Peran Anak Muda Dalam Merawat Toleransi di Indonesia

Dini Astriani
Mahasiswi Ilmu al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga.
Konten dari Pengguna
22 November 2020 9:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dini Astriani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di era revolusi industri 4.0 ini peran yang dapat diambil oleh anak muda (milenial) adalah pertama, dengan memanfaatkan gadgetnya sebagai counter narrative terhadap narasi hate-speech dan narasi intoleran yang masif di media sosial (medsos). Anak muda jangan hanya menjadi konsumen yang pasif, tetapi juga harus menjadi produsen aktif narasi damai untuk mengkonstruksi harmoni di medsos. Kegaduhan yang terjadi di medsos, pasti akan berimbas pada kondisi aktivitas sehari-hari masyarakat. Medsos sebagai bagian dari kehidupan anak muda acapkali dijadikan sebagai basis informasi dan pengetahuan tanpa adanya proses tabayyun. Anak muda harus mampu menjadikan medsos sebagai tempat kongkow, berwacana serta diskusi pengetahuan, agar ada dialog dan sharing pengetahuan sehingga memunculkan narasi yang tidak ekslusif dan mampu menelurkan manfaat kepada sesama.
ADVERTISEMENT
Kedua, anak muda harus memperbanyak kegiatan dialog secara nyata dalam komunitas lintas agama, serta juga menginisiasi komunitas-komunitas baru untuk semakin menguatkan basis penguatan intelektual dan pemahaman tentang keberagaman di akar rumput (civil society), serta memperluas jaringan komunikasi untuk mereduksi ekslusifisme di kalangan anak muda. Piknik lintas agama juga bisa menjadi peran anak muda untuk bisa digalakkan sebagai upaya menyemai toleransi dalam lingkungan masyarakat.
Dalam konteks ke-Indonesiaan, semua orang bisa menjadi dirinya sendiri tanpa ada paksaan dari siapapun, tetapi jika berbicara dalam konteks politik, maka semua harus menjadi Indonesia, inilah konsep Bhinneka Tunggal Ika. Untuk itu, anak muda sebagai pribadi yang berbeda-beda, harus bisa menguatkan tali persatuan dalam rangka merajut perdamaian di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Namun saya memiliki keresahan, melihat masih banyaknya masyarakat yang sangat reaktif terhadap identitas keagamaan, begitu juga dengan madzhab (aliran). Secara eksistensial, politik identitas sangat mengakar kuat di masyarakat, sehingga melahirkan persekusi dan intoleransi. Selain itu, tafsiran terhadap teks-teks keagamaan yang seringkali subyektif dan tekstual menimbulkan persoalan-persoalan baru dan semakin memperuncing bambu konflik perpecahan dan membuat sekat yang merugikan di tengah-tengah masyarakat yang majemuk ini.
Penulis pribadi menolak tafsir terhadap ayat-ayat agama yang cenderung subyektif dan ekslusif, yang dalam prakteknya selalu merugikan kaum minoritas, seakan-akan si penafsir, meminjam bahasa Abdullah Saeed, berbicara atas nama Tuhan, “Speaking in the God’s Name” bahwa orang selain dirinya dan kelompoknya itu kafir.
Toleransi dan perdamaian sejatinya adalah dua hal yang berkaitan, tanpa adanya sikap toleran dan rasa hormat terhadap yang lain, mustahil akan terwujudnya perdamaian. Bukankah dengan menghargai semua kalangan tanpa memandang etnis, ras, agama akan terasa lebih indah? jika kita hanya mempermasalahkan perbedaan, kita tidak akan pernah menemukan hasil yang baik, memaksakan perbedaan merupakan kesia-siaan belaka, karena memaksakan perbedaan semakin memperlebar jurang pemisah di antara kita.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kurangnya mensyukuri keberagaman adalah penyakit lama yang belum usai, padahal ukuran sikap dewasa dalam beragama adalah sikap penerimaannya terhadap perbedaan. Seringkali sudut pandang yang berbeda menimbulkan persoalan diantara kita, padahal jelas diterangkan dalam QS. Al-Hujurat ayat 13 yang artinya “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling kenal-mengenal”.
Kita patut bersyukur sebagai bangsa yang besar dengan pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa, perekat keberagaman dalam bingkai NKRI merupakan nikmat tuhan yang bisa kita rasakan. Di Timur Tengah telah banyak terjadi konflik horizontal karena mereka tidak mempunyai ideologi pemersatu, maka kedewasaan beragama dan bersosial merupakan kunci untuk kita bisa mewujudkan negara yang Baldatun Toyyibatun Warabbun Ghofur.
ADVERTISEMENT