Konten dari Pengguna

Dinding Kaca Bisu: Menengok Kekerasan Rumah Tangga Masyarakat Kini

Wahdini
Mahasiswa Sosiologi Universitas Andalas
17 September 2024 18:50 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wahdini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Bisikan di Balik Kaca: Jeritan Korban Kekerasan Rumah Tangga

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Konflik pencetus kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga terus berlangsung tanpa henti di Indonesia, bahkan setiap tahunnya mengalami peningkatan yang drastis. Berita terkini tentang kekerasan terhadap perempuan, khususnya di lingkungan rumah tangga, semakin banyak kita dengar. Sayangnya, tidak sedikit kasus yang berakhir tragis dengan hilangnya nyawa korban. Simfoni PPA mengungkapkan
ADVERTISEMENT
Kekerasan didefinisikan sebagai tindakan yang disengaja untuk menimbulkan cedera fisik atau kerusakan pada orang lain. Manifestasi kekerasan yang umum terjadi dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan di lingkungan sosial, salah satunya yang tengah hangat dibicarakan oleh masyarakat Indonesia saat ini adalah KDRT.
Keluarga merupakan institusi sosial yang berperan menstabilkan masyarakat melalui banyak hal dalam fungsinya pada masyarakat, termasuk sosialisasi dengan baik sehingga menghasilkan anak yang bisa diandalkan untuk kehidupan sosialnya dalam masyarakat agar kestabilan tersebut berhasil. Mata pisau lainnya menyatakan pernikahan dan keluarga sebagai lembaga sosial yang menciptakan kesenjangan dan relasi kekuasaan, acap kali pernikahan maupun keluarga tidak mewujudkan tempat berlindung yang aman, melainkan sebuah arena dimana perebutan kekuasaan serta kekerasan akibat perbedaan kepentingan sering terjadi. KDRT adalah kekerasan yang dilakukan dalam lingkup rumah tangga atau kekerasan pasangan intim (intimate partner violence). Kekerasan dalam rumah tangga biasanya kekerasan yang dilakukan oleh seseorang atau bagian dari keluarga yang umumnya berupa kekerasan fisik oleh suami kepada istrinya. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) ini sudah menjadi objek kajian dari berbagai disiplin ilmu yang tidak pernah terhenti akibat kasusnya yang tak henti pula.
ADVERTISEMENT
Kekerasan dalam rumah tangga sudah menjadi bagian dari realitas sosial di Indonesia selama bergenerasi. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 secara jelas mengategorikan KDRT sebagai segala bentuk tindakan yang menimbulkan penderitaan, baik fisik, seksual, maupun psikologis, yang terjadi dalam lingkungan rumah tangga, terutama terhadap perempuan. Pada dasarnya KDRT adalah ekspresi dari hegemoni kultural laki-laki atas perempuan. Dengan demikian, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat terjadi di mana saja, mendobrak rumah tangga keluarga yang sederhana, miskin, dan kurang pendidikan, maupun di keluarga yang kaya, berpendidikan tinggi, dan memiliki status sosial yang baik. Alasan untuk membalas dengan hal serupa bahkan tak mampu dilakukan oleh korban, sikap ini tidak terlepas dari konstruksi sosial yang menjadi biang kerok dominasi. Nyatanya, institusi sosial dimana berlaku pengendalian perempuan ada dua, yaitu keluarga dan prostitusi.
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini sedang banyak dibicarakan mengenai rekaman CCTV artis Cut Intan Nabila yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga oleh suaminya. Ia mempublikasi rekaman tersebut pada media sosial Instagram sehingga memancing berbagai respon dari netizen Indonesia. Dalam kasus ini terlihat bagaimana kekerasan bisa terungkap atau bahkan tersembunyi sangat jauh di dalam jiwa individu seperti terjadi di balik pintu tertutup nan bisu, jauh dari pandangan publik. Melihat yang terjadi pada kasus ini adalah tidak terungkap lebih cepatnya KDRT akibat dominasi yang ada dari pelaku.
Menjadi pertanyaan bersama, mengapa orang dengan kondisi keuangan yang stabilpun dapat melakukan kekerasan pada wanita pilihannya?
Menengok sebagaimana sosiologi yang memandang KDRT ini terjadi ketika pasangan gagal memahami simbol dan makna hubungan satu sama lain sehingga berisiko terjadi KDRT. Pernikahan sebagai lembaga sosial yang memiliki banyak sumber daya (pekerjaan, uang, harga diri). Sumber daya tersebut mungkin tidak terdistribusi secara merata, ketika salah satu pasangan punya sumber daya lebih dibanding yang lain, maka berpotensi terjadi kekerasan sebagai bentuk ekspresi dari emosi. Selain itu, KDRT terjadi ketika ada perubahan peran dalam keluarga, laki-laki memegang posisi instrumental di masyarakat dan perempuan mengisi peran ekspresif, jika pembagian peran ini bekerja dengan baik, maka masyarakat akan utuh dan akan berkurangnya salah satu faktor kehancuran dalam kehidupan berkeluarga.
Ilustrasi KDRT. Foto: charnsitr/Shutterstock

Bagi feminis postkolonialis

ADVERTISEMENT
Perempuan bukan sekedar menggunakan tubuhnya untuk bertahan hidup dan eksis dalam masa-masa sulit, ia juga menggunakannya sekaligus menegosiasikan “agensinya” (kemampuan manusia untuk bertindak yang kemampuan ini dimediasi secara sosiokultural) untuk membangun identitas dirinya sebagai perempuan itu sendiri” (Rahayu, 2017). Selain itu, temuan baru bahwa “Motif Armor melakukan KDRT terhadap Intan karena ketahuan menonton video porno.” membuktikan bahwa tindakan seksual antara laki-laki dan perempuan tidaklah egaliter, entah itu di lingkup relasi seksual legal di lingkup rumah tangga maupun relasi seksual ilegal atau prostitusi. Kesadaran tak dielakan bahwa pasangan harus tau kalau mereka adalah satu keluarga. Artinya, kepemilikan ataupun kepentingan yang berbeda tidak boleh jadi rebutan yang menyebabkan konflik dalam keluarga.
Dewasa ini, pemahaman ini hanya merupakan sebuah teori diatas kertas. Masyarakat amat ahli dalam melakukan deklarasi kesetaraan, perlindungan, anti marginalisasi atas perempuan ikut dikobarkan, namun masih terbelenggu kaku pada kekangan atas apa yang diyakini sebagai sebuah kodrat yang erat kaitannya dengan gender. Ketika membahas kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), secara otomatis kita setuju bahwa hingga saat ini masih terjadi masalah serius yang berulang dan menunjukkan peningkatan yang mengkhawatirkan. Kasus Cut Intan Nabila menjadi sorotan, mengungkap bahwa KDRT dapat terjadi pada siapa saja, termasuk mereka yang memiliki status sosial tinggi. Fenomena ini kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari konstruksi sosial patriarkis, ketidaksetaraan gender, hingga dinamika kekuasaan dalam hubungan yang sedari awal sudah diwacanakan kemundurannya secara struktur malah tersendat.
ADVERTISEMENT
Anggapan Si Perempuan yang membuka suara disebut bobrok norma bagi yang mereka lebih tua karena membuka aib keluarga, seakan tidak berhak untuk berekspresi atas ikhtiar yang dilakukan. Penelitian menunjukkan bahwa KDRT seringkali dipicu oleh kegagalan dalam memahami simbol dan makna hubungan, ketidaksetaraan dalam pembagian sumber daya, serta perubahan peran dalam keluarga. Kendati pandangan patriarkis yang menempatkan laki-laki sebagai sosok dominan juga turut memperkuat siklus kekerasan, penundukan telah begitu terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari sehingga kita tidak lagi menyadarinya sebagai bentuk penindasan. Tujuan akhir dari penundukan ini adalah untuk mengontrol perilaku individu dan masyarakat secara keseluruhan. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya komprehensif yang melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat, hingga individu. Pendidikan mengenai kesetaraan gender, penguatan sistem perlindungan korban, serta perubahan sikap dan norma sosial yang mendukung kekerasan harus menjadi prioritas. Selain itu, penting juga untuk memberikan dukungan psikologis kepada korban KDRT agar mereka dapat pulih dan memulai kehidupan baru.
ADVERTISEMENT