Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Resensi Buku: Pendidikan Hukum di Indonesia Pascakolonial
30 September 2021 11:02 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Dios Lumban Gaol tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Data Buku:
Judul: Perkembangan Hukum Nasional dan Pendidikan Hukum di Indonesia Pada Era Pascakolonial
ADVERTISEMENT
Penulis: Soetandyo Wignjosoebroto
Penerbit: HuMa
Tebal Buku: ii + 14 halaman
Tahun Terbit: 2017
ISBN: 978-623-208-380-6
Satu waktu, seorang ayah, pengangguran, korban PHK, pergi ke sebuah Swalayan untuk mencuri beras. Setelahnya ia berlari ke rumah mengantarkan beras untuk isteri, dan anaknya yang sedang kelaparan. Tak sangka, sesampainya ayah di rumah, juga dibersamai dengan sampainya Polisi. Lalu Polisi mengambil beras dari tangan isteri, dan menangkap si ayah. Si ayah diproses hukum sebab melakukan pencurian yang merupakan suatu kejahatan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Ayah dijatuhkan hukum 10 bulan kurungan penjara, isteri dan anak tetap lapar di rumah. Apa daya, Polisi melakukan tugasnya. Bukankah hukum itu harus ditegakkan walaupun langit akan runtuh? Lagi pula, bukankah ada perintah bahwa Allah ‘Janganlah kamu mencuri’. Begitu Soetandyo memberi gambaran cerita bahwa “gersangnya” hukum di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Bagi kebanyakan yuris di Indonesia, Peraturan Perundangan-undangan sudah seperti kitab suci, teks di dalamnnya tak boleh ditentang, bahkan demi mencapai keadilan itu sendiri. Seperti ada ancaman dosa bila menentangnya. Tak heran bila ayah dalam cerita di atas dihukum, tidak ada pertimbangan pengecualiaan baginya. Hal ini yang menyebabkan “kegersangan” hukum di Indonesia. Banyaknya yuris yang beraliran positivisme, menganggap hukum sebagai ilmu yang berdiri sendiri, dan menjauhkan sosilogi, antropologi, politik dan ilmu sosial lainnya dari kajiannya. Bagi Eko Prasetyo, hal ini merupakan alasan betapa brengseknya pendidikan hukum di Indonesia.
Dalam buku yang ditulis Soentandyo, lahirnya problem di atas bisa dilihat dari sejarah pendidikan hukum di Indonesia. Harus diakui bahwa pendidikan hukum tidak pernah dikenal dalam tatanan sistem hukum penduduk asli di Nusantara. Pendidikan hukum merupakan suatu invensi peradaban Eropa Barat. Kemudian Pemerintah Hindia Belanda yang mengintroduksi pendidikan hukum sebagai pendidikan profesi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Perkembangan pendidikan hukum awal kemerdekaan merupakan lanjutan dari sistem hukum yang ditinggalkan Pemerintah Hindia Belanda, walaupun ada usaha dari para yuris menyesuaikan dan memodifikasi sistem hukum sedemikian rupa agar corak-corak nasional dapat ditegaskan, namun tetaplah kerangkanya masih bercorak barat.
Pemerintahan Kolonial Belanda awalnya memperkenalkan pendidikan hukum di Indonesia melalui sekolah tinggi ilmu hukum Rechthogeschool, karena adanya kebutuhan untuk mengisi lowongan birokrat hukum oleh para penduduk pribumi. Para lulusan diharapkan dapat menjadi hakim landraad atau sebagai petugas-petugas hukum di kantor-kantor pemerintah dalam negeri. Di sekolah tinggi ini, mata kuliah diberikan dengan tujuan agar mahasiswa menguasai sejumlah kaidah hukum, utamannya yang tertuang sebagai hukum perundang-undangan – yang harus dipahami menurut tradisi reine Rechtslehre Kelsenian, yang memodelkan hukum sebagai suatu sistem normatif yang tertutup, yang dalam penggunaanya harus dipandang tak ada hubungannya yang logis dengan kenyataan-kenyataan empirik yang dialami orang di lapangan. Nyata bahwa program pendidikan hukum masa itu, amat menonjolkan pula kamahiran berlogika deduksi sebagai satu-satunya cara berpikir yuridis.
ADVERTISEMENT
Kenyataan di atas berdampak pada lahirnya yuris-yuris yang beraliran positivistik. Hal ini sangat mengganggu Soekarno pada saat itu. Soekarno menganggap bahwa hukum harus dapat menjadi alat revolusi yang mengikuti atau menyesuaikan kondisi politik. Dalam pidato Soekarno di kongres Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia, Soekarno mengungkapkan keprihatinannya berkenaan dengan sebuah kenyataan bahwa yuris-yuris Indonesia amat kurang berkepekaan dan kurang tanggap pada perubahan-perubahan yang terjadi, sebab para yuris dalam menyelesaikan masalah cenderung hanya memakai perspektif serba yuridis dan doktrinal saja. Padahal saat itu permasalahan hukum perlu dikaji dengan mempertimbangkan implikasi ideologi dan permasalahan sosial-politik.
Hal serupa juga terjadi di Amerika Serikat, saat itu para yuris merasakan hukum yang sangat formalistik, dalam mengkaji invansi yang dilakukan Amerika maupun liberalisme yang berkembang. Atas permasalahan itu, para yuris di Amerika berkumpul, dan melahirkan sebuah aliran (manifesto) Critical Legal Studies pada tahun 1970an. Aliran ini dikembangkan oleh M. Unger, dkk, dengan inti pikiran membongkar berbagai kontradiksi dari anggapan tentang terpisahnya hukum dari moral dan politik.
ADVERTISEMENT
Aliran hukum positivistik—formalistik—legalistik, atau apa pun sebutannya, memang menjadi andalan banyak negara dalam sistem hukumnya. Bahkan Soetandyo mengatakan di negeri seperti Indonesia sudah jelas aliran tersebut lebih dikenal daripada sociological jurisprudence Pound atau the legal realism Holmes, yang lebih menekankan perhatian sosial-politik dalam hukum.
Pendidikan hukum di Indonesia yang sejak awal disusun untuk menyiapkan pejabat pemerintah, menghasilkan lulusan bertipe yuris-birokrat, yang sulit beradatasi pada lingkungan sosio-politik. Pada tahun 1950-an, fakultas hukum UI dan UGM yang diharapkan mampu memberi terobosan, pun turut meniru kurikulum pendidikan hukum sebelumnya. Saat ini, walaupun telah banyak perubahan kurikulum, aliran positivistik masih menjadi prima dalam pendidikan hukum di Indonesia.
Dalam buku ini, Soetandyo sangat cemerlang memetakan aktor yuris-birokrat yang menjabat saat masa Soekarno dan Soeharto, yang mempengaruhi arah hukum Indonesia melalui badan peradilan maupun lembaga konsorsium ilmu hukum. Sayangnya buku ini sangat tipis, dan singkat dalam memberikan penjelasan terkait dinamika arah pendidikan hukum di Indonesia melalui para aktor tersebut.
ADVERTISEMENT