Relokasi sebagai Bagian dari Penataan Ruang Perencanaan Wilayah dan Kota

Dini Arianti
Mahasiswi Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota di Institut Teknologi Kalimantan
Konten dari Pengguna
20 Juni 2021 10:41 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dini Arianti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi tata kota Koln Jerman Foto: Wikimedia Commons
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi tata kota Koln Jerman Foto: Wikimedia Commons
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam merencanakan tata ruang kota, diperlukan perencanaan yang sistematis dan spesifik. Di Indonesia sendiri, banyak sekali kota-kota yang sudah dirancang sedemikian rupa agar dapat dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya sejak zaman pemerintahan Kolonial Belanda.
ADVERTISEMENT
Namun, ada beberapa daerah yang masih cenderung tidak tertata dengan baik serta menimbulkan berbagai permasalahan dan memerlukan perombakan besar-besaran untuk menatanya kembali. Hal ini tidak akan lepas dari pembahasan mengenai relokasi dan segala polemiknya.
Relokasi adalah upaya pemerintah dalam program pembangunan yang termasuk dalam rangkaian kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana. (dalam Oliver-Smith, 2002: 2): relokasi merupakan “perwujudan nyata dari ambisi perekayasaan yang dilakukan oleh negara, yang di dalamnya mengandung unsur adanya monopoli negara dalam mengelola kekuatan paksaan, relatif tak bertentangan dengan bentuk kekuasaan non politik dan institusi-institusi yang mengurus persoalan sosial lain, serta mampu melakukan kontrol terhadap lokasi orang dan objek-objek yang ada di dalamnya”.
Oleh karena itu, “orang yang direlokasi merupakan cerminan dari kondisi ketidak berdayaan sebagai korban karena dari situlah dia kehilangan kontrol atas ruang secara fisik” (Oliver-Smith, 2002: 2), dan juga tercerabut dari nilai-nilai sosial, budaya, dan ekonomi yang melekat di ruang fisik tersebut.
ADVERTISEMENT
Tetapi, dalam praktik di lapangan, relokasi tidaklah sepenuhnya sesuai ekspektasi. Salah satu fenomena yang bisa menjadi contoh adalah adanya penolakan warga dari beberapa dusun untuk direlokasi, misalnya warga Watugajah. Penolakan terhadap relokasi, selanjutnya, membukakan ruang perdebatan antara warga dan berbagai pihak. Warga berhadapan dengan berbagai institusi yang memegang otoritas kepengaturan tersebut. Namun, penolakan warga Watugajah bukan antipati terhadap otoritas pengaturan pemerintah.
Warga menunjukkan gabungan antara sikap mempertahankan diri untuk kehidupan yang lebih baik dalam pandangan mereka, sekaligus bersikap berjaga jaga atas adanya sentuhan program, bantuan, maupun kebijakan dari berbagai pihak.
Selain itu, kasus lainnya adalah penolakan oleh warga Kampung Pulo terhadap program relokasi ke rumah susun Jatinegara Barat yang dicanangkan oleh Pemprov DKI. Relokasi yang dilakukan Pemprov DKI yang bertujuan untuk memecahkan permasalahan sosial yang selama ini ada di Kampung Pulo. Namun, program relokasi ini tidak kunjung selesai sejak pertama kalinya kebijakan relokasi ini dikeluarkan pada tahun 2014 sampai dengan 2018. Dalam penolakan ini, warga Kampung Pulo sebagai aktor melakukan tindakan efektif untuk mencapai tujuan dari tindakan penolakan terhadap program relokasi ke Rusun Jatinegara Barat.
ADVERTISEMENT
Tindakan efektif yang dilakukan oleh para aktor dilakukan dengan cara bertahan di Kampung Pulo, aksi protes ke kantor Kecamatan, aksi demo, bekerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Ciliwung Merdeka sebagai aktor korporat, serta menggugat Pemprov DKI ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur.
Sebagai kesimpulan, perencanaan yang matang dalam berbagai program penataan kota merupakan hal yang sangat vital, namun dalam pelaksanaan relokasi, diperlukan beberapa pendekatan yang humanis dan berbagai pendekatan lainnya yang dapat merangkul warga sekitar demi keberlanjutan program dan kebaikan warga sekitar. Tindakan represif hanya akan menimbulkan permasalahan baru dan tidak akan menyelesaikan permasalahan esensial yaitu polemik dari program relokasi.
Referensi:
Alhakim, Taufik. (2017) Penolakan Warga Kampung Pulo Terhadap Program Relokasi Pemprov DKI. Tesis. Universitas Brawijaya
ADVERTISEMENT
Ni’am, Lubabun. (2014). Kepengaturan dan Penolakan Relokasi: Kasus Warga Watugajah Pascabencana Gunung Merapi Tahun 2011-2013. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 18, Nomor 1, Juli 2014 (1-14)