Belajar Menjadi Stoik: Jalan Ninja Hadapi Usia 20-an

Dini Fadhilah
Mahasiswi Pascasarjana Hubungan Internasional di Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
11 Desember 2021 11:39 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dini Fadhilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber gambar: https://www.pikist.com/free-photo-sedtt/id
zoom-in-whitePerbesar
Sumber gambar: https://www.pikist.com/free-photo-sedtt/id
ADVERTISEMENT
Belajar menjadi Stoik bisa menjadi jalan ninja bagi kita yang berada di usia 20-an. Saat mendengar kata filsafat, banyak orang sudah merasa takut atau ngeri duluan. Merasa ilmu filsafat tidak ada gunanya, terlalu mengawang-ngawang, hingga dicap menjadi ilmu yang bisa menghilangkan kepercayaan kita kepada agama atau bahkan Tuhan. Kan percaya Tuhan belum tentu percaya agama HEHEHE. Mungkin fenomena ini terjadi karena filsafat yang kita pelajari dan dengar selama ini memang membahas hal-hal seperti itu, dari mulai menanyakan hal dasar yang sulit dijawab seperti “Siapa kamu sebenarnya?” hingga mempertanyakan Tuhan yang pertanyaannya saja sudah membuat pusing, apalagi menyimak jawabannya.
ADVERTISEMENT
Namun, berbeda dengan filsafat Stoa ini. Filsafat yang nama lengkapnya adalah Stoikisme ini diajarkan di Kota Athena, Yunani, oleh Zeno yang pada awal ke-3 SM. Diberi nama Stoa yang berarti teras, sesuai dengan tempat diajarkannya filsafat ini. Belajar menjadi Stoik bisa menjadi jalan ninja bagi kita yang berada di usia 20-an. Saat mendengar kata filsafat, banyak orang sudah merasa takut atau ngeri bahkan sebelum mendengar penjelasan lanjutnya. Merasa ilmu filsafat tidak ada gunanya, terlalu diawang-awang hingga dicap menjadi ilmu yang bisa menghilangkan kepercayaan kita kepada agama atau bahkan Tuhan. Kan percaya Tuhan belum tentu percaya agama. Mungkin fenomena ini terjadi karena filsafat yang kita pelajari dan dengar selama ini memang membahas hal-hal seperti itu, dari mulai menanyakan hal dasar yang sulit dijawab seperti “Siapa kamu sebenarnya?” hingga mempertanyakan Tuhan yang pertanyaannya saja sudah membuat pusing, apalagi menyimak jawabannya. Namun, berbeda dengan filsafat Stoa ini. Filsafat yang nama lengkapnya adalah Stoikisme ini diajarkan di Kota Athena, Yunani, oleh Zeno yang pada awal ke-3 SM. Diberi nama Stoa yang berarti teras, sesuai dengan tempat diajarkannya filsafat ini.
ADVERTISEMENT
Aliran filsafat ini sungguh daily use friendly a.k.a dapat diterapkan di kehidupan sehari-hari, terutama kehidupan di usia 20-an yang aaaahhh…mantap! Dimulai dari masa-masa akhir studi di perkuliahan dengan segala drama tugas akhir, dosen, penelitian, dan teman-teman yang sudah share foto sidang atau bahkan wisudanya dengan bucket-bucket-nya. Atau yang sedang mengalami segala rasa tidak menyenangkan di pekerjaan, atau yang lebih tidak menyenangkan; belum mendapat pekerjaan.
Saya mengenal Stoa ini saat sedang menjalani KKN di tahun 2020 lalu melalui buku Filosofi Teras yang ditulis oleh Henry Manampiring. Membaca buku ini saat sedang KKN itu seperti membaca materi di malam hari dan diujikan langsung di esok paginya. Baru saja saya membaca kalimat ajaran Stoa bahwa sebenarnya orang yang menyebalkan itu harus dimaafkan karena dia tidak begitu paham apa yang sedang diperbuatnya, atau pun dia paham, dia mestinya harus dikasihani karena sudah membiarkan emosi negatif berlama-lama di dirinya, dan esok paginya, saya diuji langsung oleh tingkah menyebalkan seorang teman.
ADVERTISEMENT
Berkat materi Stoa yang saya baca, rasa marah sedikit terkurangi. Ajaran utama Stoa adalah bahwa banyak hal di dunia ini berada di luar kendali kita, seperti cuaca, tindakan orang lain, opini orang lain, pilihan orang lain, bahkan yang akan terjadi satu menit kemudian pun berada di luar kendali kita. Di luar banyak hal yang tidak terkendali, kita bisa mengendalikan akal pikiran kita. Karena sesungguhnya kita adalah makhluk yang rasional yang seharusnya bisa bertindak berdasarkan akal. Ajaran Stoa ini berguna saat saya sedang menyelesaikan skripsi. Banyak hal menyebalkan terjadi dan berada di luar kendali saya, seperti respons dosen hingga jurnal yang susah dicari.
Meskipun Stoa menganggap manusia sebagai makhluk rasional, namun Stoa juga tidak membantah bahwa manusia adalah makhluk yang juga memiliki emosi, tak hanya yang positif, namun juga negatif. Stoa mengajarkan bahwa saat kita merasa sedih, kita tidak perlu bersifat denial, sebaliknya, kita harus memvalidasi emosi tersebut. Saat kita merasa kecewa, sedih, marah, hingga putus asa, penting bagi kita untuk mengenali emosi tersebut, kemudian menerima, dan memisahkan mana faktor yang berada di dalam kendali kita, dan mana yang berada di luar kendali kita.
ADVERTISEMENT
Prinsip-prinsip Stoa di atas tampak mengajarkan kita berpasrah diri dan berputus asa, padahal tidak begitu. Sebaliknya, Stoa justru mengajarkan untuk terus berupaya terhadap apa-apa yang bisa kita kendalikan. Susah menemukan sumber untuk skripsi? Kita bisa mengunjungi perpustakaan dan meminta bantuan.
Merasa sakit hati karena dikatain gendut? Coba pola hidup yang lebih sehat. Bila segala usaha yang terbaik telah dilakukan, namun permasalahan juga tidak terselesaikan, maka hasil tersebut sudah berada di luar kendali kita.
Stoa juga mengajarkan untuk selalu berpikir “Ini semua akan berlalu” di setiap saat. Saat kita merasa senang, nikmati secara mindful, karena rasa senang itu akan berlalu. Mustahil kita akan selalu senang. Saat merasa sedih pun, nikmati secara mindful, karena rasa sedih itu akan berlalu. Tak hanya dengan diri kita.
ADVERTISEMENT
Stoa juga berbicara mengenai hubungan kita dengan makhluk lain. Misalnya dengan keluarga. Saat menghabiskan waktu dengan keluarga, selalu ingat bahwa momen ini akan berlalu. Dengan berpikir demikan, kita lebih bisa menikmati dan menghargai momen-momen bersama diri kita dan orang-orang yang tersayang.
Stoa memang bukan terapis yang bisa kita jadikan tempat bercerita dan mendapat penanganan yang tepat. Namun, dengan belajar menjadi Stoik (orang yang mempelajari Stoa), kita lebih bisa mengontrol emosi-emosi negatif yang mengharuskan kita ke terapis. Untuk kita yang sedang di usia 20-an, semoga tantangan di umur ini menjadi fondasi yang kuat di umur-umur berikutnya.