Kisah Sultan Agung Mataram dan Mbah Raden Santri Versi S O Robson

Mahasiswi Ilmu al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga.
Konten dari Pengguna
5 November 2020 18:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dini Astriani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pangeran Adipati Martapura (Mbah Raden Santri), adalah Raja urutan ke-tiga Kesultanan Mataram yang memerintah hanya satu hari pada tahun 1613. Dia umumnya tidak dianggap Sultan Mataram ke-3 yang resmi karena hanya memerintah sehari sebelum digantikan oleh adiknya, Raden Mas Rangsang atau Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma. Nama aslinya adalah Raden Mas Wuryah, putra Panembahan Hadi Prabu Hanyakrawati/Mas Jolang dan istri bernama Ratu Tulungayu putri Ponorogo. Raden Santri merupakan keturunan yang ke-30 dari 10 permaesuri, beliau merupakan generasi ke-6 dari Maha Prabu Brawijaya V Raja Majapahit ke-VII.
ADVERTISEMENT
Raden Santri adalah putra Raden Mas Jolang, dilahirkan tahun 1605 di Kotagede ibu kota Kesultanan Mataram. Mas Jolang menjabat sebagai Adipati Anom dalam pemerintahan ayahnya, yaitu Panembahan Senopati. Sebagai seorang calon raja, ia pernah berjanji pada istrinya jika kelak dirinya menjadi raja, maka putra mereka yang akan dijadikan sebagai Adipati Anom. Perkawinan Mas Jolang dengan Ratu Tulungayu tidak juga dikaruniai anak. Mas Jolang memutuskan menikah lagi dengan Ratu Dyah Banowati putri Pangeran Benawa Raja Pajang. Dari perkawinan itu lahir Raden Mas Rangsang tahun 1593.
Ketika Mas Jolang sudah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati, barulah Ratu Tulungayu melahirkan Mas Wuryah tahun 1605. Di masa kecilnya Mas Wuryah sudah menampakkan perilaku yang aneh berbeda dengan anak-anak kebanyakan. Dalam kajian para peneliti Mas Wuryah sudah menunjukan kewaliannya sejak kecil, mengingat dalam perjalanan hidupnya lebih lanjut beliau terkenal sebagai seorang wali. Berbeda dengan intrik politik perebutan kekuasaan antara pendukung Mas Wuryah dan Mas Rangsang yang menyebutkan bahwa Mas Wuryah menderita tuna grahita yang dianggap tidak layak menjadi raja Mataram. Hal itu dilakukan agar tidak terjadi gejolak di masyarakat dalam transisi pergantian kekuasaaan raja Mataram dari Mas Jolang ke Mas Rangsang.
ADVERTISEMENT
Prabu Hanyokrowati meninggal dunia tahun 1613. Ia sempat berwasiat supaya tahta Mataram diserahkan kepada Mas Rangsang. Namun, karena pernah berjanji pada Ratu Tulungayu, maka Mas Wuryah harus dijadikan raja selama satu hari terlebih dahulu, sebagai sekadar pemenuhan janji. Mas Wuryah pun naik tahta Kesultanan Mataram dan memerintah hanya satu hari bergelar Adipati Martapura. Esoknya, tahta pun berpindah kepada Mas Rangsang alias Sultan Agung.
Perjalanan hidup Mas Wuryah setelah dilengserkan dari tahta kasultanan sebenarnya tidak banyak tercatat dalam sejarah. Menurut cerita tutur yang berkembang di masyarakat Gunungpring, Raden Mas Wuryah datang ke wilayah Gunungpring masih remaja, untuk nyantri. Kedatangan beliau di Gunungpring diterima oleh salah seorang Ulama’ bernama Sayyid Imron di Dusun Sabrang. Namun, oleh beliau disarankan untuk langsung nyantri di Dusun Santren dan selanjutnya menetap di Dusun Santren tersebut dan nyantri kepada beberapa Ulama’ di wilayah Gunungpring. Mengingat di Desa ini telah hadir beberapa Ulama’ di era Demak dan Pajang, seperti si Mbah Kyai Bintoro di Dusun Bintaro, Kyai Raden Panji Asmoro Pajang di Nepen, si Mbah Kyai Kertonjani di Gunungpring dan Kyai Honggowongso di Mutihan dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Menurut cerita para sesepuh Dusun Santren sebenarnya Sultan Agung sering mengunjungi Raden Mas Wuryah dan membujuk supaya kembali ke Kraton Mataram untuk memperkuat pemerintahan Mataram dan pernah diminta untuk menjadi Adipati di Pati, namun beliau menolak karena sudah mantap menjadi santri, dan memilih menghindari hiruk pikuk kemewahan dunia dan konflik politik kekuasaan di Mataram. Beliau lebih memilih kehidupan sufi yang kelak akan memashurkan nama beliau sebagai seorang Wali. Inilah awal mula beliau disebut Raden Santri.
Terkait dengan keinginan Sultan Agung untuk selalu mengajak Raden Santri kembali ke Kraton Mataram dengan cara memohon kepada Istri Raden Santri untuk merayu suaminya agar mau kembali ke Kraton atau menerima harta kerajaan yang masih menjadi haknya. Mbah Raden Santri tetap tidak mau menerima, namun beliau juga tidak ingin menyakiti hati istrinya. Ketika Sultan Agung mengirimkan harta kepada Mbah Raden Santri yang sebelumnya sudah diketahui sang istri secara diam-diam Mbah Raden Santri mengutus kepada beberapa orang untuk pura-pura menjadi perampok dengan menghadang dan merampas harta yang dibawa rombongan dari Mataram di daerah Gremeng. Selanjutnya harta tersebut boleh dipakai oleh orang-orang yang merampok, asalkan tidak sampai ke keluarga Mbah Raden Santri. Agar tidak menyakiti perasaan sang istri, karena sudah mengetahui akan dikirimi harta dari Mataram. Maka, oleh Mbah Raden disampaikan bahwa harta kiriman dari Mataram tidak sampai di rumah karena dirampok.
ADVERTISEMENT
Dalam cerita lain seperti apa yang disampaikan oleh S O Robson seorang peneliti dari University of Sidney 1965, Sultan Agung pernah menemui Raden Santri ketika beliau di kolokendang sebelah selatan Gunungpring. Raden Santri sering berpindah tempat salah satunya pernah tinggal di Kolokendang bersama seorang putrinya bernama nyai Wajah, bahkan beliau membangun masjid dan sendang (sumber mata air) sebagai tempat wudhu dan keperluan lainnya. Dalam pertemuan tersebut Sultan Agung masih meminta Raden Santri untuk kembali ke Mataram dan menjadi adipati di Pati namun beliau tetap memilih menjadi santri. Dengan terheran-heran atas sikap Raden Santri tersebut Sultan Agung berkata “Semoga keturunanku tidak ada yang bersikap nyeleneh seperti itu, cukup keturunanmu saja yang nyeleneh”.
ADVERTISEMENT
Besar kemungkinan pandangan Sultan Agung terhadap Raden Santri sebenarnya telah mengetahui bahwa Raden Santri adalah saudara beliau yang akan menurunkan trah Wali sedang Sultan Agung yang kelak akan menurunkan trah Raja. Sejarah mencatat bahwa keturunan Sultan Agung benar-benar menjadi penguasa Mataram sedang Raden Santri menurunkan Wali dan Ulama’ serta beberapa diantaranya memang memiliki perilaku aneh (khowariq) dan berbeda dengan masyarakat pada umumnya.
Mbah Raden Santri pernah tinggal di Kolokendang dan membangun masjid dan sendang Cerita selanjutnya Sultan Agung pernah menyamar sebagai rakyat biasa untuk menemui Mbah Raden Santri di Kolokendang, ketika beliau bermukim dan mendirikan Masjid didekat Sendang Manis Kolokendang. Keinginan Sultan Agung masih tetap berharap Mbah Raden Santri kembali ke Mataram, dengan masih menawarkan jabatan di Kraton Mataram. Namun, Mbah Raden Santri tetap menolak, sehingga konon karena putus asa sebab selalu ditolaknya tawaran tersebut, Sultan Agung menyampaikan sebuah “kutukan” atau nyepatani bahwa kelak Mbah Raden Santri beserta tujuh turunannya tidak akan mendapatkan jabatan kekuasaan di Mataram.
ADVERTISEMENT