Samar-samar Aturan Cuti Melahirkan 6 Bulan di RUU KIA

Konten dari Pengguna
12 Januari 2023 20:54 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dios Lumban Gaol tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Ibu Bekerja dengan Anak Perempuannya.
 Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Ibu Bekerja dengan Anak Perempuannya. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beberapa hari terakhir, diskursus publik mengarah pada perdebatan Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA), yang kemudian disepakati sebagai RUU usul DPR RI pada Kamis (30/6/2022). RUU KIA menjadi perdebatan, sebab ada beberapa ketentuan ketenagakerjaan yang diatur oleh RUU KIA, yang bila disahkan akan memperberat beban pengusaha/perusahaan, juga dianggap akan merugikan tenaga kerja perempuan yang akan makin sulit bersaing dengan laki-laki.
ADVERTISEMENT
Aspek ketenagakerjaan dalam RUU KIA antara lain: cuti melahirkan untuk ibu, cuti pendampingan melahirkan bagi suami, cuti keguguran, cuti untuk kebaikan anak, upah untuk ibu yang cuti melahirkan, pendampingan hukum oleh pemerintah. Dalam tulisan ini akan dibahas lebih jauh mengenai cuti melahirkan untuk ibu serta pemenuhan hak berupa upah, yang menjadi perdebatan di publik.

Dasar RUU KIA

Dalam konsiderans RUU KIA, ditekankan bahwa pembentukan peraturan ini bertujuan untuk memenuhi hak konstitusional warga terkhusus ibu dan anak dalam menikmati kesejahteraan termasuk kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang anak. Kemudian dilanjutkan dengan pertimbangan bahwa ibu dan anak tergolong kelompok yang rentan yang ditunjukkan dengan masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dan anak yang disebabkan kurang terjaminnya penyelenggaraan kesejahteraan ibu dan anak yang dimulai sejak Ibu memasuki masa persiapan sebelum kehamilan, masa kehamilan, saat melahirkan dan pasca melahirkan sampai dengan anak mencapai usia tertentu.
ADVERTISEMENT
Mengutip data Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS), AKI tahun 2015 tercatat sebesar 305 per 100.000 kelahiran hidup. Kemudian data pada tahun 2019 AKI masih cenderung sangat tinggi yaitu 305 per 1000 kelahiran, tidak ada perubahan signifikan. Berdasarkan data tersebut Indonesia termasuk ke dalam negara dengan AKI tertinggi di negara ASEAN. Keadaan ini tidak jauh berbeda dengan kondisi terhadap anak. Berdasarkan data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), angka kematian anak yang baru lahir (bayi) di Indonesia pada 2019 lalu adalah 21,12. Angka ini menurun dari catatan pada 2018 ketika angka kematian bayi di Indonesia masih mencapai 21, 86 atau pada 2017 yang mencapai 22,62 (NA RUU KIA, 2022).
Tingginya angka kematian ibu dan anak dalam proses melahirkan tersebut disebabkan oleh 3 faktor keterlambatan: Pertama, terlambat mengambil keputusan untuk merujuk ke sarana kesehatan; Kedua, terlambat mengenali tanda bahaya kehamilan; Ketiga, terlambat mendapatkan penanganan yang tepat di sarana kesehatan (Kemenkes, 2018). Hal ini paling berdampak pada pekerja perempuan dalam kondisi hamil. Kondisi ini disebabkan pekerja perempuan akan terkena berbagai faktor risiko kesehatan di lingkungan kerja yang dapat membahayakan bagi dirinya dan bayinya. Terutama pada pekerja perempuan yang khawatir atas kesejahteraan ekonominya, cenderung memaksakan diri untuk bekerja baik pada pra dan pascanatal.
ADVERTISEMENT
Kemudian alasan RUU KIA dibentuk adalah untuk menyatukan pengaturan mengenai ibu dan anak, yang sebelumnya diatur dalam berbagai peraturan-perundang-undangan. Terkait kesejahteraan anak yang sebelumnya diatur dalam UU No 4 Tahun 1979, akan diubah dan diperbaharui dalam RUU KIA. Penyatuan ini dilakukan agar tidak menimbulkan kerancuan dan kesulitan dalam implementasi peraturan.

Cuti Melahirkan

Iustrasi cuti melahirkan. Foto: New Africa/Shutterstock
Dalam RUU KIA yang paling disoroti publik ialah cuti melahirkan. Pada Pasal 4 ayat (2) diatur bahwa ibu yang bekerja berhak mendapatkan cuti melahirkan paling sedikit 6 bulan. Selanjutnya dalam Pasal 5 ayat (1) ditegaskan bahwa ibu yang cuti melahirkan tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya dan tetap memperoleh haknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Kemudian di Pasal 5 ayat (2) diatur bahwa ibu yang cuti melahirkan tetap mendapatkan hak secara penuh (dalam artian upah) 100 persen untuk 3 bulan pertama dan 75 persen untuk 3 bulan berikutnya.
ADVERTISEMENT
Bila dibandingkan dengan ketentuan cuti melahirkan yang digunakan saat ini adalah UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pada Pasal 82 diatur bahwa perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan. Dan kemudian ditekankan pada Pasal 84 bahwa perempuan yang istirahat melahirkan berhak mendapatkan upah penuh.
Terdapat perbedaan jauh antara cuti yang diatur UU Ketenagakerjaan dan RUU KIA. Alasan RUU KIA menambah cuti menjadi 6 bulan dapat dilihat di Naskah Akademis RUU KIA (NA). Alasan utama ialah untuk kesehatan ibu dan tumbuh kembang anak. NA menunjukkan bahwa tidak sampai 50 persen ibu pekerja yang dapat memberikan ASI eksklusif kepada anaknya, salah satu penyebabnya karena Ibu sibuk bekerja, dan cuti yang diberikan hanya 1,5 bulan pasca melahirkan. Perlunya perpanjangan cuti agar ibu lebih memperhatikan gizi maupun pertumbuhan anaknya di masa periode emas pertumbuhan.
ADVERTISEMENT

Tantangan Pelaksanaan

Pengaturan cuti melahirkan selama 6 bulan tentu sangat baik bagi kesehatan ibu, namun beban pembiayaan tidak diatur secara tegas. Hal ini kemudian menjadi persoalan apakah perusahaan mau membayar pekerjanya 6 bulan penuh selama cuti melahirkan?
Terhadap hal ini tim perumus RUU KIA, sudah menjawabnya dalam NA. Perumus NA menegaskan bagi perusahaan yang keberatan terhadap cuti melahirkan menjadi 6 bulan khususnya pemberian tunjangan selama cuti dalam 3 bulan berikutnya dimungkinkan alternatif pembayaran diambil dari alokasi dana corporate social responsibility (CSR) atau diambil dari tunjangan uang tunai yang disediakan melalui jaminan sosial wajib maupun dana publik. Namun, terkait alternatif biaya ini masih terdapat masalah.
Pembiayaan melalui CSR bertentangan dengan UU Perseroan Terbatas, sebab CSR harus digunakan sebagai tanggung jawab lingkungan dan sosial perusahaan terhadap lingkungan sekitarnya, yang artinya CSR diperuntukkan bagi pihak di luar perusahaan. Kemudian pembiayaan melalui jaminan sosial juga belum mumpuni, harus ada perubahan pengaturan jaminan sosial ketenagakerjaan yang menyediakan pos dana untuk cuti melahirkan. Selain itu dana publik pun harus ditegaskan melalui APBN/APBD. Sayangnya mengenai beban pembiayaan ini tidak dirumuskan dana RUU KIA.
ADVERTISEMENT
Kemudian terkait cuti melahirkan ini nantinya merujuk pada RUU KIA atau UU Ketenagakerjaan juga tidak ditegaskan, sehingga berpotensi adanya kebingungan dalam proses pelaksanaan/tumpang tindih. Sebab terkait cuti melahirkan lebih lengkap dan jelas diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Masalah pengawasan juga menjadi hal yang penting dalam pelaksanaanya, namun RUU KIA juga tidak tegas dalam mengaturnya. Masih ada kerancuan pengawasan tersebut akan menjadi tugas pemerintah di bidang ketenagakerjaan atau di bidang perlindungan perempuan dan anak. RUU KIA pula tidak merumuskan sanksi apabila pihak perusahaan tidak memberikan hak cuti melahirkan, sehingga dikhawatirkan hak cuti melahirkan ini tidak dipatuhi oleh perusahaan.
Pada intinya pertambahan cuti melahirkan menjadi 6 bulan merupakan suatu hal yang sangat baik, bahkan melebihi standar Konvensi ILO 183. Namun, agar tidak hanya menjadi angan-angan semata, pengaturan cuti tersebut seharusnya diperbaiki dalam UU Ketenagakerjaan, agar dapat terlaksana dengan baik. Jangan sampai pengaturan cuti melahirkan dalam RUU KIA hanya menambah catatan benang kusut dalam peraturan perundang-undangan Indonesia.
ADVERTISEMENT