Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Ketika Mimpi Harus Berubah Arah
22 Februari 2025 18:43 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Dini Musyahadah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Salsa adalah seorang santri di pondok pesantren yang terletak di Jawa Barat. Saat masih kelas 10, tak pernah terlintas di pikirannya ke mana ia akan melanjutkan pendidikannya setelah tamat dari pondok. Kehidupannya di pesantren membuatnya fokus menjalani kesehariannya dengan belajar agama, mendalami bahasa Arab, dan mengaji setiap hari. Hingga pada akhir kelas 11, sebuah ide berbisik dalam hatinya, mendorongnya untuk melihat dunia lebih luas lagi. Salsa mulai bermimpi untuk melanjutkan kuliahnya di luar negeri.
ADVERTISEMENT
Keinginan itu muncul ketika ia melihat ustazah dan kakak kelasnya yang kuliah di luar negeri, terutama di Timur Tengah. Mereka datang dengan berbagai kisah inspiratif, mengisahkan bagaimana belajar di negeri yang jauh telah membuka pandangan mereka akan ilmu pengetahuan.
Salah satu ustazahnya, yaitu Ustazah Erin, menempuh pendidikannya di Al-Azhar, Mesir. Ia sering bercerita bagaimana pengalamannya belajar langsung dengan para ulama besar di sana membawanya memahami ilmu agama secara lebih luas. Pengetahuan yang ia dapatkan di sana jauh lebih mendalam dibandingkan dengan yang ia kira sebelumnya. Mendengar cerita-cerita itu, Salsa mulai tergerak ingin seperti mereka—memperoleh ilmu yang lebih dalam dan mendalami bahasa Arab di negeri asalnya.
Ketika waktu kunjungan tiba, Salsa berniat menyampaikan impiannya kepada kedua orang tuanya. Saat mereka datang, Salsa merasa sangat senang. Mereka memutuskan untuk makan bersama di area kunjungan, di bawah pohon besar yang memberikan keteduhan. Sesekali, Ayah dan Umi bertukar pandang penuh kasih, memandang putri sulung mereka yang tumbuh dengan sehat dan begitu cantik.
ADVERTISEMENT
Di tengah suasana hangat itu, Salsa memberanikan diri. "Mi, Yah," katanya dengan nada yang sedikit ragu. "Kalau Kakak nanti kuliahnya di luar negeri, boleh nggak?" Umi tampak terkejut, namun berusaha tetap tenang.
"Di mana, Kak?" tanya Ayah dengan tatapan penuh rasa penasaran.
"Di Mesir, Yah," jawab Salsa sambil tersenyum. Namun, di balik senyuman itu, ia menyimpan keraguan. Benarkah ini yang ia inginkan, atau hanya angan-angannya saja?
Umi menatap Salsa dalam-dalam, alisnya saling bertaut seolah ingin memastikan apakah anaknya benar-benar siap. Ayah yang semula duduk santai, kini sedikit condong ke depan, menatap Salsa penuh perhatian.
"Emangnya nggak apa-apa, Kak, kalau kuliahnya jauh? Nanti kalau Kakak di sana kenapa-kenapa, bagaimana?" tanya Umi pelan, nada khawatir terdengar jelas.
ADVERTISEMENT
Salsa tersenyum, meski hatinya ragu. "Nggak apa-apa, Mi. Di sana ada kakak-kakak kelas, dan teman-teman Kakak juga mau ke sana. Kalau ada apa-apa, bisa saling bantu," katanya, mencoba menenangkan Umi yang tampak khawatir. Sebagai anak pertama, Salsa tahu kekhawatiran Umi sangat wajar.
Ayah diam sejenak, pandangannya mengarah ke Salsa yang terlihat begitu yakin. Akhirnya, ia mengangguk sambil tersenyum. "Ya sudah, kalau Kakak mau, Ayah dukung. Tapi ingat, Kakak harus lebih rajin belajar, ya." Ayah menepuk pundak Salsa, memberinya semangat.
Salsa tersenyum lega, matanya berbinar. "Siap, Ayah! Laksanakan!" jawabnya dengan semangat.
Beberapa hari kemudian, Salsa duduk bersama Anggi di depan masjid. Senja mulai turun, dan suara mengaji dari dalam masjid mengisi keheningan di antara mereka.
ADVERTISEMENT
"Eh, Nggi, nanti habis lulus kamu mau ke mana?" tanya Salsa, memecah suasana.
Anggi menoleh, tersenyum kecil. "Nggak tahu, Sal, masih bingung. Kamu sendiri mau ke mana?" jawab Anggi.
"Aku mau kuliah di luar negeri deh, Nggi, di Mesir," kata Salsa pelan. Ia menghela napas kecil, lalu menambahkan, "Seperti Ustazah Erin, aku pengen kayak beliau."
Anggi terdiam sejenak, lalu mengerutkan dahi dengan tatapan kaget. "Luar negeri, Sal? Serius?"
Salsa mengangguk, namun ada keraguan di matanya. "Menurut kamu aku bisa nggak ya sampai ke sana?" Kemudian, Salsa menatap Anggi penuh harap. "Ayo kita bareng-bareng, Nggi."
Anggi tersenyum hangat, senang melihat sahabatnya, meski sedikit terkejut. "Wah, mau sih, Sal, tapi aku bilang ke Ibu dulu deh ya. Siapa tahu bisa bareng kamu."
ADVERTISEMENT
Siang itu, setelah kelas berakhir, Anggi datang menghampiri Salsa yang tengah membaca buku di serambi masjid pondok. Wajahnya tampak lebih cerah dari biasanya.
"Sal!" sapa Anggi dengan senyuman lebar.
Salsa mendongak dari bukunya dan tersenyum melihat sahabatnya. "Kenapa, Nggi?"
Anggi menahan senyum kecilnya, lalu berkata, "Aku boleh kuliah di luar negeri, Sal! Ibu dan Ayahku ngizinin."
Salsa terkejut, lalu wajahnya berubah cerah. Ia menggenggam tangan Anggi. "Wah, aku seneng banget dengernya, Nggi! Nanti kita belajar bareng ya, supaya bisa berangkat sama-sama."
Mereka tertawa bersama, berbagi kebahagiaan dalam impian yang kini tumbuh semakin nyata. Salsa merasa ada semangat baru dalam dirinya. Mereka pun semakin sering belajar bersama, mempersiapkan ujian masuk universitas.
ADVERTISEMENT
Hari pengumuman kelulusan tiba. Salsa dan Anggi duduk di depan laptop mereka. Jari-jemari Salsa gemetar saat menyelesaikan ujian. Ketika waktu habis, layar langsung menampilkan hasilnya. Salsa menatapnya sejenak, detak jantungnya berdebar keras.
Anggi yang sudah melihat hasilnya lebih dulu, menoleh. “Sal, aku lulus..” katanya pelan, namun senyumnya tak sempurna.
Salsa menatap layar, tak percaya akan hasilnya. Ia merasakan seluruh harapan yang ia pegang jatuh begitu saja. Perlahan, ia menunduk, mencoba menahan kekecewaan yang mendalam.
Malam itu, air mata mengalir membawa rasa sakit dan kekecewaannya. Ia merasa bersalah kepada Ayah dan Umi yang telah mendukungnya. Namun, mereka tak membiarkan Salsa tenggelam dalam keterpurukan. Mereka terus menyemangatinya, bahkan menyarankan Salsa untuk mencoba ikut tes masuk di universitas dalam negeri juga.
ADVERTISEMENT
Sebulan kemudian, Salsa mengikuti ujian di universitas dalam negeri dan dinyatakan lulus. Meskipun sedikit lega, hatinya tetap ragu karena ia masih mendambakan untuk bisa berkuliah di luar negeri.
Setelah berpikir panjang, Salsa memutuskan untuk tidak mengambil kuliahnya yang di dalam negeri, tetapi memilih untuk mengikuti dauroh sebagai persiapan tes masuk Timur Tengah tahun depan.
Di dauroh, Salsa bertemu Akmal, teman pondoknya yang juga ingin melanjutkan kuliah di luar negeri. Namun, seiring waktu, ketakutan Salsa akan kegagalan kembali menghantuinya.
Akhirnya, Salsa memutuskan untuk tidak mengikuti tes tersebut dan memilih untuk melanjutkan kuliah di dalam negeri.
Kini, di penghujung masa perkuliahan, Salsa menatap ke luar jendela, tersenyum, dan mengingat kembali mimpinya itu. Ternyata, jalan hidupnya membawa ia ke arah yang berbeda, tapi bukan berarti ia gagal. Ia belajar bahwa impian bukan hanya tentang tujuan, tetapi tentang proses yang dijalani untuk mencapainya.
ADVERTISEMENT