Konten dari Pengguna

Negara dan Revolusi Warisan Lenin yang Masih Mengguncang Dunia

Rahul Diva Laksana Putra
Mahasiswa S-1 Pendidikan Sejarah UNNES. Kader Pekanan Rakjat, Rubikon, dan Amnesty International Chapter UNNES.
14 Februari 2025 21:19 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rahul Diva Laksana Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Vladmir Ilyach Lenin Foto: Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Vladmir Ilyach Lenin Foto: Freepik
ADVERTISEMENT
Vladimir Lenin adalah salah satu pemikir politik paling berpengaruh dalam sejarah, terutama dalam teori sosialisme dan komunisme. Dalam bukunya Negara dan Revolusi (1917), ia mengajukan kritik tajam terhadap negara kapitalis dan mengusulkan pembentukan negara proletariat sebagai alat untuk menghancurkan kelas borjuis. Menurut Lenin, negara tidaklah netral, melainkan instrumen kelas penguasa untuk menindas kelas lain. Ia menegaskan bahwa revolusi proletariat adalah satu-satunya cara untuk mencapai masyarakat tanpa kelas, di mana negara akan "layu" dan akhirnya menghilang.
ADVERTISEMENT
Lebih dari satu abad sejak buku ini ditulis, dunia telah mengalami perubahan besar. Banyak negara yang dulu menerapkan gagasan Lenin telah runtuh atau beradaptasi dengan sistem kapitalis. Di sisi lain, ketimpangan ekonomi dan kekecewaan terhadap sistem demokrasi borjuis masih menjadi perdebatan utama. Dalam konteks ini, penting untuk mempertanyakan apakah gagasan Lenin tentang negara masih relevan dalam politik modern.
Gagasan Lenin dalam Negara dan Revolusi
Buku Negara dan Revolusi Foto: Dok pribadi
Dalam Negara dan Revolusi, Lenin berangkat dari pemikiran Karl Marx dan Friedrich Engels yang menyatakan bahwa negara adalah alat dominasi kelas. Ia mengkritik kaum sosialis reformis yang percaya bahwa kapitalisme dapat diubah melalui reformasi bertahap. Menurut Lenin, negara borjuis tidak bisa diperbaiki dari dalam karena sistemnya dirancang untuk melindungi kepentingan segelintir elite ekonomi.
ADVERTISEMENT
Lenin menekankan bahwa revolusi proletariat harus menghancurkan negara kapitalis dan menggantinya dengan "diktator proletariat." Negara baru ini bukan sekadar kelanjutan dari sistem lama, tetapi alat untuk menghancurkan kelas borjuis dan membangun sosialisme. Setelah transisi ini selesai, negara proletariat seharusnya "layu" dan menghilang, karena dalam masyarakat tanpa kelas, negara tidak lagi diperlukan.
Teori ini menjadi dasar bagi Uni Soviet dan berbagai negara sosialis lainnya di abad ke-20. Namun, dalam praktiknya, negara proletariat yang diusulkan Lenin tidak mengarah pada "pelayuan negara," melainkan justru menciptakan pemerintahan yang semakin kuat dan terpusat.
Leninisme dalam Praktik: Antara Teori dan Kenyataan
Salah satu kritik terbesar terhadap gagasan Lenin adalah bagaimana ide negara proletariat justru menghasilkan negara yang semakin otoriter. Alih-alih menghilang, negara di bawah pemerintahan komunis justru semakin kuat, seperti yang terlihat di Uni Soviet, China, dan Korea Utara.
ADVERTISEMENT
Di bawah Joseph Stalin, Uni Soviet tidak menunjukkan tanda-tanda negara yang melemah, tetapi justru memperkuat kontrolnya terhadap masyarakat. Represi terhadap oposisi politik, pembentukan birokrasi yang besar, dan ekonomi yang dikendalikan negara secara ketat menunjukkan bahwa konsep "negara proletariat" tidak serta-merta lebih demokratis daripada negara kapitalis yang dikritik Lenin.
Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah konsep negara proletariat benar-benar bisa menjadi transisi menuju sosialisme, ataukah ia justru menciptakan bentuk baru dari kediktatoran? Apakah negara benar-benar bisa "layu" seperti yang Lenin bayangkan, ataukah kekuasaan cenderung mengkonsolidasikan dirinya sendiri begitu ia diperoleh?
Kritik terhadap Distorsi Marxisme
Karl Max Foto: Freepik
Setelah kematian Karl Marx, banyak pemikir dan politisi yang mengklaim mengikuti ajarannya, namun seringkali mereka mendistorsi esensi revolusioner dari Marxisme. Lenin mengkritik keras mereka yang hanya mengambil aspek-aspek tertentu dari Marxisme yang sesuai dengan agenda reformis mereka, sambil mengabaikan atau menolak elemen-elemen yang menekankan perlunya revolusi dan penghancuran negara borjuis.
ADVERTISEMENT
Ia menyoroti bagaimana ajaran Marx sering "dijinakkan" dan diubah menjadi sesuatu yang tidak mengancam status quo. Lenin menegaskan pentingnya kembali ke inti revolusioner Marxisme dan menolak interpretasi yang mencoba menyesuaikan Marxisme dengan kepentingan kelas penguasa.
Relevansi Lenin dalam Politik Kontemporer
Meskipun eksperimen sosialisme abad ke-20 menunjukkan banyak kelemahan, kritik Lenin terhadap negara sebagai alat kelas penguasa masih relevan hingga hari ini. Ketimpangan ekonomi semakin meningkat di banyak negara, dan banyak orang merasa bahwa sistem politik hanya menguntungkan segelintir elite.
Gerakan sosial seperti Occupy Wall Street, protes buruh, dan berbagai demonstrasi menentang kebijakan neoliberal menunjukkan bahwa ada ketidakpuasan yang luas terhadap negara kapitalis. Kritik Lenin terhadap demokrasi borjuis—yang menurutnya hanya melayani kepentingan pemilik modal—masih bisa ditemukan dalam wacana politik modern.
ADVERTISEMENT
Namun, pendekatan Lenin yang menekankan revolusi sebagai solusi tampaknya semakin sulit diterapkan. Kebanyakan negara modern lebih memilih reformasi bertahap dibanding revolusi radikal. Bahkan negara-negara yang masih mengklaim sebagai sosialis, seperti China dan Vietnam, kini lebih banyak mengadopsi kebijakan ekonomi yang menyerupai kapitalisme, meskipun tetap di bawah kendali negara yang kuat.
Dalam konteks ini, gagasan Lenin mungkin lebih relevan sebagai kritik terhadap sistem yang ada, bukan sebagai solusi langsung. Ide tentang perlunya negara berpihak pada kaum pekerja dan bukan hanya pada elite ekonomi tetap menjadi perdebatan utama dalam politik global.
Apakah Negara Akan "Layu"?
Logo Komunis Foto: Freepik
Salah satu konsep paling kontroversial dalam Negara dan Revolusi adalah gagasan bahwa negara akan menghilang setelah sosialisme tercapai. Lenin berpendapat bahwa begitu kelas borjuis dihancurkan dan kepemilikan kolektif atas alat produksi diterapkan, negara tidak lagi diperlukan sebagai alat penindasan.
ADVERTISEMENT
Namun, pengalaman sejarah menunjukkan bahwa negara justru semakin kuat di bawah rezim sosialis. Bahkan di negara-negara kapitalis, peran negara tetap besar dalam mengatur ekonomi dan kehidupan sosial. Pandemi COVID-19, misalnya, menunjukkan bagaimana bahkan negara kapitalis pun harus campur tangan secara besar-besaran untuk menyelamatkan ekonomi dan rakyatnya dari krisis.
Alih-alih menghilang, negara tampaknya semakin berkembang sebagai institusi yang kompleks, baik dalam sistem kapitalis maupun sosialis. Ini menunjukkan bahwa konsep "negara yang layu" mungkin lebih bersifat idealis daripada realistis.
Pemikiran Lenin dalam Negara dan Revolusi tetap menjadi bahan diskusi yang menarik, terutama dalam hal kritik terhadap negara sebagai alat kelas penguasa. Di tengah ketimpangan ekonomi yang semakin tajam, banyak orang masih mempertanyakan apakah sistem kapitalis benar-benar dapat memberikan keadilan sosial.
ADVERTISEMENT
Gagasan Lenin tentang revolusi proletariat tampaknya sulit diterapkan dalam konteks politik modern. Sejarah menunjukkan bahwa negara yang didasarkan pada ideologi Lenin justru cenderung semakin otoriter, bukan "layu" seperti yang ia prediksi. Meskipun demikian, kritik Lenin terhadap demokrasi borjuis masih relevan dalam wacana politik saat ini. Perdebatan tentang siapa yang mengendalikan negara dan untuk kepentingan siapa tetap menjadi isu utama di berbagai negara.
Dunia mungkin telah berubah sejak Lenin menulis Negara dan Revolusi, tetapi pertanyaan mendasarnya tentang negara, kekuasaan, dan keadilan sosial masih terus menjadi tantangan yang belum terselesaikan hingga hari ini.