Kanker Ganas Politik Uang dan Sistem Proporsional Tertutup

Sururudin
Lawyer Din Law Group. Alumnus jurusan Ilmu Hukum Universitas Indonesia dan Pantheon Assas Universite.
Konten dari Pengguna
24 Maret 2023 7:20 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sururudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Petugas Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) kota Banda Aceh mengkampanyekan anti politik uang. Foto: ANTARA FOTO/Irwansyah Putra
zoom-in-whitePerbesar
Petugas Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) kota Banda Aceh mengkampanyekan anti politik uang. Foto: ANTARA FOTO/Irwansyah Putra
ADVERTISEMENT
Polemik tentang sistem proporsional tertutup, yang kini tengah diuji di Mahkamah Konstitusi berdasarkan gugatan klien saya, bergulir semakin dinamis. Selain soal menentukan sistem mana yang lebih demokratis dibanding yang lain—apakah sistem proporsional terbuka atau tertutup—polemik juga menyinggung soal pencegahan praktik politik uang.
ADVERTISEMENT
Urusan terakhir ini memang masih menjadi "kanker ganas" dalam praktik politik Indonesia, bahkan jauh sebelum reformasi mengantarkan kita ke pintu demokratisasi. Sejauh pantauan saya, terdapat dua suara keprihatinan yang menghubungkan sistem proporsional tertutup dengan politik uang.
Yang pertama datang dari Indonesian Corruption Watch (ICW). Dalam pernyataan publiknya, LSM pemantau korupsi terbaik di Indonesia ini menyebut sistem proporsional tertutup hanya memindahkan arus politik uang. Jika sebelumnya politik uang berlangsung dari politisi ke masyarakat, sistem proporsional tertutup mengganti arusnya menjadi dari politisi ke partai politik.
Yang kedua datang dari Asisten Ombudsman RI, Syafiqurrohman. Dalam artikelnya di kumparan, ia berangkat dari argumen yang sama dengan ICW, tetapi dengan tambahan yang cukup dramatis: Implikasinya adalah terjadinya otoritarianisme dalam bernegara dan matinya semangat demokrasi.
ADVERTISEMENT
Dua kekhawatiran di atas, jika kita kembali mengingat soal "kanker ganas" politik uang, memang tampak beralasan. Meski demikian, keduanya masih bersifat spekulatif. Jika merujuk pada temuan empiris, kita akan memperoleh fakta sebaliknya.

Klientisme Politisi

Warga melihat mural bertema Pemilu 2019 di Stadion Kridosono, DI Yogyakarta. Foto: ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah
Politik uang sebagai "kanker" bagi demokrasi kian mengganas ketika terjadi klientisme dari individu berpengaruh yang merasa mampu untuk maju sebagai politisi. Aspinall dan Berenschot (2019) menyebut kondisi ini sebagai pertukaran yang kontingen.
Ia bersifat kontingen karena relasi pertukarannya bisa berubah dengan cepat, tergantung pada sejauh mana politisi memberikan tawaran yang menguntungkan baik bagi calon pemodal maupun calon pemilihnya. Relasi pertukaran ini membuat calon pemodal, yakni para oligarki yang terlibat dalam politik untuk mengamankan kekayaan pribadi, bisa leluasa memilih politisi mana yang proposalnya lebih rasional secara ekonomis.
ADVERTISEMENT
Mereka inilah yang memasok modal supaya para politisi bisa berkampanye dan membeli suara calon pemilih. Selain urusan uang, para politisi memanfaatkan sentimen agama, kesukuan, atau kekerabatan untuk bisa meyakinkan calon pemilihnya.
Calon pemilih juga punya rasionalitas ekonominya sendiri, yakni hanya memberikan dukungan kepada politisi yang bisa memberi manfaat terbanyak, tersebar, dan terlama. Tak ada lagi keterikatan ideologis dan kesadaran demokratis di benak para pemilih dalam fase ini.
Dalam penelitian Aspinall dan Berenschot, kondisi ini terjadi secara merata di semua partai dan semua daerah di Indonesia, dan semakin meningkat semenjak sistem proporsional terbuka memungkinkan individu mengampanyekan dirinya sendiri, alih-alih partai tempatnya bernaung.

Bukti Kuantitatif

Pudarnya kesadaran ideologis para pemilih akibat klientisme ini juga berpengaruh pada kualitas pemilu. Jika pada pemilu 1999 terdapat 86 persen pemilih yang menyatakan dirinya dekat dengan partai politik tertentu, angka itu turun drastis menjadi hanya 10 persen di pemilu 2019.
ADVERTISEMENT
Burhanuddin Muhtadi (2019) membuktikan bahwa praktik membeli suara lewat mekanisme non-formal seperti "serangan fajar" menjadi faktor penting yang menjauhkan masyarakat dari partai.
Varieties of Democracy Institute, dataset yang dimiliki salah satu lembaga kredibel yang memantau demokrasi dunia, memberi bukti kuantitatif lebih jauh tentang penurunan kualitas pemilu di Indonesia. Dalam mengukur Indeks Pemilu Bersih, mereka memancang angka dari 0 hingga 1, di mana 0 berarti sangat kotor dan 1 berarti sangat bersih.
Ketika menggali data tentang Indonesia, kita ditunjukkan data penurunan yang mencengangkan. Peningkatan drastis pernah terjadi di Indonesia, dari rata-rata 0,1 di tahun 1988-1998 ke rata-rata 0,8 di tahun 1999-2009. Kedua periode di atas merujuk pada akhir Orde Baru dan awal transisi demokrasi di masa Reformasi.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, di periode selanjutnya, yakni dari 2009 ke 2019, grafiknya justru turun meski tak pernah lebih rendah dari 0,6. Itulah masa di mana sistem proporsional terbuka berlangsung dalam tiga pemilu, yang justru menghasilkan klientisme.

Perkuat Pemantauan

Keprihatinan ICW dan Syafiqurrohman atas sistem proporsional tertutup yang menghasilkan politik uang, meski beralasan, tapi masih bersifat spekulatif. Berdasarkan riset-riset di atas, sistem proporsional terbuka justru lebih membuka jalan bagi praktik politik uang, bahkan menurunkan kualitas pemilu dengan dampak lebih luas lagi.
Jadi, untuk mencegah politik uang, yang diperlukan adalah penguatan pemantauan korupsi oleh media massa, masyarakat sipil (seperti peran ICW), dan lembaga independen negara (seperti Ombudsman) terhadap sirkulasi uang dan produksi kebijakan publik yang rentan dibajak oligarki.
ADVERTISEMENT
Dengan sistem proporsional tertutup, pintu bagi klientisme antara para politisi dan oligarki maupun calon pemilih bisa ditutup meski tak rapat, sehingga "kanker ganas" politik uang bisa lebih "dijinakkan". Pemantauan yang kuat dari semua pihak semoga bisa menutup pintu itu lebih rapat lagi, dan membuat 'kanker jinak' itu menjalar lebih terbatas: transaksi pemodal dan partai.
Jika pemantauan terus menguat dan kedekatan pemilih dengan partai politik perlahan-lahan tumbuh, kita bisa mencungkil "kanker jinak" itu hingga musnah dan menyehatkan demokrasi kita.