Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Cerpen "My Amigo: Forever Together"
31 Mei 2023 18:40 WIB
Tulisan dari Dinda Yuliana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perempuan bernama Yuka merupakan salah satu siswa SMA yang kini duduk di kelas 3 alias tingkat akhir masa-masa SMA. Yuka memiliki seorang sahabat bernama Natasya. Yuka dan Natasya sudah bersahabat sejak mereka masih di bangku SMP. Saat ini pun Natasya berada di kelas yang sama dengan Yuka.
ADVERTISEMENT
“Natasya!” panggil Yuka.
Natasya yang sedang menulis pelajaran biologi di buku catatannya pun menoleh ke arah Yuka. “Kenapa, Ka?” tanyanya.
“Lo masih nyatet?” tanya Yuka sembari melirik buku catatan Natasya.
Natasya mengangguk. “Iya, belum selesai, nih. Kenapa?”
“Mau ke BK bareng?” tanya Yuka. “Buat konsultasi masalah jurusan yang mau kita ambil.”
Natasya berpikir sejenak lalu mengangguk. Ia memfoto papan tulisan di papan tulis terlebih dahulu sebelum dihapus, menutup buku catatannya dan memasukkannya ke laci. Kemudian ia pergi beriringan dengan Yuka menuruni tangga sekolah untuk menuju ke ruang BK.
“Lo udah ada keputusan mau ambil prodi apa buat daftar SMPTN bulan depan?” tanya Natasya.
Yuka mengangguk lalu menggeleng.
“Gue masih bingung, Sya. Ada beberapa pilihan yang gue mau tapi orang tua gue ada pilihan lain yang beda sama gue.”
ADVERTISEMENT
“Masih struggle karena beda sama nyokap lo, Ka?”
Yuka mengangguk. “Makanya mending gue konsul aja sama Bu Trista dari pada bimbang.”
Sesampainya di ruang BK, Natasya yang terlebih dahulu konsultasi tentang program studi yang hendak ia ambil.
“Dengan nilai matematika dan biologimu yang bagus ini, Ibu percaya kamu akan lolos di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Natasya.” ujar Bu Trista pada akhir sesi konsultasi.
“Baik. Terima kasih, Bu.” kata Natasya sembari menyalimi Bu Trista.
Setelah selesai konsultasi, Natasya keluar dari ruangan Bu Trista dan mempersilakan Yuka untuk masuk. Natasya menunggu di ruang tunggu sembari mambaca-baca majalah yang tergeletak di meja. Setelah hampir sepuluh menit konsultasi, Yuka keluar dari ruangan Bu Trista.
ADVERTISEMENT
“Gimana? Udah?” tanya Natasya.
Yuka menatap Natasya ragu lalu mengangguk pelan.
“Ya udah, balik ke kelas, yuk. Udah mau pergantian jam.” kata Natasya seraya menggandeng lengan Yuka.
Mereka pun berjalan beriringan menuju kelas mereka.
“Wah, gue deg-degan banget buat daftar.” kata Natasya.
Yuka diam saja tak merespon. Pikirannya melamun. Melamunkan ucapan Bu Trista saat konsultasi tadi.
“Ka, gue boleh minjem buku kumpulan rumus kimia gak? Yang waktu itu gue pinjem. Ada beberapa materi yang gue masih bingung.” kata Natasya.
“Boleh. Besok gue bawain.”
“Oke. Thank you. Btw nanti pulang sekolah mau belajar bareng lagi gak?” tanya Natasya. “Buat try out tanggal 10. Ah, kepala gue pusing banget banyak yang harus dilakuin.”
ADVERTISEMENT
“Keknya gue besok aja deh belajar barengnya. Gue mau diskusiin dulu sama nyokap gue masalah konsultasi tadi.” ujar Yuka.
Natasya mengangguk. “It’s okay, semoga ketemu jalan keluarnya, ya. Gue dukung semua keputusan lo.”
Yuka mengangguk pelan. Ia menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya secara perlahan. Semoga ibunya mau bernegoisasi dengan dirinya.
Yuka merenung di teras rumahnya. Ia benar-benar frustasi saat ini. Ia menatap langit dan pepohonan yang ada di halaman rumahnya dengan tatapan melamun. Kemarin saat konsultasi, Yuka bertanya kepada Bu Trista mengenai pilihan prodi yang dipilihkan ibunya, yaitu Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Prodi dan universitas yang sama dengan yang Natasya inginkan.
Bu Trista berkata bahwa nilai-nilai Yuka memiliki peluang untuk masuk Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Yuka sendiri tidak ingin bersaing dengan sahabatnya sendiri. Namun, ibunya kekeh untuk menyuruh Yuka masuk ke Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
ADVERTISEMENT
Yuka menawarkan opsi lain kepada ibunya dengan mendaftar Fakultas Kedokteran di universitas top lainnya, namun Ibu Yuka menolak. Ia tak ingin putrinya berkuliah di luar kota yang mengharuskan tinggal terpisah atau ngekos.
Natasya tidak mengetahui bahwa pilihan Ibu Yuka adalah prodi dan universitas yang sama dengan apa yang ia pilih. Yang Natasya tahu bahwa Yuka ingin mengambil Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada sedangkan ibunya memilih prodi lain, yang bertentangan dengan Yuka. Yuka menghela napas lelah. Ia bahkan tak sanggup membayangkan sekecewa apa Natasya jika tahu sahabat dekatnya ingin mendaftar fakultas yang sama dengan dirinya.
Hari-hari setelahnya, Yuka mencoba menjauh dan menjaga jarak dengan Natasya. Setiap Natasya mengajak ke suatu tempat, Yuka akan menolaknya. Yuka benar-benar dihantui perasaan bersalah.
ADVERTISEMENT
Natasya menyadari perubahan sikap Yuka yang berbeda dari biasanya. Ekspresi wajah Yuka menjadi murung jika tak sengaja bertatapan dengan dirinya.
“Ka, pulang sekolah mau ke rumah gue gak? Hari ini ulang tahun adik gue. Mama nyuruh gue buat ajak lo.” kata Natasya.
Yuka hendak membuka mulutnya, namun segera Natasya potong.
“Please, jangan nolak kali ini.” ujar Natasya memohon.
Yuka terdiam sejenak. Ia menatap mata Natasya yang memohon kepadanya. Perasaan bersalah kembali muncul menyelimuti hatinya, namun ia tak tega untuk menolak dan menghindari Natasya lebih lama.
“Ya udah, gue ikut.” kata Yuka pada akhirnya.
Pada akhirnya, Natasya akan mengetahui prodi apa yang dirinya pilih, cepat atau lambat. Di saat hari itu tiba, Yuka hanya berharap bahwa Natasya dapat memaafkannya.
ADVERTISEMENT
Sepulang sekolah, Natasya dan Yuka mengendarai motor Natasya menuju rumahnya. Di sepanjang jalan, pikiran Yuka melayang-layang.
“Mungkin ini salah satu momen yang bakal gue kangenin nantinya.” gumamnya dalam hati.
Di tengah lamunannya, Yuka teringat bahwa ia tidak membawa apapun untuk diberikan kepada adiknya Natasya. Ah, bagaimana ia bisa lupa seperti ini.
“Sya, mampir ke toko Haji Rahmat, ya?” kata Yuka setengah berteriak.
“Oke!” balas Natasya sembari mengangguk.
Sesampainya di toko mainan anak-anak, Yuka memilih mainan berupa mobil truk berukuran sedang. Beberapa kali saat ke rumah Natasya, Yuka melihat dan memperhatikan bahwa hanya ada satu mainan mobil-mobilan yang dimiliki adik Natasya. Mobil-mobilan itu pun bagian bannya sudah rusak. Yuka mengambil mobil-mobilan tersebut dan langsung membayarnya kepada pemilik toko dan meminta tolong pada ibu-ibu paruh baya tersebut untuk sekalian membungkuskan mobil-mobilan itu.
ADVERTISEMENT
Setelah mobil-mobilan tersebut sudah terbungkus kertas kado dengan sempurna, Yuka segera keluar toko dan menemui Natasya yang sedang membeli batagor di pinggir jalan.
“Udah?” tanya Natasya.
Yuka menganggukkan kepalanya. “Udah.”
“Bentar, ya. Batagor gue masih mau dibungkus.” kata Natasya pelan.
Ketika batagornya sudah selesai dibungkus, Natasya memberikan sejumlah uang kepada penjual batagor tersebut sembari mengucapkan terima kasih. Lalu keduanya melanjutkan perjalanan menuju rumah Natasya. Yuka menyuruh Natasya untuk pelan-pelan saja mengendarai motornya karena ia kewalahan membawa kado yang berukuran lumayan besar itu.
Setelah sampai di rumah Natasya, terlihat sudah banyak sekali motor di halaman rumah temannya itu. Ada banyak anak kecil berumur sembilan sampai sebelas tahun yang ikut merayakan ulang tahun adik Natasya di temani orang tua masing-masing. Natasya pernah bercerita bahwa adiknya sangat ingin ulang tahunnya dirayakan seperti anak-anak lainnya saat ia menginjak umur sepuluh tahun. Yuka pun tahu bagaimana Natasya mengirit segala pengeluaran agar dapat mengadakan pesta ulang tahun kecil-kecilan di rumahnya.
ADVERTISEMENT
“Lewat belakang aja, ya.” ujar Natasya. “Soalnya udah rame banget anak kecil.”
Yuka mengangguk. Lalu mereka berdua berjalan menuju pintu belakang rumah Natasya. Setelah acara ulang tahun selesai dan teman-teman dari adik Natasya sudah pulang semua. Yuka memberikan hadiah yang ia bawa kepada adik Natasya.
“Makasih, Kak Yuka.” ujar adik Natasya ketika menerima hadiah tersebut.
“Sama-sama, Ganteng.” ucap Yuka sembari mengelus pelan puncak kepala anak laki-laki itu.
“Makasih, Yuka, udah mau dateng dan repot-repot ngasih hadiah.” kata Ibu Yuka.
“Iya, Bu, sama-sama. Gak ngerepotin sama sekali, kok.”
Ibu Yuka lalu mempersilahkan Yuka untuk memakan nasi kuning yang sudah disajikan. Natasya dan Yuka pun memakan nasi kuning tersebut di bawah pohon seri yang letaknya di depan halaman rumah Natasya.
ADVERTISEMENT
“Ka, gue ada salah, kah, ke lo?” tanya Natasya di tengah aktivitas makan mereka.
Yuka berhenti mengunyah sejenak. Ia menundukkan pandangannya lalu menggeleng pelan.
“Syukur, deh. Gue kira lo marah ke gue. Soalnya akhir-akhir ini tiap gue ajak kemana pun, lo selalu nolak. Gak kek Yuka yang gue kenal.”
Yuka mengunyah makanan yang tersisa di mulutnya lalu menelannya susah payah. Ia meletakkan piring yang masih tersisa banyak nasi di atasnya.
Mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk memberitahu Natasya.
“Sya.” panggil Yuka pelan.
Natasya mengangkat alisnya. “Hm?”
“Gue mau jujur sesuatu ke lo.”
Natasya menyelesaikan kunyahannya dan ikut meletakkan piring di hadapannya. Dari ekspresi wajah Yuka sepertinya ini adalah hal yang sangat penting.
ADVERTISEMENT
Yuka menatap mata Natasya. “Lo wajar marah ke gue. Gue juga akan terima semua kekecewaan lo ke gue.”
Natasya meminum air mineral di hadapannya sembari mengerutkan keningnya.
“Marah karena apa, sih, Sya? Gue gak akan marah, kok. Tenang aja.” kata Natasya.
Yuka menghela napas pelan. “Lo inget waktu kita berdua konsul ke Bu Trista terakhir kali?” tanyanya.
Natasya mengangguk. “Sebenernya gue waktu itu konsul tentang prodi yang mama gue rekomendasiin, Sya. Gue ngerahasiain ini dari lo karena gak mau lo marah ke gue.”
Natasya mengerutkan keningnya heran, masih tak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh sahabatnya ini.
“Mama gue nyuruh gue masuk Fakultas Kedokteran UGM, Sya. Fakultas dan kampus yang sama kayak yang lo pilih.” kata Yuka dengan nada sedih.
ADVERTISEMENT
Natasya mengerutkan keningnya lagi, menunggu kelanjutan cerita Yuka. “Iya, terus?” tanyanya.
Yuka mendongakkan kepalanya dan menatap Natasya dengan tatapan heran. “Lo gak marah ke gue?”
“Marah karena?”
“Ya gue mau masuk ke fakultas dan kampus yang sama kayak yang lo pilih.”
“Lah, terus kenapa kalau lo pilih fakultas dan kampus yang sama kek gue?”
“Ya kita jadi saingan buat masuk Fakultas Kedokteran UGM, Sya. Gue merasa gue nusuk lo dari belakang karena tiba-tiba ngeubah prodi yang bakal gue pilih dan milih prodi yang sama kek lo. Lo tau sendiri kalau SMA kita cuma punya tiga alumni yang masuk Fakultas Kedokteran UGM. Tandanya kemungkinan kita berdua bisa masuk ke fakultas itu jalur rapor kecil banget. Hanya ada dua kemungkinan, lo keterima atau gue yang keterima, Sya.”
ADVERTISEMENT
Natasya tersenyum mengembang mendengar penjelasan Yuka. Ternyata itu masalah yang menyebkan sahabatnya selalu murung saat melihatnya. Natasya menggenggam tangan Yuka. “Ka, ada satu lagi kemungkinan. Kita berdua sama-sama diterima di Fakultas Kedokteran UGM.” kata Natasya. “Lo gak inget kata-kata gue sebelumnya yang gue bilang gue bakal dukung lo masuk prodi apa pun? Itu juga tetep berlaku kalau lo milih prodi dan kampus yang sama kayak gue, Ka. Gak keterima jalur SMPTN, masih ada jalur SBMPTN. Kalau emang rejeki, gak akan kemana. Lo gak boleh pesimis, oke? Mana nih Yuka yang gue kenal yang selalu percaya diri sama pilihannya.”
Yuka mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia tidak menyangka bahwa Natasya tak kesal atau marah sedikit pun pada dirinya.
ADVERTISEMENT
“Sya.” panggil Yuka dengan nada sedikit bergetar menahan tangis.
Natasya merangkul Yuka dan menepuk-nepuk pundak sahabatnya itu.
“Lo memang sahabat terbaik gue, Sya.” kata Yuka. “Semoga kita berdua, keterima semua.”
“Aamiin.”
By: Dinda Yuliana