baru lima hari di pesantren aku menangis hebat. Aku tidak betah sungguh, aku ingin pulang. Aku tidak mau di pesantren, tidak ada para kakak kamar yang ramah denganku, semuanya ketus. Aku benar-benar sudah tidak kuat di sana.
ADVERTISEMENT
Aku curahkan perasaanku pada mama, "Nda mau keluar dari pesantren saja, tidak mau di sini lagi, mau sekolah seperti biasa saja. Pokoknya Nda mau keluar saja."
"Sudah mengeluarkan duit banyak, kamu ingin keluar? Tidak, di sini saja, tidak boleh keluar" kata Ayah.
Sejak saat itu aku tidak bisa menghubungi mereka selama dua hari. Hari kedelapan mereka menjenguk aku, dan tentu aku hanya menangis dan minta pulang.
Hari kesembilan, terpaksa aku keluar. Sejak keluar dari pesantren aku menjadi orang yang paling takut untuk bertemu dengan orang baru. Takut untuk berkenalan dengan mereka. Intinya menjadi anak yang tidak berani keluar rumah.
Di sekolah baru pun begitu, aku sampai tidak berani masuk kelas karena takut. Sampai akhirnya ada teman di kelas yang memperkenalkan dirinya, namanya Syifa. Teman pertama yang membuat aku percaya diri untuk bersekolah. Teman yang sampai sekarang masih berhubungan baik denganku. Dia juga yang mengajarkanku untuk percaya diri walau bagaimanapun sikap aku, sifat aku, bentuk tubuh aku, apa pun yang membuat aku tidak percaya diri.
ADVERTISEMENT
Sekian ya kawan cerita sedih nya aku di pesantren. Itu akan menjadi pengalaman yang tentunya akan jadi pembelajaran untuk aku ke depannya bahwa aku harus bisa memposisikan diriku dalam situasi apa pun.
Aku ada pesan untuk kalian yang bimbang ingin masuk ke pesantren atau sekolah biasa. Ingat ya, pikirkan baik-baik keputusan yang akan kalian buat. Jangan sampai menyesal untuk memilih dan tentu jangan sampai seperti aku. Keputusan apa pun yang kalian inginkan sebaiknya bicarakan kepada orang tua kalian, agar tidak terjadi salah komunikasi soal apa yang kalian inginkan.
Sebenarnya sekolah di mana pun sama saja, tergantung tujuanmu bersekolah. Yuk, mulai hargai keputusan kalian sendiri. Kalian juga pantas untuk memutuskan apa yang kalian inginkan.
ADVERTISEMENT