Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
Konten dari Pengguna
Merefleksikan Sejarah Gerakan Anti-Swapraja dalam Isu Kembalinya Daerah Istimewa
26 Januari 2025 10:37 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Rahul Diva Laksana Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Feodalisme adalah milik masa lalu yang sudah mati, bukan milik Indonesia di masa depan.”
ADVERTISEMENT
― Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
Sejarah Surakarta, yang dikenal dengan nama Solo, merupakan cerita panjang tentang konflik antara tradisi kekuasaan dan tuntutan perubahan sosial-politik. Kota ini, yang pernah dipimpin oleh dua kerajaan besar, Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran, mengadopsi sistem birokrasi tradisional yang dikenal dengan sebutan swapraja. Dalam sistem ini, kekuasaan dipertahankan oleh garis keturunan kerajaan, dan pemimpin dianggap sah karena statusnya yang dianggap suci.
Namun, seiring berjalannya waktu, sistem swapraja justru memunculkan ketidakadilan sosial yang semakin memperburuk kondisi rakyat. Gerakan anti-swapraja yang muncul pada 1946 adalah upaya untuk mengatasi dominasi kekuasaan yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat luas dan menggugat keberlanjutan status Daerah Istimewa Surakarta.
ADVERTISEMENT
Swapraja dan Ketidakadilan Sosial
Sistem swapraja yang diterapkan di Surakarta menciptakan struktur kekuasaan yang sangat berpusat pada keluarga kerajaan. Otoritas tradisional yang didasarkan pada garis keturunan dan norma-norma adat memperkuat kekuasaan para pemimpin di Surakarta. Meskipun sistem ini dianggap sah dalam konteks sejarah dan budaya, dalam praktiknya, sistem ini sering kali tidak mencerminkan kepentingan rakyat. Dalam banyak kasus, keputusan-keputusan yang diambil lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan kelompok elit, yang memperburuk ketidakadilan sosial.
Dalam teori Max Weber tentang otoritas tradisional, sistem seperti swapraja dapat dilihat sebagai bentuk kekuasaan yang diwariskan dan dianggap sah hanya karena tradisi, meskipun sering kali tidak berorientasi pada kemaslahatan rakyat. Dalam konteks Surakarta, sistem swapraja ini justru memperkuat ketimpangan sosial dan menghambat perkembangan kota.
ADVERTISEMENT
Kesenjangan yang semakin lebar antara elit dan masyarakat luas mendorong lahirnya gerakan anti-swapraja, yang berupaya untuk membawa Surakarta ke arah pemerintahan yang lebih demokratis dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Gerakan Anti-Swapraja dan Perubahan Politik Surakarta
Gerakan anti-swapraja di Surakarta muncul sebagai respons terhadap ketidakadilan yang ditimbulkan oleh sistem pemerintahan tradisional yang masih dipertahankan oleh Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran. Selama masa pemerintahan ini, keputusan-keputusan politik dan sosial lebih mengutamakan kepentingan kelompok kerajaan dan elite, ketimbang rakyat banyak. Masyarakat mulai merasa terpinggirkan, dan gerakan yang menuntut perubahan pun muncul untuk menghapuskan dominasi sistem swapraja.
Puncaknya terjadi pada 9 Mei 1946, ketika kelompok revolusioner yang dipimpin Dr. Moewardi mengajukan tiga tuntutan utama: penghapusan status Daerah Istimewa Surakarta, penggantian Raja Susuhunan, dan perubahan peraturan yang dianggap sudah tidak relevan. Meskipun Sri Susuhunan Pakubuwono XII menyatakan kesediaannya untuk mengubah beberapa peraturan, hal ini tidak cukup bagi kelompok anti-swapraja yang merasa perubahan tersebut tidak menyelesaikan akar masalah ketidakadilan yang ada.
ADVERTISEMENT
Ketegangan semakin meningkat dengan adanya aksi kekerasan dan penculikan terhadap pejabat keraton, serta sebagian kabupaten yang mulai memutuskan hubungan dengan Surakarta. Untuk mengatasi kekacauan ini, pemerintah pusat melalui Sutan Syahrir memutuskan untuk mengintervensi dengan merencanakan perubahan besar. Pemerintah pusat menunjuk Gubernur Soerjo untuk merumuskan peraturan baru dan mengumpulkan data terkait situasi di Surakarta.
Pada 15 Juli 1946, Surakarta secara resmi diubah statusnya menjadi Daerah Karesidenan melalui UU No. 16/SD/1946, yang mengakhiri sistem swapraja dan menggantikannya dengan pemerintahan yang lebih terpusat. Keputusan ini menandai perubahan penting dalam sejarah Surakarta, membawa kota ini menuju era baru yang lebih demokratis dan responsif terhadap kebutuhan rakyat.
Relevansi Isu Kembalinya Daerah Istimewa Surakarta di Era Modern
Isu kembalinya status Daerah Istimewa Surakarta belakangan ini memunculkan pertanyaan penting: apakah sistem swapraja masih relevan untuk diterapkan dalam konteks Indonesia modern yang mengutamakan pemerintahan yang lebih inklusif dan demokratis? Beberapa pihak mungkin melihat pengembalian status ini sebagai pengakuan terhadap warisan budaya dan tradisi lokal yang kaya, namun kita harus berhati-hati untuk tidak mengorbankan keadilan sosial dan demokrasi yang telah diperjuangkan selama ini.
ADVERTISEMENT
Mengingat sejarah panjang ketegangan antara gerakan anti-swapraja dan kekuasaan tradisional, penting bagi kita untuk merefleksikan apakah sistem ini dapat beradaptasi dengan tuntutan zaman. Apakah sistem kekuasaan tradisional ini bisa memberikan ruang bagi pemerintahan yang lebih adil dan transparan, atau justru akan mengembalikan dominasi kelompok tertentu atas mayoritas rakyat? Selain itu, mengingat pentingnya keadilan sosial bagi kemajuan kota, Surakarta perlu memastikan bahwa keputusan-keputusan yang diambil mengutamakan kepentingan rakyat banyak dan bukan hanya segelintir elit yang memiliki kekuasaan politik.
Gerakan anti-swapraja yang dahulu menggugat dominasi keraton dan pengaruh sistem swapraja memberikan pelajaran penting tentang pentingnya perubahan struktural dalam pemerintahan. Perjuangan untuk mewujudkan Surakarta yang lebih adil dan demokratis masih relevan hingga hari ini, terutama dalam konteks diskusi tentang status Daerah Istimewa Surakarta. Oleh karena itu, meskipun ada nilai-nilai budaya yang perlu dilestarikan, prinsip-prinsip keadilan, pemerintahan yang transparan, dan partisipasi rakyat harus menjadi dasar utama dalam setiap kebijakan yang diambil.
ADVERTISEMENT
Merefleksikan sejarah gerakan anti-swapraja di Surakarta membawa kita pada pemahaman tentang betapa pentingnya pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan rakyat. Gerakan yang menginginkan perubahan dari sistem yang lebih tertutup menuju pemerintahan yang lebih demokratis dan berkeadilan sosial menggambarkan semangat revolusi yang masih relevan hingga kini. Isu kembalinya status Daerah Istimewa Surakarta harus dilihat sebagai kesempatan untuk menimbang ulang hubungan antara tradisi, kekuasaan, dan keadilan sosial. Dengan melibatkan masyarakat luas dalam diskusi ini, Surakarta dapat membangun masa depan yang lebih adil dan inklusif, yang menghormati sejarahnya sekaligus merespons tuntutan zaman.
Referensi
1. Ibrahim, Julianto. 2004. Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan: Kriminalitas dan Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta. Wonogiri: Bina Citra Pustaka.
ADVERTISEMENT
2. Larson, George D. 1990. Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942. Yogyakarta: UGM Press.
3. Albrow Martin. 2005. Birokrasi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
4. Kartodirdjo, Suyatno. 1989. Revolusi Nasional di Tingkat Lokal. Jakarta: Depdikbud, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.
5. Maklumat No. 1 tentang Pembentukan Dewan Pemerintah Rakyat-Tentara. Arsip Reksa Pustaka, Katalog Mangkunegaran VIII No. 785 32 PP. 16/SD 1946, tentang Keadaan Bahaya Solo, Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran. Katalog Mangkunegaran VIII No. 857.
6. Rosiana, BR 2012. Terbentuknya Birokrasi Modern di Surakarta Tahun 1945-1950 . Universitas Sebelas Maret