Konten dari Pengguna

Meneropong Puisi Wiji Thukul dalam Membangun Kesadaran Sosial di Era Digital

Rahul Diva Laksana Putra
Mahasiswa S-1 Pendidikan Sejarah UNNES. Kader Pekanan Rakjat, Rubikon, dan Amnesty International Chapter UNNES.
14 Februari 2025 21:21 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rahul Diva Laksana Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sosok Wiji Thukul Penyair Sekaligus Aktivis. Foto: Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Sosok Wiji Thukul Penyair Sekaligus Aktivis. Foto: Freepik
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, Wiji Thukul dikenal bukan hanya sebagai seorang penyair, tetapi juga sebagai simbol perjuangan melawan ketidakadilan dan penindasan. Puisi-puisi yang ia tulis, meskipun sederhana dalam bentuk, menyimpan kekuatan luar biasa dalam menyuarakan perlawanan terhadap tirani. Karya-karya Wiji Thukul banyak mengangkat suara rakyat kecil yang sering kali terpinggirkan, seperti dalam puisi Peringatan yang menggugah kesadaran tentang pentingnya keberanian untuk melawan. Namun, perjuangan Wiji Thukul harus dibayar mahal—ia hilang pada tahun 1998 dan hingga kini tidak pernah ditemukan. Meskipun demikian, puisi-puisi dan semangat perjuangannya tetap hidup dan terus menginspirasi generasi-generasi setelahnya.
ADVERTISEMENT
Saat ini, di tengah perkembangan teknologi dan media sosial, kita, generasi Z, hidup dalam dunia yang penuh dengan kebebasan informasi, namun juga menghadapi tantangan baru dalam hal kebebasan berekspresi. Banyak dari kita yang mungkin tidak mengalami penindasan secara langsung, namun masih ada banyak suara-suara kritis yang dibungkam, baik secara fisik maupun digital. Ancaman terhadap kebebasan berekspresi terus ada, baik melalui penyalahgunaan hukum, serangan siber, atau intimidasi di dunia maya. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk belajar dari semangat perjuangan Wiji Thukul dalam menggunakan platform digital untuk menyuarakan suara-suara yang tidak terdengar, sehingga perjuangan untuk keadilan dan kebebasan yang ia perjuangkan dapat diteruskan oleh generasi penerusnya.
Wiji Thukul: Puisi Sebagai Alat Perlawanan
Salah satu Buku Karya Wiji Thukul Foto: Freepik
Puisi Wiji Thukul dikenal bukan karena keindahannya, tetapi karena kekuatannya dalam menyuarakan kebenaran yang pahit. Melalui karya-karyanya, seperti Peringatan dan Bantuan, ia mengangkat suara rakyat kecil yang tertindas oleh kekuasaan yang tidak adil. Wiji Thukul tidak hanya menulis untuk menciptakan keindahan semata, tetapi untuk memperjuangkan keadilan.
ADVERTISEMENT
Salah satu puisi yang paling terkenal, Peringatan, me njadi cermin keberanian untuk melawan ketakutan. Dalam secarik bait puisi, Wiji Thukul menulis:
"Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!"
Puisi ini menggambarkan perlawanan terhadap ketidakadilan dan penindasan, yang membuatnya menjadi lebih dari sekadar karya sastra. Puisi-puisi Wiji Thukul adalah simbol perlawanan terhadap otoritarianisme. Bahkan setelah kepergiannya, puisi-puisi tersebut tetap hidup, menginspirasi banyak orang untuk tetap berani berbicara melawan ketidakadilan.
Wiji Thukul mengajarkan kita bahwa seni, khususnya puisi, bukan hanya soal menciptakan keindahan, tetapi juga soal membuka mata banyak orang terhadap isu-isu sosial yang sering diabaikan. Di tangan Wiji Thukul, puisi menjadi alat yang efektif untuk membangkitkan kesadaran sosial dan mengajak orang untuk melawan penindasan.
ADVERTISEMENT
Media Sosial: Platform Baru untuk Kesadaran Sosial
Media Sosial Foto: Freepik
Di era digital ini, generasi Z memiliki akses tak terbatas ke berbagai platform media sosial. Instagram, Twitter, TikTok, dan YouTube memungkinkan kita untuk berbicara dan menyebarkan pesan kepada audiens yang lebih luas. Namun, apakah kita sudah memanfaatkan kekuatan media sosial ini dengan bijak? Apakah kita, sebagai generasi yang memiliki kebebasan berekspresi lebih besar dibandingkan generasi sebelumnya, mampu menciptakan perubahan sosial melalui media sosial seperti yang dilakukan Wiji Thukul melalui puisinya?
Tantangan utama yang dihadapi generasi Z adalah bagaimana menggunakan kebebasan berekspresi ini secara bertanggung jawab. Di satu sisi, media sosial memberikan ruang yang luas untuk berbagi ide dan memperjuangkan hak-hak yang terabaikan. Di sisi lain, kebebasan ini sering disalahgunakan untuk menyebarkan kebencian, hoaks, atau bahkan untuk menyerang orang yang memiliki pandangan berbeda. Sebagai generasi yang aktif di dunia maya, kita harus lebih bijaksana dalam menggunakan media sosial untuk tujuan yang positif.
ADVERTISEMENT
Yang perlu digaris bawahi adalah, seperti halnya puisi-puisi Wiji Thukul yang berani melawan kekuasaan, media sosial juga dapat digunakan untuk menyuarakan perlawanan terhadap ketidakadilan. Banyak aktivis muda yang kini memanfaatkan platform digital untuk mengangkat isu-isu sosial seperti perubahan iklim, ketidakadilan rasial, atau hak-hak perempuan.
Namun, ancaman besar terhadap kebebasan berekspresi di dunia maya. Undang-undang yang tidak jelas, seperti UU ITE, sering kali disalahgunakan untuk membungkam suara-suara kritis. Kasus doxing, peretasan akun, serta serangan siber terhadap aktivis dan jurnalis juga semakin marak. Di sinilah kita, generasi Z, harus belajar dari keberanian Wiji Thukul dan tetap teguh pada prinsip keadilan, meski dengan risiko yang ada.
Melanjutkan Perjuangan Wiji Thukul di Era Digital
Ilustrasi Generasi Z Foto:Freepik
Keberanian Wiji Thukul dalam menentang ketidakadilan harus menjadi inspirasi bagi kita. Puisi-puisi Wiji Thukul adalah panggilan untuk terus melawan segala bentuk penindasan, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Generasi Z memiliki kesempatan untuk melanjutkan perjuangannya melalui media sosial, tetapi kita juga harus menyadari bahwa perlawanan di dunia maya bukan tanpa tantangan.
ADVERTISEMENT
Di era digital ini, kita lebih mudah untuk terhubung dengan orang lain dan menyuarakan pendapat kita. Namun, perlawanan tidak hanya soal berbicara, tetapi juga soal mendengarkan dan memahami sudut pandang orang lain. Untuk itu, kita perlu memastikan bahwa perlawanan yang kita lakukan tidak jatuh pada ekstremisme atau kekerasan, tetapi tetap pada jalur dialog dan perubahan positif.
Sebagai generasi yang mewarisi teknologi dan kebebasan berbicara yang lebih besar, kita harus memanfaatkan semua platform yang ada untuk memperjuangkan keadilan. Ini bisa dilakukan dengan berbagi cerita, mengedukasi orang lain, atau mengorganisir kampanye sosial yang dapat menarik perhatian lebih banyak orang terhadap isu-isu yang penting.
Kita juga harus ingat bahwa kebebasan berbicara datang dengan tanggung jawab. Wiji Thukul mengajarkan kita untuk tidak takut berbicara kebenaran, meskipun itu berisiko. Kita tidak hanya harus memperjuangkan hak kita untuk berbicara, tetapi juga hak orang lain untuk didengar. Sebab, perjuangan untuk kebebasan berpendapat dan keadilan adalah perjuangan bersama.
ADVERTISEMENT
Wiji Thukul mengajarkan kita bahwa seni, khususnya puisi, memiliki kekuatan luar biasa dalam menciptakan kesadaran sosial dan mendorong perubahan. Puisi-puisi Wiji Thukul bukan hanya karya sastra, tetapi juga seruan untuk melawan ketidakadilan, untuk memperjuangkan hak-hak mereka yang terpinggirkan. Dalam era digital ini, generasi Z memiliki platform yang lebih luas untuk berbicara, tetapi juga harus berhati-hati agar kebebasan berekspresi tidak disalahgunakan.
Kita bisa melanjutkan perjuangan Wiji Thukul dengan memanfaatkan media sosial untuk menyuarakan keadilan, kesetaraan, dan kebebasan. Namun, kita juga harus ingat bahwa perjuangan ini tidak hanya tentang berbicara, tetapi tentang mendengarkan dan mengajak orang lain untuk bersama-sama memperjuangkan dunia yang lebih baik. Jika kita mampu melakukannya dengan penuh keberanian dan tanggung jawab, maka puisi-puisi Wiji Thukul tidak akan pernah benar-benar hilang—ia akan terus hidup dalam setiap langkah perjuangan kita.
ADVERTISEMENT