Gender Mainstreaming dalam Praktik Diplomasi Indonesia

Dini Fadhilah
Mahasiswi Pascasarjana Hubungan Internasional di Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
11 Desember 2021 12:22 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dini Fadhilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi. Foto: Muchlis Jr/Biro Pers Sekretariat Presiden
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi. Foto: Muchlis Jr/Biro Pers Sekretariat Presiden
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Seperti yang kita ketahui, upaya mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender adalah isu yang masih terus diperjuangkan di berbagai negara oleh banyak pihak, salah satunya Indonesia. Perwujudan keadilan dan kesetaraan gender oleh Indonesia pun dapat dilihat dari peraturan yang dibuat seperti GBHN 1999, UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2000-2004, yang juga didukung melalui Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional.
ADVERTISEMENT
Teman-teman tahu tidak apa yang dimaksud dengan pengarusutamaan gender?
Gender Mainstreaming atau Pengarusutamaan Gender sendiri dapat kita definisikan sebagai salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya dalam mempercepat terciptanya kesetaraan dan keadilan gender melalui strategi yang terwujud dalam kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki. Dalam konsep ini, peran perempuan terus didorong dalam ruang publik untuk menjadi pengambil keputusan dan pembuat kebijakan.
Namun, apakah hanya karena pengambil keputusan dan pembuat kebijakannya perempuan maka kebijakan yang dirumuskan akan ramah terhadap perempuan? Menurut saya, tidak selalu. Namun, upaya yang dilakukan oleh Retno Marsudi sebagai Menteri Luar Negeri bisa dijadikan contoh bahwa peran perempuan sebagai pembuat kebijakan sangat berpengaruh dalam pembuatan kebijakan yang ramah terhadap perempuan.
ADVERTISEMENT
Dalam hubungan internasional, diplomasi memiliki peranan yang sangat penting dalam menciptakan jalinan kerja sama dengan negara lain guna memenuhi national interest, dan juga dalam menyelesaikan konflik. Di bawah kepemimpinan Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno L.P. Marsudi yang menjabat sejak 27 Oktober 2014 lalu, peran perempuan sangat diperhatikan. Hal ini menunjukkan bahwa peran perempuan dalam pihak pengambil keputusan sangat penting karena mampu menciptakan kebijakan.
Benar bahwa posisi perempuan menjadi pihak pengambil keputusan tidak serta merta mendorong peran perempuan dalam ranah publik karena tidak semua perempuan memberi perhatian khusus mengenai perempuan lainnya. Pemikiran patriarki dan sikap misogini pun bisa dimiliki oleh siapa saja, termasuk perempuan itu sendiri. Namun, dengan posisi perempuan menjadi pihak pengambil keputusan maka akan ada kemungkinan dan kesempatan yang lebih tinggi untuk meningkatkan peran perempuan yang terwujud melalui kebijakan-kebijakan yang ramah gender.
ADVERTISEMENT
Kepemimpinan Menteri Luar Negeri Retno L.P Marsudi menjadi salah satu contoh bagaimana posisi penting perempuan dapat memengaruhi peran perempuan lainnya. Menlu Retno L.P Marsudi giat menyerukan kepada masyarakat untuk mengubah cara pandang dan mindset mereka terhadap keterlibatan perempuan, menyampaikan pentingnya untuk selalu meningkatkan kapasitas yang dapat memfasilitasi peranan perempuan dalam membangun dan menjaga perdamaian. Untuk mewujudkan hal tersebut, menjalin jaringan yang dapat menjadi wadah bagi perempuan untuk berdiskusi dan mendapatkan pengalaman penting untuk dibangun.
Di bawah kepemimpinannya, Menlu Retno L.P Marsudi mewujudkan peran perempuan dalam panggung internasional, seperti terealisasinya Resolusi 24538 pada pertemuan DK PBB yang dilaksanakan pada 14 September 2020. Indonesia kembali menggagas upaya bersama dalam peningkatan partisipasi pasukan penjaga perdamaian perempuan dengan menggagas Resolusi DK 2538 yang berhasil disahkan pada 28 Agustus 2020 oleh Dewan Keamanan PBB. Resolusi ini adalah upaya Indonesia untuk terus menyuarakan pentingnya kontribusi Indonesia dalam diplomasi perdamaian juga mendorong peran perempuan dalam menciptakan perdamaian internasional.
ADVERTISEMENT
Resolusi 2538 merupakan terobosan penting bagi Indonesia karena ini merupakan kali pertama Dewan Keamanan PBB mololoskan resolusi yang berisikan gagasan mengenai peran personal perempuan dalam menjaga perdamaian dunia. Resolusi ini memuat beberapa elemen utama seperti pentingnya peningkatan jumlah personel perempuan dalam misi perdamaian PBB, menjalin kerja sama pelatihan dan pengembangan kapasitas, membentuk jejaring dan database personel perempuan, meningkatkan keselamatan dan keamanan, menyediakan sarana dan fasilitas yag diperuntukkan khusus bagi personal perempuan, serta melakukan kerja sama antara PBB dan organisasi kawasan seperti ASEAN, Uni Eropa, dan organisasi kawasan lainnya.
Selain itu, guna mendukung komitmen Indonesia dalam melibatkan peran perempuan dalam proses penyelesaian konflik, Indonesia menggagas Rencana Aksi Nasional Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAN P3AKS) yang berisikan mengenai peran perempuan sebagai peacekeepers terbesar ke-7 dunia dan merupakan yang pertama di Asia Tenggara. Selain terlibat dalam penjagaan perdamaian, RAN P3AKS juga menjadi bukti komitmen Indonesia dalam pencegahan adanya peningkatan kekerasan berbasis gender yang kerap kali dialami perempuan. Baik di keseharian, atau bahkan di situasi konflik, perempuan dan anak memang kerap mengalami kekerasan dan tidak mendapat perlindungan yang memadai.
ADVERTISEMENT
Tentu kemampuan Indonesia dalam mewujudkan peran aktif perempuan di panggung internasional tentu tidak bisa dilepaskan dari usaha diplomasi yang telah Indonesia lakukan didukung dengan kredibilitas dan rekam jejak Indonesia terhadap komitmen politik luar negerinya.