Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Berkunjung ke Lesotho, Menikmati Sensasi Salju di Benua Afrika
21 Juli 2019 20:24 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Dinie S.M. Arief tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saat pertama kali melangkahkan kaki di Benua Afrika, tak pernah terbayangkan sedikit pun bahwa saya akan bisa merasakan dinginnya salju. Tak heran, sebab daratan Afrika dikenal dengan suhu udaranya yang panas menyengat.
ADVERTISEMENT
Namun ternyata, anggapan saya salah. Di Afrika ada salju!
Saya menemukan salju di area pegunungan pada sebuah negara enclave yang seluruh wilayahnya dikelilingi oleh Republik Afrika Selatan. Negara tersebut bernama Kerajaan Lesotho.
Antusiasme saya melonjak. Sebab, sebelumnya, saya belum pernah merasakan salju. Mungkin kalian yang baca ini penasaran juga, "Bener enggak sih ada salju di Afrika dan seperti apa?". Oke, simak kisah saya.
Kerajaan Lesotho merupakan pemerintahan monarki konstitusional dengan luas wilayah terkecil di Benua Afrika. Seluruh wilayahnya berada pada ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut.
Oleh sebab itu, Lesotho beriklim sejuk hampir sepanjang tahun (di bawah 25 derajat celsius pada musim panas dan bisa mencapai -20 derajat celsius saat musim dingin). Berbeda dengan musim dingin di utara Khatulistiwa, pada bagian selatan Khatulistiwa ini musim dingin datang pada bulan Juni-Agustus.
ADVERTISEMENT
Lantas, di mana salju itu berada? Ada di puncak Gunung Maluti, yang masih masuk wilayah Kerajaan Lesotho. Curah salju tertinggi di pegunungan Maluti dapat ditemui sekitar akhir Juni-awal Juli. Untuk itu, sebelum berkunjung ke sana, penting untuk memantau turunnya salju di pegunungan Maluti.
Masih segar dalam ingatan ketika memasuki bulan Juli, setiap hari saya memantau curah turunnya salju di pegunungan tersebut melalui laman khusus yang disediakan oleh otoritas cuaca Kerajaan Lesotho. Tujuannya agar saya dan keluarga bisa ‘bergegas’ menuju Lesotho dari Pretoria, Afrika Selatan--tempat saya menjalani tugas belajar dan mendampingi suami yang juga berprofesi sebagai diplomat.
Waktu tempuh perjalanan ke pegunungan Maluti adalah sekitar 7 jam. Namun jangan khawatir, perjalanan 7 jam tak terasa lama karena banyak pemandangan indah dan nyamannya tempat-tempat peristirahatan.
ADVERTISEMENT
Oiya, speed limit berkendara di sana adalah 120 kilometer per jam--jadi kita bisa nyetir di atas jalan aspal mulus dengan kecepatan tinggi--tapi tetap harus berhati-hati karena jalannya berliku.
Sekitar 2 jam sebelum tiba di perbatasan, saya menemui pemandangan bebatuan ala canyons yang terbentuk dari lapisan sandstones. Area tersebut merupakan bagian dari Golden Gate National Park, sebuah taman nasional di bawah kaki pegunungan Maluti yang dikelola oleh Pemerintah Afrika Selatan.
Canyons atau lembah bebatuan lazim ditemui di Afrika bagian selatan. Sebab, evolusi perubahan topografi bumi yang dahulu merupakan lintasan lava dari gunung vulkanik.
Setibanya di perbatasan antara Afrika Selatan dan Kerajaan Lesotho, saya melihat kontras perbedaan tingkat ekonomi kedua negara. Afrika Selatan dengan perekonomian yang sejahtera dan masyarakat yang berkecukupan, timpang dengan Kerajaan Lesotho yang areanya terlihat tandus dengan masyarakat yang sangat sederhana dan tradisional.
ADVERTISEMENT
Tidak heran bahwa hampir sebagian besar penduduk Kerajaan Lesotho setiap hari melakukan commute melintasi perbatasan demi mencari rezeki di tanah Afrika Selatan. Perekonomian Lesotho sebagian besar ditopang oleh sektor pertanian, peternakan, dan pertambangan dengan PDB sekitar USD 2,7 miliar (2018). Berpenduduk sekitar 2 juta orang, penduduk di sana dinamai masyarakat Besotho.
Setelah memasuki wilayah perbatasan Kerajaan Lesotho, saya agak ragu, “Beneran nih ada salju di sini..?” karena sama sekali tidak terlihat adanya tanda-tanda gunung bersalju--walau udara sudah terasa sangat sejuk. Puncak Gunung Maluti tempat salju turun rupanya tertutup bukit-bukit di kaki pegunungan.
Saya dan keluarga memantapkan arah menuju puncak Gunung Maluti yang memiliki satu-satunya resor ski di Kerajaan Lesotho, Afriski (salah satu dari dua resor ski di Benua Afrika). Resor ini berada pada ketinggian 3050 meter di atas permukaan laut.
ADVERTISEMENT
Perjalanan berliku menanjaki pegunungan melewati rumah-rumah penduduk yang tinggal di sana membuat saya kagum. Bukan cuma soal pemandangannya, kami juga kagum melihat masyarakat yang tinggal di sana.
Dengan cuaca yang bisa drop hingga di bawah 0 derajat celsius, tempat tinggal dan pakaian mereka sangat sederhana. Pakaian khas Besotho berupa kain diikat dan badan dibalut selimut dari wol.
Mereka juga biasanya mengenakan topi khas Lesotho, yang terbuat dari rajutan rumput dan menyerupai tumpeng dengan ornamen mahkota di atasnya. Namanya topi Mokorotlo.
Menanjaki pegunungan Maluti tidak terlalu curam dan dapat ditempuh menggunakan kendaraan sedan (tidak perlu kendaraan 4x4). Namun, perlu berhati-hati ketika melewati air terjun yang airnya mengenai jalan dan langsung beku, sehingga menyebabkan jalan licin karena black ice.
ADVERTISEMENT
Berhubung perjalanan ke sana mendadak karena ingin menikmati salju yang optimal, kami sekeluarga menginap di sebuah lodge bernama The New Oxbow Lodge--satu-satunya alternatif akomodasi terdekat dari lokasi resor salju yang kami tuju. Di sana, kami sudah bisa menikmati salju, walau masih sangat tipis. Ketika tiba di sana, saya sudah senang sekali--akhirnya bisa merasakan dan bermain salju pertama saya di Afrika!
Penginapan dengan konstruksi sederhana itu penuh pengunjung, karena memang saat itu sedang peak season bagi para pemburu salju.
Uniknya, penginapan yang merupakan usaha keluarga turun temurun ini tidak memiliki alat pemanas ruangan yang terintegrasi. Alhasil, kami sekeluarga harus berkumpul dekat pemanas elektrik untuk mencari kehangatan.
Waktu itu kami juga membawa putra pertama kami yang baru berusia 1,5 tahun. Kebayang 'kan gimana ‘seru’-nya? Agar tetap hangat terutama saat malam hari, kami terpaksa mengenakan pakaian berlapis. Meski demikian, pengalaman menginap di sana sangat berkesan.
ADVERTISEMENT
Saat bercengkerama dengan tamu lainnya, saya cukup terkejut karena mereka berasal dari berbagai penjuru dunia--ada yang berasal dari Inggris, Belanda, Swedia, dan China. Alasan mereka mengunjungi Afriski adalah untuk menikmati salju di Afrika karena dinilai sebagai pengalaman yang unik.
Keesokan harinya, kami menuju Afriski yang berjarak sekitar 6 kilometer dari lodge tempat kami menginap. Afriski merupakan sebuah resor yang dikelola oleh pengembang swasta dan memiliki penginapan tapi hanya dapat mengakomodasi sekitar 250 pengunjung. Kami beruntung karena curah salju sedang tinggi, sehingga salju di resor cukup tebal.
Memasuki area resor, langsung terasa seperti bukan di Afrika. Fasilitas yang tersedia lengkap untuk berbagai kegiatan skiing, snowboarding, dan tubing. Resor juga dilengkapi dengan tiga slopes dan dua ski lifts untuk menunjang semua tingkat keahlian dalam olahraga tersebut.
Bagi pemula, juga disediakan fasilitas ski school dan penyewaan peralatan. Harga sewa peralatan berikut one-day ski pass berkisar USD 50-100 per orang. Bagi yang hanya ingin bermain salju saja (seperti saya karena mendampingi balita), menikmati salju di Afriski bebas biaya.
Saya tidak menyangka Benua Afrika menjadi pengalaman pertama saya untuk merasakan salju. Kekayaan alam Afrika yang beragam dan unik tidak banyak dikenal masyarakat dunia. Pengalaman ini sungguh mengubah persepsi saya terhadap benua Afrika dengan berbagai potensi yang dimilikinya.
ADVERTISEMENT
Tidak heran, saat ini Pemerintah Indonesia sedang gencar meningkatkan kerja sama dengan berbagai negara di benua Afrika pada sektor infrastruktur, perdagangan, investasi, pariwisata, dan pendidikan. Tahun lalu, untuk pertama kalinya Pemerintah Indonesia menyelenggarakan Indonesia-Africa Forum (IAF) yang dihadiri oleh 47 negara dari benua Afrika.
Forum ini mendorong sebuah transformasi kerja sama politik menjadi kerja sama ekonomi strategis antara Indonesia dengan negara-negara di Benua Afrika yang terbangun sejak Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955. Untuk menindaklanjuti Forum tersebut, tahun ini Indonesia akan host Indonesia-Africa Infrastructure Dialogue (IAID) pada 20-21 Agustus 2019 di Bali.
Saya ikut bangga atas upaya Pemerintah Indonesia untuk mendorong peningkatan hubungan kerja sama tersebut.
Maju dan sejahtera terus Indonesia-Afrika!
ADVERTISEMENT
#Sesdilu64 #IndonesiaAfrica #IAIDBali2019