Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Jejak Hindu di Tanah Sunda: Sejarah Lingkungan dan Geografis Candi Cangkuang
6 Mei 2025 10:11 WIB
·
waktu baca 13 menitTulisan dari Rahul Diva Laksana Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pada hari Kamis, 17 April 2025, mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah Rombongan Belajar 2A Universitas Negeri Semarang (UNNES) melaksanakan kunjungan lapangan ke salah satu situs bersejarah penting di Tatar Sunda, yakni Candi Cangkuang. Kegiatan ini tidak hanya dilakukan oleh mahasiswa semata, melainkan juga didampingi oleh dua dosen pembimbing, yaitu Dr. Syaiful Amin, S.Pd., M.Pd. dan Hany Nurpratiwi, M.Pd. Candi Cangkuang sendiri terletak di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, dan berada di kawasan adat Kampung Pulo—sebuah perkampungan tradisional yang dikelilingi oleh danau, hutan, serta kearifan lokal yang masih terjaga hingga kini.
ADVERTISEMENT
Rombongan tiba di kawasan Candi Cangkuang sekitar pukul 08.30 WIB. Perjalanan menuju lokasi utama dimulai dengan menyeberangi danau menggunakan rakit tradisional milik warga setempat—alat transportasi sederhana yang tak hanya fungsional, tetapi juga menjadi bagian dari narasi pelestarian warisan budaya.
Sesampainya di seberang, kami langsung memulai kegiatan penelitian dengan mengunjungi Kampung Pulo, yang terletak tepat di bawah area candi. Kampung ini terdiri atas enam rumah tradisional dan satu mushola, sebuah konfigurasi unik yang tidak hanya mencerminkan warisan arsitektur, tetapi juga nilai spiritual dan aturan adat yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya.
Kegiatan ini merupakan bagian dari Kajian Peninggalan Sejarah (KPS), sebuah agenda pembelajaran kolaboratif yang melibatkan seluruh mahasiswa dalam satu kelas. Tujuannya tak sekadar wisata edukatif, namun menjadi proyek terpadu untuk memahami dan mendokumentasikan warisan sejarah Candi Cangkuang melalui berbagai media: mulai dari buku dan artikel ilmiah, hingga film dokumenter, poster edukasi, serta citizen journalism seperti tulisan ini.
ADVERTISEMENT
Dalam laporan ini, kami akan mengupas lebih dalam mengenai jejak agama Hindu yang tersisa di kawasan ini, dinamika sejarah lingkungan candi, peran masyarakat lokal dalam pelestarian tradisi, serta keunikan geografis yang menjadikan Candi Cangkuang begitu istimewa.
Menelusuri Jejak Hindu di Tanah Sunda
Mari melihat kembali sejarah, Pada periode antara abad ke-13 hingga ke-15 merupakan masa penting dalam sejarah Pulau Jawa yang ditandai oleh berbagai perubahan besar dalam bidang politik, sosial, budaya, dan keagamaan. Di Jawa Timur, muncul dua kerajaan besar yang sangat berpengaruh, yaitu Kerajaan Singasari (berdiri tahun 1222) yang kemudian digantikan oleh Kerajaan Majapahit pada tahun 1293. Di bawah pemerintahan dua kerajaan ini, wilayah Jawa mengalami perkembangan pesat dalam berbagai aspek kehidupan seperti seni, sastra, arsitektur, serta teknologi. Pengaruh agama Hindu sangat kuat di masa ini, tercermin dari banyaknya candi dan kuil Hindu-Buddha yang tersebar di berbagai penjuru Jawa, serta diadopsinya berbagai tradisi Hindu oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kemajuan juga terjadi di bidang ekonomi, terutama selama masa kejayaan Majapahit. Kemampuan dalam mengelola sistem irigasi membuat sektor pertanian berkembang pesat, sementara hubungan dagang antar negara semakin luas, mencakup kawasan Asia Tenggara seperti Siam, Tiongkok, dan India. Hal yang sama juga terjadi di Jawa bagian barat, yang dipengaruhi oleh eksistensi Kerajaan Sunda. Berdiri sejak abad ke-10 hingga abad ke-16 M, kerajaan ini memainkan peran penting dalam membentuk struktur sosial dan budaya masyarakat Sunda. Didirikan oleh Tarusbawa dan ditandai dengan peninggalan seperti prasasti Canggal (732 M) dan tokoh penting seperti Sanjaya dari Galuh, kerajaan ini dikenal sebagai penganut Hindu dan menjalin hubungan dagang yang aktif dengan berbagai daerah di Nusantara.
Kehidupan sosial Kerajaan Sunda terbagi dalam tiga golongan besar: rohani/cendekiawan, aparat pemerintahan, dan kelompok ekonomi. Masyarakatnya menjalankan kehidupan agraris dan perdagangan, terbukti dari pelabuhan-pelabuhan besar seperti Kelapa, Banten, Pontang, dan Cigede. Selain itu, struktur sosialnya mencerminkan sistem kasta yang memisahkan peran keagamaan, militer, hingga profesi ekonomi. Konflik besar yang mewarnai sejarah Kerajaan Sunda adalah Perang Bubat pada tahun 1357 M, yang menyebabkan gugurnya Raja Sri Baduga dan putrinya. Pemerintahan kemudian dilanjutkan oleh Hyang Bunisora dan kemudian oleh Prabu Niskala Wastu Kencana, hingga akhirnya kerajaan Sunda dan Galuh bersatu pada tahun 1428 M melalui pernikahan politik antara Ambetkasih dan Jayadewata, yang naik tahta dengan gelar Sri Baduga Maharaja (1428–1521).
ADVERTISEMENT
Salah satu peninggalan penting dari masa Kerajaan Sunda yang masih dapat ditemui hingga kini adalah Candi Cangkuang, yang berada di wilayah Garut, Jawa Barat. Meski peninggalan arkeologis dari kerajaan ini relatif sedikit karena kebiasaan masyarakatnya yang berpindah-pindah, namun warisan sastra baik lisan maupun tulisan tetap lestari, seperti dalam bentuk pantun dan karya seperti Carita Parahiyangan. Ini menunjukkan bahwa meskipun berpindah-pindah, masyarakat Sunda memiliki tradisi intelektual dan spiritual yang kuat, yang kemudian menjadi bagian dari kekayaan budaya Jawa Barat hingga kini.
Candi Cangkuang merupakan satu-satunya candi bercorak Hindu yang ditemukan di Tatar Sunda. Berbeda dari candi-candi besar seperti Prambanan atau Penataran, Candi Cangkuang tampil dalam bentuk yang kecil dan sederhana—tingginya hanya sekitar 4 meter. Namun, justru di balik kesederhanaannya tersimpan makna yang mendalam.
ADVERTISEMENT
Di dalam biliknya terdapat arca Dewa Siwa yang sebagian telah rusak. Namun dari bentuk, posisi, dan orientasinya, kuat dugaan bahwa candi ini merupakan tempat ibadah umat Hindu pada abad ke-8 hingga ke-9 Masehi. Letaknya yang dikelilingi pegunungan, berada di tengah danau, dan menghadap ke arah timur (menuju matahari terbit) menunjukkan bahwa tempat ini sengaja dipilih untuk praktik keagamaan yang bersifat kontemplatif dan sakral.
Candi ini bukan sekadar peninggalan batu, tetapi potongan dari mozaik peradaban masa lalu yang menunjukkan eksistensi komunitas Hindu sebelum Islam menyebar luas di Tatar Sunda. Ia menjadi saksi bisu dinamika kepercayaan, kekuasaan, dan sistem sosial-budaya yang pernah tumbuh di wilayah Garut.
Disamping Candi terdapat juga makam—makam Mbah Ndalem atau Mbah Arief Muhammad yang menjadi leluhur masyarakat Kampung Pulo, terkesan aneh dan bertanya mengapa di sebelah candi bercorak hindu terdapat makam islam?
ADVERTISEMENT
Proses penyebaran Islam oleh Arief Muhammad di wilayah Garut diperkirakan terjadi pada pertengahan abad ke-17, tepatnya setelah kegagalan penyerangan Mataram ke Batavia pada tahun 1629. Setelah pasukan Mataram mengalami kekalahan dan kehilangan semangat untuk kembali ke Jawa Tengah, Arief Muhammad bersama beberapa pengikutnya memilih menetap di wilayah pedalaman Jawa Barat. Ketika tiba di daerah yang kini dikenal sebagai Kampung Pulo, masyarakat setempat masih memegang teguh ajaran Hindu serta kepercayaan animisme dan dinamisme. Melalui pendekatan yang damai, Arief Muhammad mulai menyebarkan ajaran Islam secara perlahan, dengan mengedepankan keteladanan dan nilai-nilai moral dalam kehidupan sehari-hari. Strategi dakwahnya tidak konfrontatif, melainkan akomodatif terhadap budaya lokal, sehingga memudahkan penerimaan Islam oleh masyarakat.
Bukti penyebaran Islam oleh Arief Muhammad di wilayah tersebut terlihat dari peninggalan kitab-kitab kuno yang ia tulis sekitar pertengahan hingga akhir abad ke-17. Kitab-kitab tersebut dibuat dengan menggunakan bahan alami seperti kertas dari batang pohon saeh dan tinta dari arang ketan, dan ditemukan di kawasan Kampung Pulo. Yang menarik, Arief Muhammad tidak menghancurkan simbol-simbol agama sebelumnya, seperti Candi Cangkuang yang diperkirakan berasal dari abad ke-8. Justru ia dan masyarakat setempat merawat candi tersebut sebagai bagian dari warisan leluhur. Pendekatan yang mengedepankan toleransi inilah yang menjadikan Islam diterima secara luas dan harmonis di kawasan tersebut, serta membentuk dasar kehidupan spiritual dan budaya masyarakat Kampung Pulo yang bertahan hingga kini.
ADVERTISEMENT
Meskipun masyarakat di sekitar Candi Cangkuang sudah beragama Islam, Candi ini hingga sekarang masih digunakan sebagai tempat beribadah oleh umat Hindu dari luar kampung pulo.
Sejarah Lingkungan Candi Cangkuang
Ketika kami tiba di kawasan Candi Cangkuang, kesan pertama yang muncul bukanlah ketenangan atau aura sakral seperti yang kami bayangkan dari sebuah situs kuno bersejarah. Sebaliknya, kami disambut oleh deretan warung-warung yang menjajakan berbagai dagangan: dari makanan ringan, baju, hingga suvenir beraneka rupa. Suasana yang kini lebih menyerupai area komersial ini menjadi kontras tajam dengan nilai sejarah dan spiritualitas yang seharusnya melekat pada tempat ini.
Dalam perspektif sejarah lingkungan, kondisi ini sangat relevan untuk dikritisi. Sebagaimana dijelaskan oleh Tsabit Azinar Ahmad dalam Jurnal Konservasi, sejarah lingkungan tidak hanya berbicara tentang pelestarian fisik, tetapi juga tentang bagaimana manusia berinteraksi dengan alam dan budaya di sekitarnya, serta bagaimana lingkungan itu berubah karena pengaruh aktivitas manusia. Di Candi Cangkuang, kami melihat betul bahwa perubahan itu nyata.
ADVERTISEMENT
Candi yang dahulu tersembunyi dan nyaris terlupakan kini menjadi magnet wisata. Dan memang, pemugaran oleh pemerintah pada tahun 1970-an telah membuka kembali akses terhadap situs bersejarah ini. Namun, di balik keberhasilan tersebut, kami menyaksikan perubahan ekologis dan sosial yang terjadi di sekitarnya. Danau yang mengelilingi pulau kecil tempat candi berdiri, meskipun masih digunakan warga dengan rakit tradisional, kini tak lagi sejernih dahulu. Tumbuhan cangkuang yang dulunya tumbuh liar dan memberi nama pada candi ini, kini semakin sulit ditemukan.
Transformasi ini menunjukkan bahwa penetapan status wisata tak selalu sejalan dengan nilai konservasi. Warung-warung yang dulunya tidak ada kini memenuhi area sekitar danau. Suasana religius dan tenang tergantikan oleh hiruk-pikuk aktivitas jual beli. Kami tidak mengabaikan bahwa pariwisata bisa mendatangkan pemasukan bagi warga, tetapi jika tidak dikelola secara berimbang, ia bisa menggerus nilai-nilai yang justru menjadi daya tarik utama tempat ini.
ADVERTISEMENT
Perubahan Candi Cangkuang menjadi tempat wisata dapat dianggap sebagai bagian dari fenomena komodifikasi budaya. Fenomena ini merujuk pada proses di mana situs atau objek budaya, seperti candi, situs sejarah, atau warisan budaya lainnya, diperlakukan sebagai objek yang dapat dijual atau dikomersialkan dalam konteks pariwisata. Dalam hal ini, Candi Cangkuang yang sebelumnya mungkin lebih dikenal sebagai situs budaya atau tempat ibadah, kini berkembang menjadi destinasi wisata dengan berbagai fasilitas yang mendukung pengalaman wisatawan.
Proses tersebut melibatkan perubahan cara pandang dan penggunaan ruang budaya yang semula lebih sakral atau tradisional menjadi lebih terbuka untuk konsumsi publik dan dijadikan daya tarik ekonomi. Candi Cangkuang, yang terletak di Garut, Jawa Barat, kini menjadi salah satu destinasi wisata yang menawarkan pengalaman sejarah sekaligus keindahan alam sekitar.
ADVERTISEMENT
Namun, penting juga untuk dicatat bahwa perubahan ini bisa memberikan dampak positif seperti pelestarian warisan budaya, pemberdayaan ekonomi lokal, dan edukasi kepada pengunjung, meskipun di sisi lain juga dapat menimbulkan tantangan terkait konservasi dan pengelolaan warisan budaya.
Meski demikian, kami juga menyaksikan upaya masyarakat Kampung Pulo untuk tetap menjaga tradisi mereka. Rumah adat tetap dijaga jumlah dan bentuknya, wisatawan diarahkan dengan sopan, dan ada upaya sadar untuk mempertahankan kesakralan kawasan candi. Hal ini memperlihatkan bahwa pelestarian sejati tumbuh dari kesadaran kolektif masyarakat yang menjaga nilai-nilai budaya dan lingkungan secara bersama-sama.
Candi Cangkuang mengajarkan kepada kami bahwa pelestarian sejarah tidak bisa dipisahkan dari pelestarian lingkungan. Sejarah lingkungan adalah pengingat bahwa ruang hidup dan warisan budaya tidak boleh dikorbankan demi industri wisata semata. Justru di sanalah letak tantangan: bagaimana menjaga harmoni antara manusia, budaya, dan alam di tengah arus modernitas yang terus mendesak masuk.
ADVERTISEMENT
Tradisi Kampung Pulo: Menjaga Alam dan Nilai Leluhur
Masyarakat Kampung Pulo memiliki peran penting dalam menjaga kelestarian Candi Cangkuang dan lingkungan sekitarnya. Meski mayoritas warganya kini telah memeluk agama Islam, masyarakat setempat tetap mempertahankan sejumlah nilai adat yang diwariskan secara turun-temurun. Nilai-nilai ini bukan hanya sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur, tetapi juga sebagai cara menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan ruang sakral.
Jumlah penduduk di Kampung Pulo sangat terbatas—hanya 23 orang, yang terdiri dari 6 kepala keluarga. Mereka tinggal dalam satu kompleks yang terdiri atas 6 rumah adat dan satu mushola. Jumlah ini tidak boleh bertambah, karena dalam satu tugu keluarga tidak boleh melebihi 4 orang, sesuai ketentuan adat yang mengikat dan tidak boleh dilanggar.
ADVERTISEMENT
Sistem kekeluargaan di Kampung Pulo bersifat matrilineal, yakni garis keturunan dan pewarisan rumah adat mengikuti anak perempuan tertua. Rumah adat hanya boleh diwarisi oleh anak perempuan, dan jika ada anak laki-laki yang menikah, maka dalam waktu dua minggu setelah pernikahan, ia harus keluar dari Kampung Pulo. Ini mencerminkan bahwa struktur sosial Kampung Pulo sangat ketat dalam menjaga stabilitas komunitas dan nilai-nilai adat.
Yang menarik, kompleks ini juga memiliki satu mushola, yang bukan sekadar tempat ibadah, tapi menyimpan nilai simbolis yang dalam. Mushola ini dipercaya sebagai simbol satu-satunya anak laki-laki dari tokoh penyebar Islam di wilayah ini, Arief Muhammad. Keberadaan mushola tersebut menjadi penanda bagaimana nilai-nilai Islam diintegrasikan secara damai ke dalam tradisi lokal tanpa menghapus akar budaya yang telah lebih dahulu hidup.
Selain itu, tradisi larangan memelihara hewan berkaki empat juga menjadi bagian penting dari upaya pelestarian berbasis budaya. Larangan ini muncul dari keyakinan bahwa hewan-hewan tersebut dapat mencemari area-area sakral, terutama makam keramat. Secara tidak langsung, larangan ini berkontribusi pada kebersihan kampung, menjaga ketenangan ruang suci, dan membatasi aktivitas yang bisa mengganggu keseimbangan ekologis.
ADVERTISEMENT
Salah satu aspek paling penting dalam pelestarian Candi Cangkuang justru terletak pada masyarakat Kampung Pulo itu sendiri. Meski mayoritas warganya kini telah memeluk agama Islam, masyarakat setempat tetap mempertahankan sejumlah nilai adat yang diwariskan dari leluhur mereka—nilai-nilai yang berakar pada keyakinan spiritual dan penghormatan terhadap ruang sakral.
Salah satu tradisi menarik yang kami temukan dalam kajian lapangan adalah larangan memelihara hewan berkaki empat di Kampung Pulo. Larangan ini bukan karena alasan kesehatan atau ekonomi, melainkan berasal dari keyakinan bahwa hewan-hewan seperti kambing, kerbau, atau sapi dapat mencemari area-area keramat—terutama makam leluhur yang masih dirawat hingga hari ini.
Tradisi ini mencerminkan bagaimana sistem kepercayaan lokal dapat menjadi mekanisme ekologis yang efektif. Dengan tidak memelihara hewan besar, masyarakat menjaga kebersihan, mencegah kerusakan struktur tanah atau pemakaman, dan mempertahankan kesucian lingkungan. Lebih dari itu, ini menunjukkan bahwa konservasi dapat hidup dari nilai, bukan perintah.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Kampung Pulo tidak perlu diberi aturan formal dan ketat untuk melestarikan situs budaya. Para Warga menjaganya karena merasa terhubung secara spiritual dan sosial. Nilai-nilai ini ditanamkan dari generasi ke generasi, menjadikan pelestarian sebagai bagian dari identitas mereka. Inilah wajah pelestarian berbasis budaya—di mana konservasi dilakukan bukan karena regulasi, tetapi karena rasa memiliki dan kesadaran kolektif. Dengan ini, Cagar budaya merupakan bagian penting dari identitas dan warisan bangsa yang harus dijaga serta dilestarikan. Keberadaannya mencerminkan kekayaan budaya dan nilai-nilai luhur dari para pendahulu. Pelestarian cagar budaya juga berperan dalam membangkitkan kesadaran historis dan semangat kebangsaan. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pelestarian Warisan Budaya, khususnya Pasal 1 ayat 1 Bab I, cagar budaya diartikan sebagai benda budaya yang berbentuk bangunan yang memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan.
ADVERTISEMENT
Geografis: Candi di Tengah Danau
Candi Cangkuang berdiri di pinggiran Danau Cangkuang, sebuah danau alami yang tenang dan terisolasi. Danau ini hanya terhubung dengan aliran sungai kecil ketika musim hujan tiba, menciptakan ekosistem tertutup yang masih alami. Di sekelilingnya membentang kawasan hutan konservasi yang menjadi rumah bagi berbagai jenis flora dan fauna khas dataran tinggi Priangan, menambah kesan asri dan sakral di kawasan ini.
Untuk mencapai lokasi candi, pengunjung harus menyeberangi danau menggunakan rakit tradisional yang dikayuh perlahan oleh warga setempat dengan bambu panjang. Tarif rakit dikenakan Rp 5.000,- untuk dewasa dan Rp 3.000,- untuk anak-anak. Bagi rombongan, tersedia pula opsi penyewaan satu rakit berkapasitas hingga 20 orang seharga Rp 100.000,- untuk perjalanan pulang-pergi. Waktu tempuh penyebrangan sekitar 15–20 menit, tergantung arus air.
ADVERTISEMENT
Menyusuri danau dengan rakit bukan sekadar aktivitas transportasi—ini adalah bagian dari pengalaman wisata itu sendiri. Di sepanjang perjalanan, pengunjung disuguhi pemandangan bukit yang menjadi latar dari Candi Cangkuang dan siluet gagah Gunung Kaledong di kejauhan. Suasana yang sunyi, jauh dari hiruk-pikuk kendaraan bermotor, menjadi bukti bahwa akses terbatas justru mampu menjaga kelestarian alam sekaligus memperkuat nilai spiritual kawasan ini.
Harmoni Sejarah, Alam, dan Tradisi
Candi Cangkuang bukan hanya situs sejarah, tetapi juga pelajaran hidup tentang bagaimana manusia, alam, dan kepercayaan bisa hidup berdampingan. Ia tidak hanya bertahan karena pagar besi atau papan larangan, tetapi karena alam menjaganya secara alami, dan masyarakat adat melestarikannya dengan nilai-nilai hidup mereka.
Melalui contoh Candi Cangkuang, kita belajar bahwa pelestarian bukanlah urusan masa lalu semata. Ia adalah relasi aktif antara manusia dan ruang, antara spiritualitas dan ekologis, antara warisan dan tanggung jawab. Di saat banyak situs budaya lain terancam oleh urbanisasi, eksploitasi, dan lupa—Candi Cangkuang berdiri tenang, menjadi bukti bahwa pelestarian paling tulus lahir dari cinta yang diwariskan, bukan sekadar aturan yang dipaksakan.
Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada dosen pembimbing kami yaitu Dr. Syaiful Amin, S.Pd., M.Pd. dan Hany Nurpratiwi, M.Pd. Yang telah senantiasa membimbing kami dalam kegiatan Kajian Peninggalan Sejarah ini dengan penuh semangat dan dedikasi.
ADVERTISEMENT
Dalam merumuskan naskah laporan citizen journalism ini, saya tidak bekerja sendiri. Proses penulisan ini merupakan hasil kolaborasi bersama rekan-rekan saya: Binta Wakhida Agusta, Sinta Febi Muklisoh, Zahra Zhafira Widiani, Arsyad Fillah Ramadhan, Putri Callista Angellina, Alya Silviana Mahira, Aliya Safera, Chika Nur Azizah, dan Nova Karisma Romadona.