Jokowi, HAM, dan Pemberantasan

Dion Pardede
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Konten dari Pengguna
1 September 2020 10:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dion Pardede tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Penyelesaian kasusokoei HAM masa lalu serta pemberantasan korupsi rasanya tidak akan pernah hilang dari ruang publik sejalan dengan fakta terbengkalainya beberapa kasus besar. Namun, akan lainlah jika fakta tersebut diperlihatkan kepada para politisi. Fakta-fakta tersebut hanya akan dipergunakan dalam kontestasi, dengan tujuan menarik suara dengan menjatuhkan lawan.
ADVERTISEMENT
Ambil contoh yang umum saja, pelanggaran HAM berat masa lalu selalu jadi gorengan favorit para politisi yang sedang sikut sikutan. Selesai masa kampanye, ya sudah lupakan.
Hal ini pulalah yang sejak Jokowi dilantik di periode ke-duanya mulai tampak. Di mulut dan saya yakin di kepala Jokowi, hal yang ingin diprioritaskannya adalah agenda ekonomi, infrastruktur, dan segala macamnya.
Dalam pidato kemenangannya tahun lalu, Jokowi sama sekali tidak menyinggung penyelesaian kasus HAM dan perbaikannya ke depan serta agenda anti korupsi. Bahkan dalam wawancara dengan BBC 2019 lalu, beliau mengisyaratkan bahwa memang kedua hal tersebut bukan prioritasnya.
Reaksi publik terkhusus pendukung dan pemilih beliau tentu kecewa, namun saya yakin tidak kaget. Karena seharusnya banyak orang yang sudah menduga bahwa yang namanya politisi butuh insentif elektoral buat mendapat atau mempertahankan kekuasaan, termasuk Joko Widodo.
ADVERTISEMENT
Kita bisa lihat manuver cantik beliau di musim kampanye dengan sindir-sindir manis baik melalui pidato maupun dalam sesi debat melawan Pak Prabowo. Beban pelanggar HAM di pundak beliau kala itu – pilpres 2014 dan 2019 – jadi advantage bagi kubu Jokowi dalam memboyong sebanyak-banyaknya insentif elektoral dari segmen pemilih peduli HAM.
Walaupun cukup banyak aktivis HAM yang tegas menyatakan bahwa Jokowi tidak punya hasrat yang genuine untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, tetap saja posisi Prabowo tersebut memberi insentif elektoral yang cukup signifikan bagi Jokowi. Ditambah posisi Gerindra sebagai pemuncak klasemen parpol dengan caleg mantan napi koruptor terbanyak. Semakin ‘begah’ kubu Jokowi akan insentif elektoral.
Arah penyelesaian kasus HAM masa lalu
ADVERTISEMENT
Jokowi sebagaimana diatur dalam Undang-undang tidak akan maju lagi di tahun 2024 sehingga dia tidak punya beban lagi untuk bermanuver dengan tujuan terpilih kembali. Manuver yang dimaksud kira-kira serupa menelepon Suciwati Munir pada masa kampanye 2014.
Memang menggiurkan sekali isu HAM bagi tingkat keterpilihan. Itu 2014, ketika dirinya masih harap-harap cemas bakal duduk atau tidak di Jalan Medan Merdeka Utara. Sekarang? Ya mau apa lagi? Toh dia tidak akan maju lagi di 2024. Mungkin beban yang dimaksud beliau tidak dipikul lagi adalah beban penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, atau juga beban pemberantasan korupsi.
Padahal dalam soal penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, rakyat sudah sangat lama menunggu dan memegang harapan yang hingga kini tak luntur-luntur. Hal ini tampak benderang dalam hasil survei Komnas HAM dan Litbang Kompas pada Oktober-September 2019 yang melibatkan 1.200 responden di 34 provinsi di Indonesia, salah satu hasilnya menunjukan lebih dari 90 persen responden menginginkan pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat melalui mekanisme pengadilan.
ADVERTISEMENT
Ini menunjukkan harapan kolektif sebuah bangsa/rakyat. Adalah sebuah keniscayaan untuk seorang presiden yang bisa duduk di istana berkat suara rakyat untuk mewujudkannya.
Harapan ini sempat ‘hampir’ menemui titik terang ketika Jokowi-JK memasukkan agenda penyelesaian pelanggaran HAM ke dalam nawacita-nya 2014-2019 lalu. Namun, toh tak ada langkah signifikan dalam kurun waktu tersebut. Malah di periode ke-dua, agenda penyelesaian kasus HAM tidak dimasukkan dalam 5 (lima) visi Jokowi-Ma’ruf 2024.
Tentu harus diakui banyak sekali ‘ganjalan politis’ yang menghambat realisasi janji yang satu ini. Salah satu ‘kerikil-nya’ adalah duduknya para terduga pelanggar HAM berat masa lalu di lingkaran kekuasaan. Hal ini (kalau kita mau berpikir positif), bisa jadi ganjalan paling besar bagi beliau.
ADVERTISEMENT
Sebut saja Prabowo Subianto dan Wiranto (terduga otak penculikan ’98) sampai Muchdi Pr, politisi Partai Berkarya yang di Pilpres kemarin mendukung Jokowi (terduga otak pembunuhan Munir). Atau anda juga bisa memasukkan ST Burhanuddin (Jaksa Agung). Memang, tidak ada yang menduga beliau sebagai otak sebuah peristiwa pelanggaran HAM berat, tetapi menyebut peristiwa semanggi bukan pelanggaran HAM berat, adalah sebuah kejahatan!
Terlepas dari hambatan-hambatan tersebut di atas, Jokowi paling tidak harus memenuhi hak-hak para keluarga korban menurut hemat saya. Ini bisa dilakukan melaui mekanisme Keputusan Presiden (Keppres). Itupun kalau memang menurut beliau sangat tidak mungkin untuk menyelesaikannya dalam waktu dekat.
Karena sebenarnya Presiden bisa menggunakan mekanisme Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) yang mana bisa dimanfaatkan untuk memperluas kewenangan Komnas HAM yakni memberikan wewenang penyidikan. Selama ini wewenang penangkapan, penahanan, dan penyidikan berada di tangan Jaksa Agung, sedangkan Komnas HAM hanya berwenang di ranah penyelidikan sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
ADVERTISEMENT
Nyatanya, hasil penyelidikan Komnas HAM sampai sekarang tidak pernah ditindaklanjuti Jaksa Agung. Langkah pengeluaran Perppu boleh jadi dianggap pragmatis oleh beberapa pembaca.
Namun setidaknya kalau dibilang naif, langkah ini tidak lebih naif dari pada mengharap pemerintah meratifikasi Statuta Roma, yang mana pada akhirnya akan menyeret dan memintai para pelaku pelanggar HAM pertanggungjawaban di International Criminal Court (ICC). Utopis nan romantis sekali angan-angan itu.
Korupsi sebagai oli pembangunan
Kalau boleh menerawang, Pak Jokowi masih percaya bahwa korupsi adalah ‘oli pembangunan’.
Asumsi ini didasari data dari Morgan Stanley yang dimuat oleh Financial Times, yang menunjukkan bahwa sejak tahun 50-an, hanya 41 negara yang pertumbuhan ekonominya secara konsisten berada di angka 7% ke atas. Dan 81% adalah negara yang otoriter. Imbasnya, argumen – argumen para aktivis anti korupsi bahwa agenda anti korupsi sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dapat dibantah dengan mudah.
ADVERTISEMENT
Tentu tugas para aktivis ini menjadi semakin berat jika seandainya Pak Jokowi membaca data tersebut, dan saya yakin dia membacanya, atau minimal mendengar.
Para aktivis bisa berbusa-busa meneriakkan jargon-jargon anti korupsi, namun data di atas pastinya lebih mudah tertanam dan diterima oleh Pak Jokowi mengingat betapa beliau begitu mempriotitaskan pertumbuhan ekonomi di tahun-tahun terakhirnya ini.
Mungkin yang perlu dilakukan para aktivis saat ini adalah coba mencabut pandangan Jokowi akan ‘oli pembangunan’ di atas dan menggantinya dengan pembuktian konkret bahwa agenda anti korupsi dapat menunjang pertumbuhan ekonomi.
Tidak diprioritaskannya agenda anti korupsi dan HAM selain dipengaruhi hal-hal di atas, tampaknya Pak Jokowi juga ingin meninggalkan ‘monumen’ sebelum dia benar-benar meninggalkan istana. Monumen atau kenang-kenangan dapat berwujud jalan tol, kenaikan pertumbuhan ekonomi, atau wali kota Solo.
ADVERTISEMENT
Bukankah dengan menegakkan HAM dan memberantas korupsi, Jokowi tetap bisa membangun monumen? Tentu bisa. Namun isu ekonomi dan investasi lebih gampang ‘gol’, karena di parlemen pasti banyak yang cinta akan isu ini. Dan jika dibandingkan dengan penegakan HAM dan pemberantasan korupsi, tentu perihal ekonomi lebih memuat banyak kepentingan.
Terlepas hal tersebut, kenaikan pertumbuhan ekonomi rasanya punya tempat tersendiri di hati Pak Jokowi. Maklum, target beliau di 2014 tidak tanggung-tanggung, pertumbuhan ekonomi ditargetkan 7% dalam 5 tahun pertamanya. Dan ternyata tidak tercapai.
Saya bukan ingin mengatakan perekonomian di era Jokowi jelek. Yang perlu disoroti adalah pengaruh janji yang membebani dalam pengaturan skala prioritas beliau di periode ke-2 nya ini. Saya ragu beliau benar-benar dapat menutup kuping saat banyak orang merundung atas tidak tercapainya target beliau. Hal ini yang membuat beliau selalu berusaha menarik investor-investor asing ke Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tidak salah memang jika Jokowi sangat bergairah menggenjot perekonomian. Dan tidak salah pula beliau menyisipkan janji penyelesaian kasus HAM maupun pemberantasan korupsi demi mengamankan kursi. Memang begitulah kontestasi berjalan.
Namun, kita tidak perlu larut dalam kekecewaan saat ini. Kita perlu berjibaku untuk mempengaruhi Pak Jokowi dan jajarannya, juga wakil-wakil kita di Senayan.
KPK sudah lemah, tidak usah bohong. Maka sekarang kerjakan apa saja untuk membuktikan bagaimana korupsi dan lemahnya pemberantasannya cepat atau lambat akan menggerogoti banyak aspek. Terus lantangkan pula penyelesaian kasus HAM masa lalu untuk membuktikan bahwa investor akan menghindari investasi jangka panjang di negara yang punya banyak masalah hukum yang melahirkan ketidakstabilan politik.
Kita harus bergerak bersama, menghapus korupsi, melawan impunitas. Perlu pulalah memberi kritik dan saran yang membangun, yang murni berkepentingan bangsa. Kita sebagai warga negara haruslah mendukung kinerja presiden yang kita pilih, dengan senantiasa mengawasinya.
ADVERTISEMENT