Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Perkara Menag, Bahasa, dan Praduga
14 Maret 2022 21:58 WIB
Tulisan dari Dine Hasya Dwifa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Senin, 28 Februari 2022, melalui siaran langsung kanal YouTube-nya, LBH Pelita Umat dalam Islamic Lawyer Forum Edisi-40 mendiskusikan salah satu permasalahan yang sedang hangat dibicarakan di Indonesia, yakni permasalahan suara azan yang disandingkan dengan gonggongan anjing dan kaitannya dengan hukum. Karena terbilang cukup kompleks, permasalahan tersebut nampaknya perlu dikaji lebih lanjut dari beberapa sudut pandang bidang ilmu yang relevan, salah satunya dikaji melalui kacamata bahasa khususnya linguistik forensik seperti yang disampaikan oleh Prof. Aceng Ruhendi Syaifullah. Dalam beberapa tuturannya terkait permasalahan azan dan anjing tersebut, Prof. Aceng menggambarkan wujud presuposisi (praanggapan) dalam mengungkap makna ujaran yang disampaikannya.
ADVERTISEMENT
Yule (dalam Sari, Retnowaty, & Musdolifah, 2018) mengemukakan bahwa presuposisi atau yang dikenal dengan istilah praanggapan, merupakan sesuatu yang diasumsikan penutur sebagai suatu kejadian sebelum memproduksi sebuah tuturan. Cummings (dalam Musriani, Tang, & Mahmudah, 2021) menambahkan bahwa di dalam presuposisi, terdapat gagasan atau inferensi yang terjalin dalam proses pengungkapan bahasa tertentu. Presuposisi pada dasarnya merupakan asumsi penutur dalam mengungkapkan maksud tertentu sebelum ujaran dituturkan.
Menurut Yule, presuposisi dapat dikelompokkan menjadi 6 jenis. Pertama, presuposisi eksistensial yang menyatakan bahwa terdapat keberadaan atau kepemilikan terhadap seseorang atau sesuatu. Kedua, presuposisi faktif yang diyakini benar ketika informasi dinyatakan setelah kata-kata tertentu. Ketiga, presuposisi leksikal yang disampaikan dengan asumsi bahwa makna yang tidak dikatakan dapat dipahami. Keempat, presuposisi struktural yang diyakini penutur bahwa informasi tertentu dapat diyakini juga oleh petutur. Kelima, presuposisi non-faktif yang berisikan bahwa suatu informasi tidak benar terjadi. Keenam, presuposisi kontra-faktual yang memuat informasi yang berkebalikan dari kebenarannya.
ADVERTISEMENT
Di awal sesi diskusi, Prof. Aceng mengatakan bahwa, “Biasanya ungkapan seperti itu muncul sebagai fenomena kemiskinan wujud ekspresi”. Frasa 'ungkapan itu' merujuk pada tuturan sebelumnya yakni, “ketika suara azan disandingkan dengan suara gonggongan anjing, itu sesuatu yang sangat berlawanan dan menimbulkan citra atau implikatur negatif”. Dalam tuturannya, Prof. Aceng menggambarkan wujud presuposisi eksistensial yang ditandai dengan frasa ‘ungkapan itu’. Hal tersebut menunjukkan bahwa ungkapan suara azan yang disandingkan dengan suara gonggongan anjing memang benar adanya.
Dalam tuturan lain, Prof. Aceng mengemukakan “Pak Menag ini bukan sekali saja membuat pernyataan yang kotor seperti ini.” Ungkapan 'bukan sekali saja' yang mengandung unsur negasi secara tidak langsung memunculkan presuposisi leksikal yang menandai bahwa Pak Menag, yakni Tuan Yaqut, sebelumnya sudah beberapa kali membuat pernyataan kotor, seperti halnya saat menyandingkan suara azan dengan suara gonggongan anjing. Presuposisi faktif pun turut hadir mengingat ungkapan pernyataan yang kotor seperti ini diikuti kata kerja 'membuat'. Artinya, terdapat praanggapan bahwa Pak Menag nyatanya membuat pernyataan kotor.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, dalam tuturan “Sejauh mana tuturan itu berdampak hukum?”, wujud presuposisi struktural ditandai dengan adanya kata tanya 'sejauh mana'. Dalam tuturan tersebut, informasi bahwa tuturan itu (ungkapan yang menyandingkan suara azan dan gonggongan anjing) berpotensi atau berdampak hukum dianggap sebagai suatu kenyataan.
Penggunaan bahasa yang digunakan Prof. Aceng melalui tuturannya tersebut, telah menunjukkan adanya presuposisi atau praanggapan yang menjadi bagian dari fenomena penggunaan bahasa oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, presuposisi yang ditemukan dalam beberapa tuturan tersebut antara lain meliputi presuposisi eksistensial, leksikal, faktif, dan struktural. Berdasarkan hasil telaah, dapat disimpulkan bahwa praanggapan terkait fenomena seorang Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, yang menyandingkan suara azan dan gonggongan anjing sehingga menimbulkan perkara penggunaan bahasa yang berpotensi berdampak hukum memang benar adanya.
ADVERTISEMENT
Melalui analisis pragmatik, khususnya presuposisi, gejala-gejala praanggapan dapat dikaji menggunakan teori-teori lain yang relevan selain teori Yule. Fenomena penggunaan ekspresi bahasa yang menarik dalam suatu perkara dapat ditelusuri dengan menimbang beberapa unsur salah satunya keaktualan. Tuturan-tuturan yang dikaji dapat divariasikan sehingga berbagai jenis presuposisi dapat ditemukan dan dihimpun secara utuh.
Sementara itu, dari segi pembaca, adanya penemuan-penemuan seperti penggunaan ungkapan bahasa yang memuat informasi dan presuposisi diharapkan dapat membuka wawasan pembaca bahwa hadirnya praanggapan turut melibatkan peran pengalaman maupun sudut pandang penutur maupun petutur yang menginterpretasikannya. Dengan begitu, pembaca dapat lebih cermat dalam menanggapi suatu fenomena tuturan dalam kehidupan sehari-hari.
Sumber:
Musriani, M., Tang, M. R., & Mahmudah, M. (2021). Penggunaan Presuposisi dalam Cerpen Karya Faisal Oddang pada Laman Lakon Hidup. Lingue: Jurnal Bahasa, Budaya, dan Sastra, 3(2), 94-102.
ADVERTISEMENT
Sari, L. I., Retnowaty, R., & Musdolifah, A. (2018). Presuposisi pada Bahasa Spanduk Iklan Warung Bakso di Balikpapan. Jurnal Basataka (JBT), 1(1), 37-44.