Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Di Balik Aspal: Konflik Kepentingan dalam Proyek Jalan Tol Padang-Pekanbaru
30 September 2024 9:21 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Wahdini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pembangunan infrastruktur, khususnya jalan tol, merupakan salah satu elemen kunci dalam meningkatkan konektivitas antarwilayah, mempercepat distribusi barang dan jasa, serta memacu pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia, pembangunan jalan tol di Pulau Jawa telah menunjukkan dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun, di luar Pulau Jawa, termasuk Sumatera Barat, kemajuan pembangunan jalan tol berjalan lambat. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: mengapa progres pembangunan jalan tol di Sumatera Barat lambat?
Untuk menjawab pertanyaan ini, dapat kita lihat pada pembangunan infrastruktur yang masif di era Jokowi-JK (2014-2019) tak lepas dari tantangan dalam pengadaan lahan.
ADVERTISEMENT
Sumatera Barat, khususnya Minangkabau, dikenal dengan masyarakatnya yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai adat, termasuk sistem kekerabatan matrilineal.
Tanah ulayat, sebagai warisan turun-temurun, memiliki makna yang sangat mendalam bagi masyarakat Minangkabau, baik dari segi ekonomi maupun sebagai simbol identitas kolektif dan kelangsungan budaya. Nilai budaya yang kuat terkait tanah ulayat di Sumatera Barat menjadi salah satu hambatan dalam pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, karena tanah dianggap sebagai warisan nenek moyang yang sangat berharga, proses pengambilan keputusan untuk menggunakannya harus melalui mekanisme yang rumit dan melibatkan banyak pihak.
Memperoleh hak guna lahan untuk tol menjadi persoalan krusial yang harus diatasi untuk memastikan kelancaran proyek-proyek strategis nasional. Jika suatu area dibutuhkan untuk proyek pembangunan yang bermanfaat bagi masyarakat, pemerintah akan melakukan prosedur khusus untuk mendapatkan hak atas tanah tersebut. Prosedur ini melibatkan pembelian tanah dari pemiliknya dengan memberikan ganti rugi yang sesuai dan disebut pembebasan lahan. Masyarakat seringkali dihadapkan pada dilema ketika pemerintah ingin mengambil alih tanah mereka untuk proyek pembangunan. Di satu sisi, mereka ingin mendukung pembangunan untuk kepentingan umum, namun di sisi lain, mereka juga harus mempertimbangkan kepentingan pribadi mereka.
ADVERTISEMENT
Selain persoalan tanah ulayat, lambatnya progres pembangunan jalan tol di Sumatera Barat juga bisa dijelaskan melalui analisis relasi kuasa. Dalam banyak kasus pembangunan infrastruktur di Indonesia, proses pengambilan keputusan sering kali didominasi oleh elite politik dan ekonomi, sementara kepentingan masyarakat lokal tidak selalu terakomodasi dengan baik. Hal ini juga terjadi di Sumatera Barat, di mana proyek-proyek pembangunan besar sering kali ditentukan oleh pihak luar tanpa konsultasi yang memadai dengan masyarakat lokal.
Konflik adalah pertentangan antara dua belah pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat bagi keduanya. Konflik juga diartikan sebagai persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perveived divergence of interest) atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak tercapai secara simultan. (Pruit & Rubin, 2004: 10).
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, otoritas yang melekat pada posisi adalah unsur kunci dalam analisis Dahrendorf. Otoritas secara jelas menyatakan adanya superordinasi (berkuasa) dan subordinasi (yang dikuasai). Mereka yang menduduki posisi otoritas atau kekuasaan diharapkan akan mengendalikan bawahan. Seperti otoritas, harapan ini pun melekat pada posisi, bukan pada orangnya. Hal ini menunjukkan adanya faktor “paksaan” oleh suatu kelompok atas kelompok yang lain, hubungan kekuasaan menjadi “tersahkan” atau terlegitimasi.
Fenomena konflik dalam proses pembebasan lahan untuk pembangunan merupakan masalah yang kompleks dan multidimensi. Di satu sisi, pembangunan infrastruktur sangat penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi. Namun, di sisi lain, proses pembangunan sering kali mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Kasus-kasus seperti pembangunan pabrik semen di Rembang, proyek tambang pasir di Belitung, dan pembangunan jalan tol di berbagai daerah menunjukkan bahwa konflik sosial akibat pembangunan bukanlah fenomena yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari permasalahan yang lebih luas terkait dengan ketidakadilan sosial, pengelolaan sumber daya alam yang tidak berkelanjutan, dan lemahnya penegakan hukum.
ADVERTISEMENT
Jalan tol Padang-Pekanbaru yang dirancang untuk menghubungkan Sumatera Barat dan Riau mengalami keterlambatan pembangunan akibat konflik pembebasan lahan. Proyek sepanjang 244 km ini, yang seharusnya beroperasi penuh pada 2023, namun hingga sekarang masih belum selesai.
Dapat dianalisis konflik laten adalah pertentangan kepentingan yang tidak disadari yang artinya kepentingan ini memang melekat di dalam struktur, namun akan menjadi manifes apabila kesadaran akan kepentingan itu muncul. Akibat hal itu, konflik jalan tol ini bermula dari ketidakpuasan masyarakat terhadap nilai ganti rugi yang jauh di bawah harga pasaran. Meskipun telah melalui proses hukum, masyarakat tetap menolak keputusan tersebut dan melakukan aksi protes yang dalam teori “struggle class” menurut Marx Weber yang artinya berupa upaya-upaya akan pemenuhan kepentingan yang muncul dipermukaan.
ADVERTISEMENT
Seperti yang disebutkan sebelumnya, alasan dari penolakan ini memiliki korelasi dengan teori konflik dalam Sosiologi, yaitu kenyataan bahwa meskipun proyek tol Padang-Pekanbaru bertujuan untuk meningkatkan konektivitas antar daerah, namun pelaksanaan proyek ini menghadapi tantangan signifikan akibat penolakan warga terhadap pembebasan lahan. Selain itu, berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ditemukan adanya penyimpangan dalam pengelolaan dana ganti rugi lahan proyek jalan tol yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp27 miliar. Praktik korupsi dalam proyek jalan tol telah mengikis rasa keadilan sosial. Dana ganti rugi yang seharusnya diberikan kepada masyarakat yang terdampak proyek, justru dinikmati oleh pihak-pihak yang tidak berhak. Hal ini menunjukkan adanya ketidakadilan dalam distribusi sumber daya dan memperparah kesenjangan sosial.
ADVERTISEMENT
Alasan penolakan adalah karena lahan yang akan diambil merupakan tanah pusaka yang memiliki nilai sosial dan ekonomi yang tinggi bagi masyarakat setempat. Fakta bahwa permasalahan ini merupakan perbedaan kepentingan yang amat mudah dianalisis, tanah pusaka yang telah menjadi bagian dari masyarakat sejak dahulunya adalah harta yang tidak dapat dirampas begitu saja, namun kepentingan berbeda dari sisi pemerintah memaksa akan pengambil alihan tanah untuk kebutuhan dan keberlangsungan proyek negara dan adanya main belakang di balik aspal para pemilik kuasa untuk pemenuhan kepentingannya.
Dapat dilihat dari penolakan masyarakat di beberapa nagari di Kabupaten Padang Pariaman terhadap trase awal yang dinilai merugikan. Masyarakat yang menyadari hal ini memaksa pemerintah provinsi untuk melakukan evaluasi ulang. Setelah mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk kepentingan masyarakat dan kelancaran proyek, pemerintah akhirnya memutuskan untuk mengalihkan trase jalan tol. Hal ini muncul akibat keberatannya pemilik lahan dengan nilai ganti rugi. Info yang ada menyatakan harga tanah di samping jalan raya layak dihargai paling mahal, berkisar Rp1 juta per meter persegi. Sementara itu, lahan pertanian berupa sawah dibanderol Rp700.000 per meter persegi. Makin menjorok ke dalam, bisa makin rendah, selain itu, lokasi menentukan harga.
ADVERTISEMENT
Dalam perspektif ini, pembangunan jalan tol bukan hanya soal infrastruktur, tetapi juga soal bagaimana masyarakat lokal merespons kepentingan dari penguasa atas perjuangan kepentingannya dan berinteraksi dengan proses pembangunan tersebut. Bagaimana masyarakat menegosiasikan identitas mereka, tanah mereka, kepentingan mereka, dan posisi mereka dalam konteks pembangunan yang sering kali didominasi oleh kepentingan nasional dan kapitalis?
Tentunya ini menjadi pertanyaan untuk kita bersama, kepentingan manakah yang sebenar-benarnya penting? Mereka dengan otoritas yang membangun untuk infrastruktur dengan berbagai cara agar memperoleh keuntungan maksimum atau pemilik tanah yang ingin tanahnya dihargai dengan biaya yang pantas tanpa bekas gigitan para petinggi?